sumber: www.google.co.id
Sejak wacana produksi sekuel film Man of Steel dihembuskan oleh pihak Warner Bros dan DC Comics, semua insan penyuka film superhero dari DC, terutama Superman dan Batman, merasakan hype serta antusiasme yang sangat besar. Casting Ben Affleck sebagai Batman yang baru serta Gal Gadot sebagai Wonder Woman sempat menimbulkan pro dan kontra bagi berbagai pihak, mengingat kegagalan Affleck dalam memerankan Matt Murdock/Daredevil beberapa tahun silam dan tokoh Wonder Woman yang “kurang pas” bagi wanita seperti Gadot. Begitu pula Henry Cavill yang kembali memerankan sang pahlawan Metropolis dari Krypton. Ketika menonton Man of Steel, saya merasa Cavill kurang greget dan pesonanya masih belum menyamai mendiang aktor Christopher Reeve. Namun, seiring waktu berjalan, Affleck mulai “diterima” di hati para pecinta pahlawan kota Gotham tersebut. Perubahan drastis tubuhnya yang menjadi berotot, yang terlihat pada film Gone Girl, menunjukkan bahwa Affleck tidak akan “main-main” lagi dengan peran yang sakral ini.
Batman v. Superman: Dawn of Justice kembali disutradarai oleh Zack Snyder, dengan naskah yang ditulis oleh Chris Terrio (Argo) dan David S. Goyer, yang sebelumnya membantu Christopher Nolan dalam menulis naskah trilogi The Dark Knight. Kehadiran Superman di Bumi, terutama Metropolis, dipandang bagaikan dua sisi koin yang berlainan. Ada pihak yang sangat membutuhkan “tenaganya” untuk menyelamatkan orang-orang dan dunia, namun ada pula pihak yang melihatnya sebagai ancaman. Bruce Wayne, yang (sepertinya) sudah tidak aktif memakai baju zirah kebesarannya sebagai Batman, melihatnya sebagai ancaman besar setelah kerusakan yang ditimbulkannya akibat pertempurannya melawan General Zod dan efeknya pada kehidupan orang banyak. Munculnya Superman seakan memotivasi kembalinya Batman sebagai vigilante yang siap memerangi kejahatan dan menumpas para kriminal. Di sisi lain, ada pengusaha muda Lex Luthor, yang penuh ambisi untuk melenyapkan Superman dari muka bumi dengan menggunakan segala kekuasaan yang dimilikinya. Kehadiran Diana Prince, yang dikenal sebagai alter-ego Wonder Woman, juga cukup misterius dan nampaknya memiliki hubungan dengan para superhero ini.
Dari segi akting para pemerannya, semua aktor utama seakan-akan berhasil mencapai akting terbaiknya sebagai seorang superhero. Ben Affleck patut diberi acungan jempol pertama setelah tampil sangar dengan balutan kostum Batman, diikuti dengan aktingnya yang mumpuni sebagai orang yang kesepian dan ingin membalaskan dendamnya. Emosinya muncul dengan baik dan Batman versinya lebih “brutal” dibandingkan versi Christian Bale. Suara khas Batman yang dikeluarkannya terdengar pas dan kemampuan fightingnya juga tidak perlu diragukan lagi. Henry Cavill juga dapat meningkatkan level beraktingnya, setelah tampil bagus di film The Man from U.N.C.L.E. Ia juga tidak terlihat kaku seperti di film sebelumnya. Gal Gadot terlihat sangat cocok dibalut kostum Wonder Woman dan aksinya yang membuat para lelaki gigit jari. Yang patut diberi acungan jempol kedua adalah Jesse Eisenberg, yang mampu menciptakan karakter Lex Luthor yang penuh ambisi dan kejam namun komikal. Eisenberg juga berhasil membuat dirinya berbeda dengan para pendahulunya, Gene Hackman dan Kevin Spacey. Para pemain dalam film ini seakan diberi space oleh Snyder dalam mengembangkan karakternya sendiri, sesuatu yang “tidak diberikan” pada para pemain film Man of Steel. Salah satu hal yang perlu diberi notice lebih adalah penampilan perdana dari tiga superhero lain, yaitu The Flash, Cyborg, dan Aquaman, yang dikemas menarik namun tidak terlalu excessive.
Film score yang dibuat dari hasil kerjasama Hans Zimmer dan Junkie XL, sangatlah apik mengingat karya mereka pada film-film sebelumnya. Kemegahan yang diciptakan Zimmer pada Man of Steel tetap terjaga keberadaannya. Visual effect dan sinematografi yang ditampilkan Batman v. Superman sangat outstanding, namun sayangnya terlalu nampak seperti Watchmen yang memiliki dark tone. Snyder sepertinya ingin menciptakan sebuah distinction, sebuah pembeda antara film superhero yang ia sutradarai dengan film Batman milik Nolan, bahkan dengan film-film Marvel Cinematic Universe (MCU).
Kelemahan yang nampak kentara dalam film ini adalah dari segi plot. Pertama, ketiga tokoh utama superhero (Batman, Superman, dan Wonder Woman) tidak diberi porsi tampil yang rasional di antara ketiganya. Superman lebih sering muncul daripada Batman, bahkan Wonder Woman. Mungkin Snyder ingin memberi porsi lebih kepada dua superhero lain di film solo mereka yang akan dirilis. Kedua, banyak aktor yang muncul hanya sebagai “pemanis” film, seperti Scoot McNairy dan Callan Mulvey (yang tadinya saya harap bisa tampil lebih lama atau kemudian menjadi villain mengingat peran-peran yang dimilikinya). Potensi yang dimiliki Jeremy Irons dan Holly Hunter, sebagai dua aktor dan aktris yang sudah mendapat piala Oscar, kurang di-explore lebih sehingga kemunculannya biasa-biasa saja. Dan yang terakhir, banyak bagian dari plot yang cukup predictable sehingga hal itu sedikit menodai kemegahan yang telah tercipta. Hal yang bisa saya anggap sebagai nilai plus film ini adalah detail yang diciptakan dari kolaborasi sutradara, penulis naskah, dan desainer, serta non-linear plot yang dimunculkan.
Memang, pada akhirnya sebuah film, menurut saya, tidak harus fully perfect. Hal terpenting dari sebuah film yang baik, dari kutipan mendiang kritikus film Roger Ebert, adalah ketika kau akan menonton film tersebut lagi, kau seakan-akan belum pernah menonton film itu dan akan melihatnya sebagai sebuah hal baru. Dan Batman v. Superman: Dawn of Justice, tidak akan membosankan bila ditonton berulang-ulang dengan suguhan kemegahan a la Zack Snyder. Untuk Anda yang memang geeks dan ataupun pecinta superhero dari DC, film ini akan membayar segala hype, antusiasme, dan harapan yang telah Anda berikan. Anda mungkin juga bisa menjadikan film ini sebagai pembanding dengan film dari MCU yang akan rilis April nanti, Captain America: Civil War yang kebetulan mengusung tema cerita yang sama.