(Sumber gambar: Moviepilot)
Drama pertarungan kolosal yang dinantikan antara Batman dan Superman akhirnya bisa disaksikan. Hampir semua orang sudah tidak sabar ingin melihat bagaimana big match ini berlangsung. Bagi mereka yang ingin melihat kedua ‘raksasa’ dunia perkomikan ini berkelahi mereka akan mendapatkannya. Tapi apakah Batman v Superman: Dawn of Justice ini memenuhi ekpektasi? Simak review saya dibawah.
Sejak tahun 2002, film yang mengisahkan duel kedua tokoh hero ini memang sudah disiapkan. Bermula dari draft naskah Andrew Kevin Walker yang kemudian disempurnakan oleh Akiva Goldsman. Bahkan sutradara Air Force One kelahiran Jerman, Wolfgang Petersen sudah ditunjuk untuk memimpin proyek ini. Walaupun pada akhirnya proyek ini tidak terealisasi, tetapi ide brilian tersebut terlanjur banyak mengundang antusiasme fans. Yang unik adalah ternyata naskah yang dibuat Akiva Goldsman punya tone yang sangat kelam, dan lebih mengeksplorasi sisi kejiwaan Batman. Tidak heran apabila konsep ini masih ‘berbekas’ di film BvS, tetapi tentu ada penyesuaian cerita karena ini adalah sekuel dari Man of Steel.
BvS dibuka dengan adegan flashback Bruce Wayne yang (untuk kesekian kalinya) menyaksikan kedua orang tuanya tewas. Kemudian adegan berlanjut ke adegan klimaks film Man of Steel, dimana kali ini dikisahkan dari sudut pandang Bruce Wayne. Menyaksikan banyak korban jiwa jatuh akibat pertarungan Superman dan Zod, ditambah salah satu gedung perusahaannya (yang kebetulan punya cabang di Metropolis) luluh lantak dengan semua pegawai Wayne didalamnya membuat sang multimilyuner murka. Dibantu pelayan setianya Alfred (diperankan oleh aktor senior Jeremy Irons), Bruce Wayne memutuskan untuk menghentikan Superman sebelum si Manusia Baja bertindak lebih jauh.
Dari naskah yang dikembangkan oleh Chris Terrio dan David S. Goyer, mereka berusaha menggali sisi kelam Batman termasuknya memberikannya vision akan masa depan dimana Superman dikisahkan berkuasa di planet Bumi. Kekhawatiran Batman ini layaknya seorang Daredevil, memegang teguh keadilan tetapi buta sehingga tidak bisa mengetahui mana kawan dan lawan. Sementara Superman tercabik antara keputusannya menjadi penyelamat Bumi dan dorongan publik yang menganggap Superman tidak lebih dari ancaman. Apalagi kini seorang jenius tapi dengan gangguan mental bernama Lex Luthor (diperankan Jesse Eisenberg) ikut menyerang Superman. Duet Terrio-Goyer sukses mengangkat semua kondisi ini dengan baik tapi hasil akhirnya malah narasi yang seakan-akan terjebak dalam kebingungan untuk menentukan apakah ini film Batman atau Superman?
Begitu pun dengan adegan yang ditunggu-tunggu atau final battle antara kedua superhero yang digambarkan seperti Clash of the Titans atau perang Gladiator dari Romawi kuno. Dikemas dengan standardisasi adegan aksi ala Zack Snyder, duel ini malah berlangsung antiklimaks dan hanya menjadi opening untuk pertempuran sesungguhnya yang lebih besar, dan semua itu berakhir tanpa kesan.
Memang Snyder berhasil memanjakan mata dengan visual effect menawan. Dengan kata lain dari segi artistik film ini luar biasa. Tetapi sayangnya alur ceritanya monoton. BvS punya tempo yang sangat lambat dan dari segi plot cerita pun tidak bisa dibilang spesial. Dengan durasi yang mencapai 2 jam 30 menit film ini cukup melelahkan, bisa dikatakan apabila judulnya bukan Batman v Superman pasti akan sangat membosankan. Banyak sepertinya adegan yang tidak perlu ditampilkan hanya terkesan memanjang-manjangkan. Saya ambil contoh adegan mimpi Batman / Knightmare (bagi yang sudah menonton pasti tahu yang mana), adegan ini sebenarnya tidak terlalu penting. Walaupun secara pribadi saya menyukai kostum versi Dystopian Batman, tapi adegan tersebut sepertinya hanya untuk memancing rasa penasaran (dan fan theories) di trailer.
