San Diego Comic Con, 20 Juli 2013 merupakan tempat dan tanggal ketika Zack Snyder mengumumkan ia tengah menggarap project mengenai dua superhero ikonik DC yang akan bertarung. Everyone loses their chill. Pantas kiranya ekspektasi orang-orang tak terbendung, bagi pecinta komik pada khususnya, dan para penikmat film pada umumnya. Batman melawan Superman. Di layar bioskop. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan fanboys? Setelah kontroversi batfleck, jadwal tayang yang mundur dari pihak studio (rencana awal tayang saat musim panas 2015), dan trailer yang (katanya) mengumbar spoiler, akhirnya Batman v Superman Dawn of Justice tayang di bioskop lokal pada akhir April ini. Pertanyaanpun muncul, is there any chill left after watching this movie?
The Good
Pertama-tama ingin rasanya mengangkat topi untuk tim marketing dari film ini. Apa yang dilakukan merupakan hal yang luar biasa. Menghidupkan hype akan sebuah sinema yang digadang-gadang keberadannya hampir 3 tahun yang lalu pastilah tidak enteng, namun mereka melakukannya dengan apik dan brilian. Trailer demi trailer, leaked images, dan marketing campaign yang cerdas dibeberkan demi animo menonton tetap terjaga hingga tanggal perilisan film. Walaupun trailer doomsday tetap saja blunder karena meng-spoil third act dari film ini.
Lanjut kepada kualitas akting pemainnya. Batfleck nampaknya mampu mengusir keraguan para fans yang selama ini mencibir, apabila tidak bisa disebut menghujat, keputusan studio memilih ia untuk memerankan sang caped crusader. Sekian banyak talenta di Hollywood mengapa Affleck yang terpilih. Mengingat rekam jejaknya tahun 2000an seperti Daredevil, Gigli, dan Paycheck yang cukup buruk. Perannya di Argo dan Gone Girl nampaknya mampu memikat hati para executive Warner Bros untuk meminang Ben Affleck, and he nailed it. Setidaknya sebagai Bruce Wayne. Bruce yang ditampilkan terasa lebih hangat dan berkharisma, tanpa mengurangi amarah dan kegelapan yang selalu membayangi karakter ini. Pendekatan yang cukup berbeda dibanding Bruce pada The Dark Knight trilogy sebelumnya yang terasa begitu dingin.
Applause juga patut diberikan pada sisi visual. Tak bisa dipungkiri bahwa 300 dan Watchmen merupakan film dengan visual style yang ciamik. Snyder sadar akan kelebihannya tersebut dan memberikan yang terbaik untuk BvS. Scene-scene yang terinspirasi dari panel komik menjadi homage dan fan service tersendiri bagi penonton. Jangan lupa menikmati potongan gambar penuh simbolisme yang memukau. Scene saat menolong korban banjir bandang yang terjebak di atas rumah menunjukkan siluet Superman yang begitu godlike. Sama halnya ketika ia dirubung para fans karbitan setelah menyelamatkan seorang anak dari kebakaran di Mexico. Dengan backdrop festival Dia de Muertos (Day of the Dead), Superman sukses digambarkan sebagai messiah yang menjadi tumpuan harapan umat manusia. Favorit scene? Ketika Batman bertarung di gudang kosong tempat Martha Kent disekap. Ganas dan brutal.
The Bad
Kelemahan terbesar film ini adalah sisi storyline. Banyaknya sub-plot tanpa didukung naskah yang cukup kuat menjadikan alur film ini tidak koheren. Sekuel Man of Steel, reboot Batman, trailer superhero lainnya di DC Extended Universe, dan sisipan plot untuk membangun film Justice League seperti dijejalkan sesak pada film ini tanpa benang penghubung yang jelas dari satu aspek ke aspek lain. Tidak jarang adegan yang ditampilkan terkesan terburu-buru, meloncat dari satu situasi ke situasi lain, membuat penonton cukup bingung mengikuti apa yang terjadi. Ditambah dengan terlalu banyak dream sequence yang cukup mengganggu. Scene Bruce bermimpi menjadi pemberontak melawan Superman fasis dengan pasukan pribadinya lumayan keren, tapi apakah diperlukan? Mungkin sebagian fans berkata hal ini penting untuk membangun franchise berikutnya yaitu JLA, namun tetaplah terasa out of place. Alih-alih membuat penasaran malah menimbulkan pertanyaan. Mengapa Batman memakai kostum khusus di setting padang pasir? Mengapa Superman jahat? Apakah ini peringatan Flash akan berbahayanya Superman? Bila iya kenapa hanya Bruce yang diperingatkan? Mengapa dalam bentuk mimpi? Apakah mimpi Bruce basah? So much question.
