Campurkan elemen fantasi dalam Harry Potter, supernatural dan horor dalam The Woman in Black (2012), serta drama romantis What If (2013) dengan sentuhan black comedy, dan kira-kira campuran genre-genre inilah yang antara lain dapat ditemukan dalam Horns. Kian giat menjajal berbagai macam peran, adaptasi novel bertajuk sama tulisan putra Stephen King, Joe Hill ini merupakan satu dari tiga film Radcliffe yang ditayangkan di ajang Toronto International Film Festival 2013 di samping What If dan Kill Your Darlings (2013). Dengan keeksentrikkannya, Horns juga menjadi karya penyutradaraan yang cukup berbeda bagi Aja, yang dikenal sebagai sineas film-film gore seperti High Tension (2003) maupun Piranha 3D (2010).
Sejak menjadi tersangka nomor satu dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan kekasihnya, Merrin Williams (Temple), Ig Perrish (Radcliffe) menjadi sasaran interogasi para wartawan serta kecaman dari warga di kota kecil tempatnya tinggal, kecuali keluarga dan teman masa kecilnya, Lee Tourneau (Minghella) yang sekaligus menjadi pengacara Ig yang masih terus mendukungnya. Pada suatu pagi ketika bangun sehabis mabuk berat pada malam sebelumnya, Ig mendapati sepasang tanduk telah tumbuh di kepalanya. Seiring dengan semakin membesarnya tanduk tersebut, Ig menemukan bahwa ia pun memiliki kekuatan untuk membuat orang-orang mengakui dosa-dosa mereka serta menyerah pada keinginan apapun yang mereka pendam ― kekuatan yang ia manfaatkan untuk mencari pembunuh Merrin yang sebenarnya serta membalas dendam.
Walau pada mulanya mungkin cukup aneh membayangkan Radcliffe bertanduk, performa sang aktor dalam menjiwai perannya sebagai Ig dianugerahi pujian, meski filmnya sendiri secara keseluruhan cukup menuai respon yang beragam. Dimulai dengan elemen black comedy, supernatural, dan romansa yang lebih kentara, Horns perlahan kian tenggelam dalam nuansa horornya yang semakin kental, termasuk melalui transformasi Ig yang kian mirip dengan sosok iblis, lengkap dengan sepasukan ular dan garu sebagai pengganti trisula. Walau aspek nyentrik ini dipandang justru menambah keunikan dan daya tariknya, ada pula yang beranggapan bahwa eksekusinya sendiri sedikit canggung, kurang pas, dan justru membuatnya terkesan konyol. Sebagian audiens juga menilai bahwa di samping beragam aspek berbeda yang dimiliki filmnya, Aja masih berhasil menyajikan elemen drama yang membuat kisah dan para karakternya berdasar, sementara di sisi lain, tak jarang pula yang menganggap interaksi para karakternya justru terkesan dipaksakan, dan kenyataan bahwa akhir kisahnya tetap menuju pada pertanyaan tentang identitas pembunuh Merrin, segala aspek horor dan fantasinya menjadi terasa agak kurang signifikan.