Zack Snyder, bisa dikatakan salah satu anak emasnya Warner Bros. Sejak suksesnya 300, delapan tahun yang lalu, Snyder selalu mendapatkan proyek film dengan budget yang lumayan besar, dengan dua judul diangkat dari komik. Gaya penyutradaraannya memiliki ciri khas tersendiri–visually artistic, scene–scene slo–mo, dan adegan action yang cenderung agresif dan violent–menjadikan Snyder sebagai salah satu sutradara favorit fans, baik dari general audience maupun pihak studio sendiri.
Warner Bros dan DC Comics kemudian memercayakan proyek superhero ikonik mereka, Superman, kepada Snyder. Dirilis 2013, reboot Superman berjudul Man of Steel cukup sukses secara komersial, namun menimbulkan kontroversi dan perdebatan di antara fans. Audiens tentu saja memuji gaya penyutradaaran Snyder yang menjadi ciri khasnya–yang telah disebutkan di atas, namun fans takkan melupakan dosa terbesar sutradara asal Wisconsin ini: menjadikan Superman, superhero yang dipuja sebagai symbol for mankind, sebagai seorang pembunuh.
Kembali ke commercial succes Man of Steel, DC/Warner Bros–yang tertinggal jauh oleh studio saingan, Marvel Studio dengan Marvel Cinematic Universe-nya–mengumumkan sekuelnya dengan melibatkan Snyder kembali menjadi sutradara, sekaligus menjadi gerbang pembuka DC Extended Universe, sebuah film besar yang mempertemukan Superman dengan salah satu superhero ikonik DC yang lain, Batman.
Diberi judul Batman v Superman: Dawn of Justice, film ini menceritakan Superman yang menjadi sosok kontroversial setelah kejadian di filmnya terdahulu. Beberapa menganggapnya pahlawan, yang lain menganggapnya berbahaya. Lex Luthor, seorang bilyuner muda asal Metropolis, memiliki ambisi dan menyusun plot untuk menjatuhkan kredibilitas Superman sebagai false god. Di lain tempat, Batman–vigilante misterius yang beraksi di jalanan Gotham City selama dua puluh tahun–melihat Superman sebagai bentuk ancaman bagi umat manusia, pada akhirnya menantang Superman untuk bertarung.
Premisnya cukup sederhana, kalau tidak bisa dibilang dangkal. For the sake of the plot, banyak sekali ditemukan lobang di mana-mana. Ceritanya dieksekusi dengan sangat lemah. Perpindahan dari scene satu ke scene yang lain terasa berantakan. Zack Snyder terkesan clueless, tidak tahu bagaimana cerita dalam film ini dibawa. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Snyder telah menyutradarai dua judul film yang diangkat dari komik/novel grafis sebelumnya (300 dan Watchmen), namun keduanya jauh lebih baik dibanding penyutradaraannya di Batman v Superman ini. Mungkin karena 300 dan Watchmen memiliki backstory yang sudah solid, sehingga Snyder tinggal memvisualisasikannya saja ke dalam film, membuat pekerjaannya menjadi lebih mudah. Sebaliknya, karena banyak sekali elemen komik Batman dan Superman yang dimasukkan Snyder (beserta David S Goyer dan Chris Terrio), film ini memiliki banyak subplot yang tidak perlu. Dan perlu diingat kalau Batman v Superman: Dawn of Justice adalah sekuel dari Man of Steel, di mana seharusnya Superman-lah yang menjadi sentral dari cerita. Namun tidak, film ini lebih banyak mengekspos Batman, bahkan sejak pertama kali film dimulai. Mungkin saya memang salah menghitung, tapi screen time Superman sedikit sekali di film ini.
Namun, Snyder tidak mengecewakan fans-nya. Terlepas dari jalan cerita yang bisa dibilang amburadul, Snyder kembali menunjukkan ciri khasnya sebagai sutradara yang visually exceptional. Adegan action-nya luar biasa dan visual efeknya megah (didukung pula oleh score Hans Zimmer dan Junkie XL yang menggelegar). Snyder kembali memperlihatkan adegan-adegan slow motion yang cukup artistik, sama seperti film-filmya terdahulu. Saya yakin tidak ada audiens yang tidak menyukai adegan pertarungan final Batman dan Superman di film ini.