Bicara tentang pertanyaan, harus diakui film ini cukup sukses membuat penontonnya bertanya-tanya, but not in a good way. Lemahnya screenplay patut disalahkan atasnya. Dialog yang dikeluarkan memang terkesan berat, namun tanpa substansi yang jelas. Isu god complex, international policy, perlunya kontrol, blah blah blah. We get it, Superman berbahaya tanpa pengawasan, titik. Bumbu politik pun terasa hambar. Senator Finch menjadi wajah Amerika dalam menghadapi America’s favorite metahuman. Karakter yang keras kepala, naif, dan berakhir tragis. Sama dengan perasaan fanboys setelah melihat film ini habis oleh kritik.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa Diana Prince (Wonder Woman) ada di Amerika? Khusunya di Metropolis. Menghadiri undangan Lex Luthor pula. Ia bahkan turut menghadiri acara barang antik sesudahnya. Mungkin selain menjadi Superheroine, Diana berprofesi sebagai Super escort service, menemani jomblo kaya raya hadir dalam acara mewah. Aksi Gal Gadot memerankan Wonder Woman cukup pas, hanya kurang berkesan. Berbeda dengan Lex Luthor yang diperankan Jesse Eisenberg. Salut rasanya melihat aktor yang satu ini dalam melakoni perannya. Sangat konsisten. Terlalu konsisten malah. Seakan-akan tak ada sosok Luthor dalam ceritanya. Yang terlihat hanya Eisenberg bila ia memiliki kekayaan melimpah dan nama Luthor. Tidak percaya? Bandingkan saja perannya dengan Now You See Me dan Social Network. Arogan? Check. Socially awkward? Check. Gaya bicara cepat plus stuttering? Super-check. Minimnya pendalaman setiap karakter membuat tokoh-tokoh dalam film ini menjadi unrelatable dan sulit menarik simpati. Tidak ditampilkannya motivasi dan alasan kuat untuk tiap karakter dalam mengambil keputusan juga cukup membuat frustasi. Namun ini bukanlah aspek terburuk dari BvS.
Yang tak bisa dimaafkan dari film ini adalah plotnya. Entah penulisnya malas berpikir, berpikir bisa membodohi audiens, atau menurut mereka penonton itu memang bodoh. Terlalu banyak logical flaws di sini. Dan tidak, tidak mungkin menuntut film dimana alien dan bilyuner bertarung dalam kostum spandex untuk menjadi realistis. Realistis berbeda dengan logical flaws. Pemerintah Amerika meminjamkan akses pesawat dan mayat alien yang bertanggung jawab atas hancurnya Metropolis kepada CEO muda dengan isu god complex, egosentris, dan emosi yang tak stabil adalah logical flaws. Kebencian Bruce selama dua tahun karena hancurnya Wayne Tower saat Superman bertarung dengan penjahat sementara ia membabi buta meledakkan bangunan dan kendaraan demi mencuri sepotong kryptonite dari sekumpulan tentara bayaran juga termasuk cacat logika. Yang terparah? Saat Batman melupakan dendam kesumat tanpa ragu ketika menyadari ibunya dan ibu Supes memiliki nama sama. Martha. BAM. Instant bro. Syukurlah mereka berdamai, bayangkan bila ibu Superman bernama Mandy, Mary atau Martin. Clark akan mati konyol. Batman sukses menjadi boneka Luthor dan Doomsday akan lepas tanpa kendali. Thank God it’s Martha.
Wait, bukankah plothole adalah hal yang lumrah? Ya, karena tidak ada film yang sempurna. Saya memiliki masalah yang sama dengan Deadpool, flashy dumb action movie with serious story problem. Bedanya mereka mawas diri dan membuat film yang sesuai dengan temanya, full of humor and violence. BvS di sisi lain mengangkat premis berat, aksi dan reaksi akan hadirnya sosok omnipoten di antara umat manusia dengan dialog penuh filosofi. You see, this film takes itself too seriously.
Billionaire vs Immigrant. Mari berharap Bruce tidak nyapres untuk US Election 2020.
The Verdict
Pada akhirnya film ini ada hanya untuk menjalankan tujuan aslinya, sebagai marketing device Warner Bros dalam menghadirkan DC Extended Universe. Pertaruhan besar studio agar tetap relevan dalam berkompetisi dengan film superhero tetangga. Alih-alih membangun universe dengan mengeluarkan film solo untuk tiap heronya, studio memutuskan membuat satu launching pad berisi 3 hero utama plus bocoran akan hero lainnya yang telah eksis dalam universe mereka untuk kemudian berkumpul dalam installment berikutnya, Justice League. Sekali dayung dua, tiga film terlampaui. Ide yang brilian dan cukup beresiko. Mengingat mereka telah mengumumkan hingga 10 judul film DC Superhero yang akan muncul tiap tahunnya hingga 2020 setelah film ini tayang. Ambisius. Amat disayangkan eksekusi BvS gagal dengan mengenaskan. Paling tidak dari segi kualitas. Satu kata untuk menggambarkan blockbuster ini. Hampa. Silau akan special effect dan lapisan plot yang terlalu padat tanpa fondasi cerita yang kuat. Saya bahkan tidak bisa penuh menikmati karena banyaknya adegan cringeworthy sepanjang film. Semoga Warner Bros dan DC mempertimbangkan kembali posisi Zack Snyder dalam konstelasi perfilman mereka. He won’t cut it as another DCEU director.
Sebagai tambahan, basi rasanya membandingkan tone gelap BvS dengan film studio sebelah. Ataupun berpikir bahwa film ini ditujukan semata-mata untuk penggemar setia komiknya. Keduanya tak bisa dijadikan justifikasi layak tidaknya film dikatakan bagus. Guardian of the Galaxy dan Sin City adalah contoh nyata. GotG dengan tone yang fun dan Sin City dengan warna yang lebih kelam sukses membuat penonton terhibur dengan plotnya yang solid. Dan saya yakin penggemar setia komiknya hanya sebagian kecil dari khalayak yang menikmati kedua judul diatas.
If there’s any justice, BvS is just a mediocre movie at its best.
“It’s okay, I’m a friend of your son.” – Batman. Merasa penjelasannya cukup untuk nenek yang hampir mati terbakar agar tidak selanjutnya mati ketakutan.
5/10