Sejak pengumuman resminya 3 tahun lalu, Warner Bros. sebagai rumah DCEU akhirnya merilis film blockbuster-nya pada tanggal 23 Maret 2016 lalu di Indonesia dan 25 Maret 2016 secara internasional. Euforia film yang digadang-gadang sebagai film superhero terbaik tahun ini sangat terasa di seluruh belahan dunia dengan promosi yang besar-besaran. Mengusung tema pertarungan antar dua pahlawan ikonik DC, film dengan judul Batman v Superman: Dawn of Justice tentu menjadi film yang paling dinantikan oleh para penggemar film secara umum, dan penggemar DC Comics secara khususnya. Ekspektasi masyarakat pun beragam sejak awal perilisan trailernya. Tak sedikit yang mencela, pun masih banyak yang memberikan pujian untuk sutradara Zack Snyder dan para aktor yang terlibat di dalamnya.
Overview
Durasi 2 jam 31 menit saya rasakan cukup untuk menelan semua idealisme yang disajikan oleh Snyder lewat karyanya satu ini. Bagaimana tidak? Sejak awal pembukaan film hingga menuju credit title, yang saya lihat bukanlah sebuah film, melainkan suatu karya seni yang terekam dalam sebuah bentuk motion picture. Snyder benar-benar piawai dalam menyajikan cerita, konflik, emosi, filsafat, sinematografi, musik, pemilihan warna dan tekanan dalam satu film. Jika Anda pernah menyaksikan karya sebelumnya seperti, Watchmen atau Sucker Punch, sejak menit pertama Anda sudah bisa mengecap sidik jari Snyder dalam novel bergeraknya ini. Ditambah alunan musik khas Hans Zimmer dan sentuhan progresif dari Junkie XL membuat emosi pada film terasa meluap dan tersampaikan kepada penonton.
Anda tidak bisa membandingkan film Batman v Superman ini dengan hasil karya Christopher Nolan dengan trilogi Dark Knight-nya. Film ini jelas memiliki dunia (universe) yang berbeda dengan yang digarap oleh sutradara Inggris tersebut. Dengan unsur yang gelap, cerita yang dewasa, serta elemen brutal yang diberikan tidak bisa dibandingkan dengan film trilogi Nolan. Ya, jangan berekspektasi bahwa film ini akan memiliki intonasi dan timeline yang mirip dengan Nolan, because dude, it’s Snyder’s.
Snyder juga tampak cerdas dalam memilih cast untuk mengisi posisi-posisi penting dalam cerita Batman v Superman. Henry Cavill yang masih berjubah merah dengan logo S di dadanya, Amy Adams sebagai jurnalis senior yang tak kenal takut, dan Laurence Fishburne yang menjadi kepala redaksi cerewet dan perhitungan tapi sebenarnya baik. Kali ini Ben Affleck yang dipercayakan Snyder untuk mengisi karakter Bruce Wayne/Batman dan Jeremy Irons yang menjadi Alfred Pennyworth, serta Gal Gadot yang berperan sebagai Diana Prince/Wonder Woman dan Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor. Banyak komentar skeptis bermunculan ketika Affleck diumumkan sebagai pemeran vigilante kota Gotham. Namun komentar miring dan ketakutan penggemar DC mulai terjawab saat trailer Comic-Con mulai tersebar secara luas dan tentunya di film layar lebar yang tengah tayang.
Film yang dibesut Snyder ini bisa dibilang penuh dengan intrik, puzzle, dan easter egg. Sehingga menurut saya pribadi, Batman v Superman bukanlah film gabungan para pahlawan super seperti The Avengers milik Marvel. Terlalu dini jika menyebut film yang berbudget sekitar $250 juta bersaing dengan the Avengers karena bukan itu yang ingin dibuat oleh sutradara dari America ini. Film ini juga bukan film Batman karena penonton hanya diberikan scene tentang kehidupan Bruce Wayne sangat sedikit. Bagaimana pun, arah film ini tetaplah bersandar pada Man of Steel. Tidak menutup kemungkinan Snyder atau sutradara lain, memberi kejutan lewat film lanjutan atau film origin untuk melengkapi puzzle yang belum terpecahkan dalam Batman v Superman. Film ini juga bukanlah film perseteruan antara Batman melawan Superman, huruf v dalam Batman v Superman tidak selalu bermakna versus (lawan), bisa jadi itu adalah sebuah kode tersendiri yang ditampilkan untuk mencuatkan spekulasi di antara penikmat film. Karena Snyder tidak mungkin typo dalam menuliskan judul, dan tidak mungkin mau bersusah payah mempromosikan filmnya dengan huruf s yang tiada.
