13 Hours: The Secret Soldier of Benghazi merupakan film yang menceritakan kisah nyata yang terjadi tahun 2011 – 2012 an , saat Libya sedang mengalami gejolak . Pada tahun 2012 ,Benghazi, Libya pun menjadi kota yang kacau, dengan perebutan kekuasaan serta kekerasan. Sekelompok pasukan elit Amerika pun harus menghadapi serangan kelompok radikal yang menyerang kedutaan.
Menarik lagi dari film yang disutradarai Michael Bay ini adalah bagaimana ia mengemas suatu adegan teror, kejar-kejaran mobil menjadi sebuah tontonan yang seru. Seperti layaknya film-film Michael Bay (Transformer) , film ini akan menampilkan banyak mobil , disertai drama keluarga yang meningatkan bahwa ini adalah keluarga seseorang yang akan merasa sangat kehilangan jika terjadi sesuatu yang fatal di saat sedang bertugas. Ciri khas ini terasa begitu kental , sehingga rasanya seperti menonton salah satu adegan dalam filmnya.
Selain itu, tak banyak adegan-adegan yang menampilkan hal baru, sehingga walapun film ini berdasarkan kisah nyata, terasa monoton di beberapa bagian.
Para pemain Tyrone S. Woods (James Badge Dale), Jack Da Silva (John Krasinski), Mark Geist (Max Martini), John Tiegen (Dominic Fumusa), Kris Paronto (Pablo Schreiber), dan Dave Benton (David Denman), bermain imbang serta kurang dapat membangun suasana tegang , baik saat sedang bertugas ataupun saat kedutaan diserang .
Kekuatan dari film ini adalah pada kemampuan membangun setting lokasi syuting . Ini menghadirkan suasana di Libya pada masa itu , dengan ragam emosi penduduk dari anak-anak yang bermain di lapangan terbuka , penduduk yang membawa senjata , landscape wilayah Benghazi di era tahun 2012 an kepada para penontonnya.
Bagi penonton yang menyukai senjata, disini akan banyak sekali ditampilkan aneka macam jenis senjata seperti Colt M4A1 , Mk 18 Mod 0, Salient Arms International GRY Rifle, Heckler & Koch HK416D dan lain-lain di saat penyerangan. Ini akan menjadi adegan-adegan yang memuaskan dan memberikan sensasi tersendiri.
Secara keseluruhan dari segi aksi , film ini lumayan mampu menampilkan kejadian teror dan suasana penyerangan yang terjadi, namun kurang menjelaskan alasan di balik penyerangan itu sendiri . Hal ini terasa sangat disayangkan karena penulisnya Mitchell S. Zuckoff sebenarnya termasuk jurnalis yang berhasil mengangkat banyak berita dan menghasilkan sederetan penghargaan yang bergengsi.
Ada hal yang terasa kurang diberikan ruang yaitu apakah yang sebenarnya menjadi inti pencetus kejadian nyata ini, selain informasi yang sudah beredar secara umum di media masa internasional pada masa itu?
Namun jika memang mengharapkan suatu tontonan aksi belaka, kiranya film ini dapat dijadikan suatu alasan untuk dapat ditonton kembali, setelah rilis dahulu pada tahun 2016
Bagi yang ingin menonton , saat ini dapat menonton melalui Netflix