Belum lama berselang dari kehadiran Nobody di bioskop tanah air, para penggemar film aksi kembali dimanjakan dengan kehadiran Wrath of Man. Film ini adalah karya penyutradaraan paling gres Guy Ritchie sekaligus menjadi ajang kolaborasi keempatnya dengan Jason Statham, mantan model yang namanya kini mentereng sebagai salah satu aktor laga terkemuka Holywood.
Bagi yang mengikuti sepak terjang dua insan perfilman ini pasti tahu benar bahwa keduanya sudah lama tidak berkolaborasi. Terakhir mereka berkolaborasi pada tahun 2005 lewat Revolver setelah Lock, Stock and Two Smoking Barrels dan Snatch. Sekarang, dengan Wrath Of Man, keduanya berkolaborasi mengadaptasi ulang film Prancis 2004 berjudul Le Convoyeur (Cash Truck).
Dan, materi ini terbukti menjadi kendaraan yang pas untuk mengakomodir kelebihan keduanya. Aspek paling menonjol yang begitu kentara dari Wrath of Man adalah penuangan storyline yang menarik khas gaya penyutradaraan Ritchie di film-film garapannya, serta performa meyakinkan Jason Statham yang sudah fasih memerankan sosok pria tangguh di film-film yang dibintanginya memainkan karakter tersebut.
Dikisahkan, setelah sebuah aksi perampokan terhadap salah satu kendaraan firma Fortico, Patrick Hill (Jason Statham) bergabung dengan firma yang bertanggungjawab memindahkan uang ratusan juta dolar di Los Angeles setiap minggunya itu untuk menjadi salah satu kurirnya. Ia kemudian menjadi anak didik Bullet (Holt McCallany) yang mengajarinya pelbagai seluk beluk lingkup pekerjaan di firma tersebut, dan memberinya nama panggilan: H.
Meski berstatus sebagai pekerja baru, H mulai mendapatkan respek dari rekan-rekannya ketika ia tidak hanya berhasil menggagalkan aksi perampokan unit truk uang yang menjadi pegangannya, namun juga membinasakan seluruh kawanan perampok itu. Tak pelak, kemampuan tempur di atas rata-ratanya mulai memancing rasa penasaran banyak pihak untuk mengungkap siapa sosok H sebenarnya.
Diam-diam H tengah melakukan perburuan pada orang-orang yang telah membunuh putranya di sebuah aksi perampokan serupa dan berencana menggunakan posisi barunya untuk memasang perangkap untuk perampok manapun di kota tersebut sampai menemukan para pelakunya.
Dibandingkan dengan karya-karya Guy Ritchie sebelumnya yang mengetengahkan tema dan penokohan yang kurang lebih sama, Wrath of Man punya penyajian yang sedikit menyimpang. Meski tetap gaya penyutradaraan khas sang sineas masih terasa (stylish, presentasi kejadian versi si penutur yang dituangkan dalam bentuk monolog, hingga tokoh utama yang punya latar belakang pelaku kriminal), porsi aksinya lebih menjurus ke arah film laga old school ketimbang ciri khasnya yang action stylish.
Dibagi dalam empat chapter bak novel, skenario yang dihadirkan terbukti memberikan keasyikan tersendiri pada audiens untuk terus menebak-nebak tentang latar belakang dan motif sang protagonis utama. Meski harus diakui saat paruh keduanya, ketika elemen misterinya mulai menguap, Wrath of Man berubah menjadi film aksi perampokan biasa yang nantinya berubah lagi menjadi film aksi gun and fire beradrenalin tinggi.
Sebagai ujungtombak utamanya, sejatinya tidak ada yang istimewa dari penampilan Jason Statham. Namun, stereotipenya memainkan peran yang punya tarikan napas nyaris sama di sebagian besar film yang ia bintangi, memberikan nuansa yang kuat dalam memenuhi tuntutan peran yang dibutuhkan oleh skripnya di sini.
Tidak dapat disangkal bahwa di bagian babak akhirnya, ada sensasi ketegangan yang bisa didapat dari apa yang disusun Ritchie, tetapi terasa butuh jalan panjang untuk menuju ke sana. Timeline yang melompat-lompat, memberikan motivasi dan sekali lagi menjelajahi sisi gelap dunia kriminal bawah tanah, serta lagi-lagi secara kriminal mengabaikan dan tidak memberikan cukup sorotan untuk semua karakter wanita, Wrath of Man memiliki semua ciri khas Ritchie – tetapi sedikit kesegaran dan kejutan dari apa yang mungkin Anda harapkan
Harus dimaklumi, bahwa kali ini storyline yang ada ditujukan untuk menopang adegan aksinya- meski bahkan efek keseluruhan dari adegan pertempuran finalnya agak dibatasi dengan penyajian bolak balik adegan presentasi si otak perencana. Ritchie tidak main-main, mencampur suara bombastis dengan kebrutalan tembak-menembak dan memberikan apa yang Anda harapkan dalam ledakan.
Pastinya tidak ada yang baru atau unik tentang plot sentral Wrath of Man atau momen-momen yang menodai runtime-nya, dalam banyak hal apa yang tersaji di film ini adalah definisi dari formula stereotipe aksi thriller balas dendam / kejahatan. Wrath of Man mungkin bukan karya terbaik Guy Ritchie (penulis pribadi masih lebih menyukai karya Guy Ritchie sebelumnya, The Gentlemen dibanding film ini), namun tetap secara keseluruhan Wrath of Man merupakan film aksi thriller kriminal berkualitas dan menghibur yang rasanya akan mampu memuaskan banyak kalangan.
Wrath of Man dapat disaksikan di bioskop tanah air mulai tanggal 5 Mei 2021