Storyline
Seperti yang sempat saya sampaikan sebelumnya, sejak awal pembukaan film, sudah tampak scene kunci dari Snyder. Diperlihatkan gambaran kehidupan lampau dari Bruce Wayne yang pahit dengan dinarasikan oleh Ben Affleck sendiri agar penonton larut dalam perspektif pahlawan yang yatim piatu, emosi seorang anak yang kehilangan kedua orangtuanya, ketakutan seorang pria yang tidak mampu melindungi orang yang disayangi, dan tekad seorang pahlawan untuk mengubah dunia yang kelam. Rupanya scene tersebut yang ingin Snyder katakan kepada penontonnya bahwa inilah fondasi emosional seorang Batman ingin menantang manusia baja dari Planet Krypton. Batman ingin memberikan pesan kepada Superman, bahwa di dunia ini tidak semua manusia tunduk dan takut kepada dia. Masih ada manusia biasa dengan kecerdasan dan teknologi yang dimilikinya yang bisa mengancam Superman, yup, Batman sama sekali tidak bertujuan untuk membunuh Kal-El alias Superman. Seperti yang Wayne katakan kepada Alfred melalui trailernya “If we believe there is even a 1% chance that he is our enemy, we have to take it as an absolute certainty.” Banyak para penonton dan kritikus yang tidak menangkap pesan tersebut dan justru menyebut motif Batman adalah untuk membalas dendam atas kejadian di Kota Metropolis 18 tahun yang lalu saat terjadinya perang antara Jenderal Zod dan Superman.
Alur cerita berlanjut ke sisi Clark Kent, sebagai jurnalis ternama sekaligus sebagai manusia super yang digambarkan begitu bimbang akan pendiriannya dalam melakukan hal yang selama ini dianggapnya benar. Sejak awal kemunculannya di Kota Metropolis banyak yang memujanya sebagai Dewa, namun tak sedikit pula yang menolak eksistensi Superman dan ingin menuntutnya atas kerusakan dan korban jiwa yang timbul pasca pertarungannya dengan Jenderal Zod. Di sini Snyder mengalihkan perspektif Bruce Wayne yang kelam dan penuh tekad menuju perspektif Clark Kent yang didera keraguan dan emosional terhadap aksi Batman di kota tetangga. Scene demi scene ditampilkan secara dramatis dan kuat.
Cerita pun semakin lengkap dengan munculnya jutawan yang haus kekuasaan sekaligus ilmuwan yang nyentrik, Lex Luthor. Di tahap inilah bau konflik penuh intrik mulai tercium. Dan sesuai dengan ekspektasi penonton, Luthor-lah yang menggiring perseteruan antara alien berkemampuan tinggi dengan vigilante yang main hakim sendiri. Pada alur ini, saya sudah banyak mendapatkan easter egg dan pesan dari Snyder mengenai proyeknya yang akan datang. Seperti kehadiran the Flash, Cyborg, Wonder Woman, dan Aquaman yang ditampilkan sekilas. Snyder begitu apik menyusunnya sedemikian rupa agar penggemar komik DC semakin tak sabar untuk menginjakkan kakinya lagi ke gedung bioskop.
Character
Saya akui, Snyder memilih cast dengan sangat cemerlang dan cermat. Henry Cavill masih memerankan anak desa Kansas yang emosional dan gamang seperti dalam Man of Steel, memberikan kesan kepada kita bahwa manusia yang perkasa dan ditakuti banyak orang memiliki konflik hati di dalam dirinya. Perdebatan batin dalam filmnya yang lalu masih dibawa di film lanjutannya, ditambah keinginan kuatnya dalam menghentikan sepak terjang sang kelelawar dari Gotham atas aksinya yang dianggapnya membuat teror bagi warga kota. Di sini tampak idealisme seorang Clark Kent dibangun. Tidak seperti dalam kisah Superman 1,2, dan 3 yang diperankan oleh Chistopher Reeve, Clark Kent pada kisah Batman v Superman tidak ditampilkan sebagai wartawan yang kikuk, kutu buku, dan kaku tapi justru ditampilkan dengan segar sebagai pria yang kritis dan idealis.
