Sulit dibantah, bahwa beberapa tahun belakangan ini nama Dwayne Johnson merupakan salah satu yang terdepan di ranah Hollywood khususnya untuk genre aksi laga. Betapa tidak, film-film yang ia bintangi umumnya selalu berhasil, tidak hanya dari segi pencapaian komersial namun juga tak jarang memiliki efek kejutan dalam koridor yang cenderung positif.
Ambil contoh ‘Jumanji: Welcome to the Jungle’ dan ‘Rampage’, yang berani taruhan menjadi paket guilty pleasure bagi banyak kalangan, karena meski tidak sampai tahap bagus-bagus amat, Johnson bisa dikatakan masih bisa lolos dari bidikan cemooh suara-suara sumbang mengarah padanya dengan elegan. Paling-paling di antara banyak filmnya sejauh ini yang paling rentan kritik adalah ‘San Andreas’.
Namun, boleh jadi lewat film terbarunya ini Johnson bisa kena batunya. Pasalnya, film yang merupakan hasil kolaborasi keduanya dengan sineas Rawson Marshall Thurber setelah ‘Central Intelligence’ ini meski secara keseluruhan sarat aksi, rasanya salah satu yang paling lemah pengeksekusiannya dibanding apa yang pernah dituangkan dalam film seorang Dwayne Johnson sebelum-sebelumnya.
‘Skyscraper’ yang mengambil setting lokasi di Hong Kong bercerita tentang seorang Will Sawyer, pria berkeluarga mantan pasukan buru sergap FBI yang dipercaya untuk memegang sistem keamanan gedung pencakar langit paling fenomenal, The Pearl yang memiliki teknologi paling mutakhir. Sayangnya, hari pertama penugasan Will berubah menjadi tantangan paling besarnya saat sebuah skema jahat yang sudah direncanakan sebelumnya, membuatnya harus bertaruh nyawa untuk menyelamatkan nasib keluarganya (yang tinggal di dalamnya) saat gedung mulai dilalap api. Situasi semakin pelik saat Will yang tengah berpacu dengan waktu malah menjadi kejaran pihak kepolisian setempat karena dicurigai sebagai pelaku penyebab kebakaran di gedung pencakar langit tersebut.
Memiliki formula plot cerita yang oleh kalangan “melek film” sebagai perkawinan ‘The Towering Inferno’ dan ‘Die Hard’, hasil kerjasama kedua Johnson-Thurber ini secara de facto mengusung tema yang tidak luar biasa bahkan mungkin sudah pernah diangkat di banyak film aksi lainnya (Bahkan, dalam koridor filmografi sang aktor sendiri, hal nyaris serupa sudah ia lakoni dalam’San Andreas’) meski notabene konsepnya lumayan menarik untuk dieksplorasi, yakni aksi thriller yang terjadi di gedung tertinggi di dunia.
Sungguhpun demikian, ‘Skyscraper’ sebenarnya beramunisikan banyak unsur ‘bombastis’. Mulai dari penokohan karakter yang dimainkannya (seorang pria dengan cacat fisik), medan pertempurannya (gedung imajiner berskala fantastis), setting lokasi yang mumpuni untuk mendulang raihan besar di pasar Asia, tokoh-tokoh antagonisnya, karakter-karakter pendukungnya, dialog, hingga ke misteri motif yang menjadi pemicu pergerakan cerita.
Ditinjau dari berbagai aspek yang ada, tidak bisa dipungkiri, layaknya film yang dibintangi Johnson, ‘Skyscraper’ punya potensi memadai untuk menjadi film besar, selain sekadar memerlihatkan karisma sang aktor. Dan, seperti biasa Johnson memberikan penampilan meyakinkannya, meski untuk kali ini rasanya tetap sulit untuk menyelamatkan mutu film ini dari hujaman kritik.
Adapun titik lemahnya terletak pada pengeksekusian Thurber. Meski di atas kertas konsepnya punya daya tarik tersendiri, sayangnya, banyak aspek yang tidak tergali secara baik dan alih alih malah tersaji dangkal. Beberapa di antaranya bahkan tak terjawab hingga pengujung cerita.
Faktor inilah yang terutama membuat penulis pribadi sulit untuk memihak pada film terbaru The Rock ini. Tidak seperti pada ‘Jumanji’ dan ‘Rampage’ di mana penulis mudah bersimpati. Dan, jika boleh mengira-ngira, rasanya hal ini mungkin juga akan mudah dialami banyak kalangan audiens usai menyaksikannya kecuali mungkin bagi kalangan penggemar berat sang aktor atau bagi yang ingin menyaksikan paket aksi menghibur bermuatan ringan. Apakah Anda setuju dengan pandangan penulis ini? Silakan tinggalkan tanggapan Anda di kolom komentar.