Sudah tidak bisa dipungkiri lagi kalau dua tahun yang lalu James Gunn (yang kala itu menarik perhatian lewat film superhero cultnya, Super!) dengan visi kreatifnya mampu mengejutkan banyak pihak saat ia mampu mentransformasi materi komik Marvel, Guardians of the Galaxy (GotG) yang notabene tidak populer menjadi film yang sangat mumpuni menghibur audiens general. Bukan itu saja, di film yang berstatus sebagai kepingan ke-10 MCU itu, sang sineas mampu menghadirkan terobosan visioner, dengan menitikberatkan unsur tembang hits lawas sebagai nyawa ceritanya, yang mana unsur itu –FYI – tidak ada dalam versi komiknya, melainkan dari idealisme Gunn sendiri. Namun, justru unsur orisinal inilah rasanya yang paling melekat di benak penonton.
Sedikit menyimpang dengan patron film-film kepingan MCU lainnya saat itu, yang cenderung enggan menghadirkan spektrum warna mencolok, GotG tampil semarak dengan semburat warna-warni galaksi yang sejalan serasi dengan penuangan kisahnya yang oleh Gunn disulap menjadi drama space opera bermuatan ringan dengan unsur komedi yang kental. Hasilnya, film pertama GotG bagi banyak kalangan, khususnya para kritikus merupakan tidak ubahnya tiupan angin segar.
Pasalnya, segala unsur di film ini sengaja tidak ditampilkan serius, baik itu karakteristik para protagonisnya, bahkan hingga ke tokoh antagonis utamanya sekalipun yang meski terlihat sangat powerfull namun mudah diperdaya dengan cara yang menggelikan. Itu masih belum ditambah tingkah polah masing-masing karakternya. Pendeknya, setelah jenuh dijejali dengan film-film komik yang berintikan cerita tentang obsesi menguasai dunia dan formula yang itu-itu saja – lewat tangan dingin Gunn, hadir sebuah film yang ibarat didedikasikan untuk memberi audiens sesuatu yang unik dan fresh dan menghibur dalam konteks hiburan semata. Dan, memang nyatanya GotG langsung melejit menjadi salah satu film MCU yang paling berhasil baik dari segi komersial maupun kualitas.
Maka, tidak mengherankan jika kemudian film babak keduanya ini menjadi film yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya. Menariknya, ini seakan jadi pertaruhan reputasi tersendiri bagi sang sineas, apakah ia dapat mempertahankan kinerja apiknya ataukah tidak. Apalagi, umumnya film-film sekuel, kebanyakan menimbulkan kekecewaan. Hal ini bisa dikarenakan sang juru kemudi memilih strategi “bigger presumably better” (yang kebanyakan nyatanya terbukti tidak –red), atau menempuh resiko dengan menghadirkan sesuatu yang berbeda dari apa yang sudah mereka hadirkan sebelumnya dengan tujuan menciptakan terobosan lagi, yang malah memancing kemarahan fans. Belum lagi, rata-rata sekuel biasanya kehilangan sisi orisinalnya. Rintangan-rintangan inilah yang harus diwaspadai Gunn untuk memberikan sekuel GotG yang berhasil.
Terbukti, terasa benar James Gunn berusaha keras untuk membuat fans setidaknya tidak merasa kecewa dengan babak kedua saga space operanya ini, meski kali ini terkesan ia agak sedikit kewalahan untuk memanjakan penonton. Hal ini bisa dilihat di mana ia tetap menyuguhkan formula film pertamanya sebagai fondasinya. Maka, bagi penyuka film sebelumnya, tidak perlu khawatir namun jangan berharap banyak akan adanya sesuatu yang baru kali ini.
Alih-alih tema tentang upaya menyelamatkan dunia dari kehancuran, Gunn lebih memilih tema yang lebih personal , yakni bagaimana kelanjutan interaksi pribadi para anggota Guardians satu sama lain dan orang-orang terdekat mereka. Tentunya ini diiringi dengan perluasan universe dari yang sudah ia suguhkan di film pertamanya, dan hadir dengan visual yang lebih spektakuler lagi. Pemilihan titik berat ini menyebabkan meski masih menonjolkan segi komedi dan soundtrack, sajian GotG 2 terasa sedikit berkurang gregetnya jika dibandingkan film pertamanya. Jika GotG terkesan dinamis, GotG2 di paruh awalnya terkesan lambat. Untungnya, hal ini dapat dipulihkan di paruh keduanya, dan klimaks yang lumayan memuaskan dan emosional.
Tanpa ingin membocorkan ceritanya sama sekali,bisa dikatakan bahwa tidak banyak plot yang diketengahkan di babak kedua GotG ini, selain berusaha menyuguhkan perihal jawaban dari pertanyaan yang diangkat di film pertamanya , ketimbang menghadirkan cerita unik dengan karakternya. Yang, terhitung mengejutkan adalah keberanian sang sineas untuk tidak memberi kaitan yang berarti antara saga ini dengan perkembangan Phase III MCU(bahkan tidak dari lima post credit scene-nya sekalipun), meski sudah menjadi rahasia umum nantinya Star-Lord dan rekan-rekannya akan berkolaborasi dengan Avengers di Infinity War. Dari jajaran pemain, hampir semuanya tidak ada yang tampil sangat istimewa, meski mereka makin terlihat makin menyatu sebagai karakter yang dimainkannya. Sedangkan, untuk karakter barunya, hanya beberapa yang tampil cukup menonjol.
Seperti film pertamanya, meski kadarnya sedikit menurun, secara overall GotG 2 adalah film yang lumayan menghibur, khususnya bagi kalangan yang memang tidak ingin menikmati sajian yang berat-berat –jika yang diinginkan hanya sebatas menyaksikan babak baru space opera dan kisah petualangan mengasyikkan dengan para karakter yang sudah berhasil memikat Anda, lengkap dengan sajian aksi dan sekuens sekuens musikal – mudah ditebak bakal sangat terhibur dengan film ini. Namun, jika yang diharapkan adalah film ini akan mampu mewujudkan sensasi magis sebagaimana yang diwujudkan oleh film pertamanya, atau mendapatkan kepingan informasi lanjutan tentang Avengers 3, boleh jadi sedikit perasaan kecewa adalah kesan yang timbul setelah menyaksikannya.
Memorable Moment:
Adegan aksi saat Yondu yang dikhianati oleh tim Ravagersnya membinasakan hampir seluruh bekas anak buahnya dengan senjata tombak terbang andalannya memperlihatkan bagaimana kehebatan dan betapa fatalnya kemampuan tempur tokoh berkulit biru ini. Namun, aksinya yang kejam ini malah makin menonjolkan kualitas sisi baik Yondu dalam babak klimaks filmnya, yang juga merupakan salah satu momen paling apik di GotG2 ini.
Verdict: 4
Story: 4/ 5
Acting: 4/5
Visual: 4.5/ 5
Directing: 3.5 /5