Beralih ke karakter Bruce Wayne yang diperankan oleh Ben Affleck, penampilan jutawan yang penuh glamor pada siang hari dan pejuang kejam pada malam hari betul-betul dimainkan dengan rapi, namun kali ini lebih brutal dan gelap. Banyak yang bertanya-tanya, “Batman membunuh penjahat?”. Jawaban dari alasan karakterisasi Batman tersebut sudah disiapkan Snyder jauh-jauh hari lewat dialog perdebatan Bruce Wayne dengan Alfred, “Twenty years in Gotham. How many good guys are left? How many stay that way?” Menunjukkan perubahan krusial pada tokoh pelindung Kota Gotham sekaligus menjadi easter egg dalam filmnya. Bisa jadi, ini adalah alasan bagi Batman untuk tidak lagi mengampuni musuh-musuhnya, dan bisa jadi kalimat ini merujuk kepada kostum Robin dengan tulisan “HaHa Jokes on You Batman” di Batcave yang sempat dimasukkan dalam frame selama 5 detik oleh Snyder dan mengisyaratkan bahwa Robin adalah korban dari “kebaikan hati” Batman selama 20 tahun beraksi.
Pada karakter musuh bebuyutan Superman, Alexander “Lex” Luthor, Jesse Eisenberg menampilkan performanya yang pernah dia beri di film the Social Network dan Now You See Me. Bisa dibilang, tokoh Lex yang dibawakan Eisenberg tidak lagi menakutkan, atau konyol, atau melankolis. Lex Luthor disajikan dengan penuh eksentrik, penuh gaya, namun misterius, meski tak jarang kelakuan dan pembawaan dialognya sedikit mirip Joker versi waras.
Berlanjut ke karakter Diana Prince, Gal Gadot menuai banyak pujian lewat pembawaannya yang kalem dan misterius sejak awal kemunculannya dalam film. Karakternya yang meski minim dalam dialog namun cukup porsi dalam aksi ini ternyata justru memancing banyak penonton untuk melupakan kategori seksi yang sering ditampilkan oleh karakter Wonder Woman dalam komik DC. Overall, semua diberikan porsi yang sesuai dan menghidupkan jalan cerita yang tengah dibangun.
Result
Film ini betul-betul membawa film superhero ke arah yang baru. Cerita yang rapi, karakter yang kuat, puzzle yang berlalu-lalang, universe yang bisa digali lebih dalam. What else do you expect? Meski banyak nilai plus, namun film ini belumlah bisa dibilang sempurna. Misalnya seperti adegan di gurun pasir. Koreografi pertarungan Batman terlihat masih kasar dan tidak alamiah. Sangat berbanding terbalik dengan koreografi pertarungan dengan para penjahat di dalam gedung. Setting kota Metropolis yang ditampilkan sudah membaik dalam kurun waktu 18 bulan dirasa terlampau cepat untuk sebuah kota yang telah porak-poranda akibat pertarungan besar-besaran antar alien. Jika Anda sungguh ingin menonton film Batman v Superman, hilangkan dulu ekspektasi Anda tentang film superhero yang sudah ada. Jangan biarkan Anda teracuni dengan imaji bahwa superhero itu selalu menolong orang, dengan latar penuh warna, aksi ledakan dimana-mana, dan pujian serta humor yang renyah (tenang, masih ada selingan humor di satu-dua scene). Film ini justru mengajak penonton untuk berpikir karena drama yang indah dan berspekulasi lebih tinggi lagi akibat puzzle yang disusun selepas duduk di kursi. Jadi, film Batman v Superman bukan hanya bertitel Dawn of Justice, tapi sekaligus sebagai Dawn of Everything.