(Sumber gambar: Screenrant)
Melanjutkan dari Man of Steel, karakter Superman lebih berkembang disini. Konflik dengan publik serta kehidupan pribadi Clark Kent diulas dengan detil. Akting Henry Cavill tidak terlalu istimewa tapi saya masih menganggap dia adalah sosok sempurna untuk memerankan Superman. Sementara Lois Lane malah ‘turun level’ menjadi damsel in distress yang harus selalu diselamatkan Superman. Khusus untuk karakter Batman, saya tidak meragukan kualitas Ben Affleck sebagai Bruce Wayne/Batman yang berhasil keluar dari bayang-bayang Christian Bale. Malah saya lebih menantikan film solo Batman dengan Affleck didalamnya.
Batman always has a plan! Saya mengenal Batman sebagai sosok yang pintar dan tangguh, seperti yang digambarkan pada komik atau film animasinya. Sama seperti karakter Rorschach pada Watchmen yang juga disutradarai juga oleh Snyder. Di BvS, Batman hanya tangguh tapi tidak pintar. Ia hanya terobsesi pada Superman dan tidak terlihat memiliki insting detektif seperti yang biasa dia lakukan. Ia lupa (atau buta???) melihat keadaan sekeliling terutama yang melibatkan nama Lex Luthor, padahal jarak Metropolis dan Gotham cuma bersebelahan! Unfortunately, Batman doesn’t always have a plan.
Satu karakter yang punya bobot lebih disini adalah Lex Luthor yang dibawakan dengan baik oleh Jesse Eisenberg. Memang dibandingkan dengan Marvel universe, karakter villain di film-film DC jauh lebih berkualitas dan hampir punya peranan sama besar dengan karakter hero. Sosok musuh abadi Superman ini jelas-jelas memiliki ambisi besar untuk mengalahkan Superman. Tapi sayangnya tidak punya motif yang benar-benar jelas. Hal ini membuat talenta akting Eisenberg menjadi sia-sia walau sebenarnya ia sangat berpotensi.
(Sumber gambar: Screenrant
Mungkin yang mengikuti (atau fans) DC Universe sudah tahu bahwa film ini adalah teaser untuk Justice League. Di BvS kita sudah bisa menyaksikan Wonder Woman yang diperankan oleh Gal Gadot. Sepertinya kemunculannya disambut dengan baik. Kalau boleh jujur, dari pribadi saya sendiri pada awal kemunculannya Gadot sedikit banyak mirip dengan Gisele, karakternya di franchise Fast & Furious. Mulai dari mimik wajah sampai body gesture. Barulah menjelang akhir film, kelihatan sosok Wonder Woman yang diharapkan, lengkap dengan pakaian perang dan score memukau besutan duo Hans Zimmer – Junkie XL. Untuk karakter Justice League yang lain? Hmm…saya tidak mau terlalu banyak mengungkapnya tetapi pendapat saya adalah pengenalannya berasal dari orang yang salah 🙂
Buat saya pribadi, film ini masih jauh dibawah ekspektasi. Alurnya terasa sekali dipaksakan dan berakhir antiklimaks. Tapi bukan berarti ini film yang jelek, secara keseluruhan BvS masih layak ditonton walau harus saya peringatkan ini bukan tontonan ringan seperti film-film Marvel pada umumnya. Mungkin lain kali saya ingin melihat sutradara lain merealisasikan proyek ini, seperti Francis Lawrence (Hunger Games) misalnya yang sudah sering bekerjasama dengan Warner Bros. Termasuk di film I Am Legend dimana logo Batman vs Superman yang di-cancel sempat muncul di salah satu billboard.
RATING: 2 /5