Ben Affleck menjalankan tugasnya dengan baik sebagai Batman dan alter egonya, Bruce Wayne. Batman versinya lebih keras dan motivationally driven. Gaya bertarungnya lebih brutal dan lebih violent, dan dia akan menghentikan Superman at any cost. Peran Affleck sebagai Batman, sekali lagi, patut mendapatkan pujian di sini.
Walaupun mendapatkan screen time yang sedikit, Gal Gadot memukau sebagai Diana Prince/Wonder Woman. Di sini dia bisa menunjukkan ellegance dan toughness dalam waktu yang bersamaan. Rasanya semua sepakat Wonder Woman adalah scene stealer di sini. Begitupun peran Jeremy Irons sebagai Alfred Pennyworth, butler kepercayaan Bruce Wayne. Tidak seperti penggambaran Alfred di film-film Batman sebelumnya, Alfred versi Irons lebih perlente, sekaligus accomplice dan mechanic Batman yang andal. Singkatnya, Alfred versi Irons adalah sesuatu yang refreshing.
Sebaliknya, Henry Cavill sebagai Superman/Clark Kent seperti tenggelam dalam nama-nama besar di film ini. Selain porsi yang lebih sedikit ketimbang Batman–padahal Superman-lah tokoh sentralnya, aktingnya juga tidak terlalu spesial. Setelah performanya sebagai Superman di Man of Steel, jangan terlalu mengharapkan peningkatan dalam karakterisasinya. Mungkin memang bukan salah Cavill (kita mesti kembali menunjukkan jari ke Snyder), tapi kalau berekspekstasi banyak terhadap Superman-nya di sini, bersiaplah untuk kecewa. Begitu pula dengan Diane Lane (sebagai Martha Kent) yang hanya dijadikan sebagai damsell in distress (atau plot device?) dan Amy Adams (sebagai Lois Lane) yang hanya menjadi love-interest Superman saja.
Namun yang membuat audience atau fans caught up antara love and hate di sini adalah aktingnya Jesse Eisenberg sebagai Alexander “Lex” Luthor, nemesis-nya Superman. Meskipun sama ruthless dan evil seperti yang digambarkan di dalam komik, Luthor versi Eisenberg terkesan lebih cerewet dan berisik. Luthor di sini seperti seorang brat, Joffrey Baratheon versi modern yang lebih genius, lebih licik, lebih subtle, namun sama kejinya.
Saya bisa mengatakan Batman v Superman: Dawn of Justice sebagai film yang cukup menghibur dengan segala adegan action dan visual yang memukau. Cameo–cameo-nya akan membuat fans berteriak senang (bagi yang tidak memerhatikan: The Flash, Aquaman, Cyborg)–sebagai tease Justice League yang dipersiapkan untuk dirilis beberapa tahun kemudian. Namun demikian, banyaknya elemen komik yang dimasukkan dalam satu cerita (The Dark Knight Returns, Death of Superman–see the ending, Injustice: Gods Among Us, Batman: Red Son, among others), membuat Snyder kewalahan dalam menyajikan cerita. Snyder ibaratnya salah satu cool kids di sekolah yang memberikan teman-temannya dengan berbagai macam treats, namun semuanya hanyalah menjadi sebuah meaningless party. DC dan Warner Bros patut diberikan pujian atas keagresifan dan ambisinya mengejar Marvel dalam membuat cinematic universe. Namun satu yang kurang, DC/Warner Bros, tidak seperti Marvel, tidak memiliki sosok seperti Kevin Feige–salah satu fans komik, yang diangkat menjadi produser dan menjadi mastermind Marvel Cinematic Universe–sebagai pengarah untuk membuat MCU keep on the track. Jika Snyder terus-terusan mementingkan visual ketimbang konsistensi dan plot yang rapi, DC masih akan tertinggal jauh dari Marvel.
Sebagai penikmat film superhero (dan juga sebagai pembaca komik DC dan Marvel), saya berusaha untuk memisahkan diri sebagai general audience–yang pure menilai film sebagai film, dan sebagai penggemar komiknya. Sebagai general audience, saya akan memberikan score:
• Cerita: 5/10
• Akting : 7/10
• Action: 9/10
• Ending: 6/10
• Overall: 5/10