Tanpa hukum dan dicintai, pasangan yang melarikan diri telah menginspirasi beberapa film jalanan terbaik yang pernah dibuat. Berkenaan dengan tengah menjadi buah bibirnya film tentang pasangan yang melarikan diri rilisan Netflix, Ride or Die, berikut kami sajikan film-film yang sudah diakui banyak kalangan sebagai film pasangan pelarian terbaik sepanjang masa.
You Only Live Once (1937)
Film kedua Fritz Lang di Amerika ini dibintangi Henry Fonda yang berperan sebagai mantan narapidana yang berusaha memperbaiki kehidupannya dan Sylvia Sidney sebagai istrinya. Saat karakternya didakwa hukuman mati atas kejahatan yang tidak dilakukannya, ia memutuskan untuk melarikan diri. Dirilis beberapa saat sebelum kelahiran drama kriminal pascaperang, film ini seakan berada di persimpangan antara proto-noir dan drama tragis cengeng. Lang banyak memadukan gambar khas film-film ekspresionis Jerman lama yang menunjukkan adegan hiperbola. Carilah adegan di mana Fonda mondar-mandir di sel penjaranya seperti hewan liar, bayangan panjang membesar-besarkan pengurungannya. Tapi film ini juga menggunakan close-up romantis dan fokus lembut dari drama sahdu Hollywood, dengan wajah kotor kedua bintang itu tidak banyak memadamkan pancarannya. Pada saat Fonda mengangkat istrinya yang sakit dan membawanya melalui hutan dalam upaya terakhir untuk melarikan diri, Lang telah menemukan keseimbangan sempurna antara fatalisme dan kelembutan dalam film pasangan pelarian ini.
Bonnie and Clyde (1967)
“They’re young… they’re in love… and they kill people”, menjadi tagline eksplosif untuk kebanyakan film ikonik tentang para pasangan pelarian. Sineas Arthur Penn dan aktor sekaligus produser Warren Beatty menyuguhkan kisah pelanggar hukum dengan balutan kegetiran di Masa Depresi melalui film tentang dua bandit Bonnie Parker dan Clyde Barrow. Banyak diinspirasi dari gaya Truffaut dan Godard, Arthur Penn berhasil menghadirkan adegan klimaks tak terlupakan yang usut punya usut merupakan referensi dari peristiwa penembakan JFK. Meski filmnya sempat menyulut debat berkepanjangan atas kadar materi kekerasan di film dan dikatakan punya peranan penting dalam lahirnya gaya New Hollywood, film ini tidak sukses secara instan. Proses pembuatannya mengalami banyak kendala, mulai dari sulitnya mendapat sineas yang cocok hingga pihak studio yang menolak memberikan rilis luas secara nasional. Akan tetapi, apresiasi yang sangat positif dan keberhasilan film ini meraih 10 nominasi Oscar, membuat pihak studio mau tidak mau harus berpikir ulang, dan hasilnya film ini menjadi sebuah fenomena sampai sekarang.
Pierrot le fou (1965)
Jean-Luc Godard mengarahkan film yang berisikan anarki secara sinematik di Pierrot le fou, paduan separuh film perjalanan dan separuh musikal – dan penghormatan yang pasti untuk Hollywood klasik, menampilkan cameo dari orang-orang seperti sutradara pulp Sam Fuller. Anna Karina adalah Marianne, seorang gadis cantik manipulatif yang menjerat Jean-Paul Belmondo, seorang suami yang bosan, ingin meninggalkan keluarganya dan pergi ke jalan. Godard secara visual tak tertandingi di sini; berwajah segar, pemberontak yang modis, dan sangat provokatif, seperti ketika pasangan itu melakukan pantomim dua orang dalam perang Vietnam. Sarat dengan semburan warna primer dan rujukan budaya populer saat itu, film pasangan pelarian ini menyentuh puisi, kritik sastra, radikalisme politik, dan penyelidikan filosofis. Ini seperti mengupas lapisan intelektual. Pierrot le fou tampak seperti sentakan terakhir dari kesenangan Godardian sebelum sang sineas mulai tenggelam film-film serius secara politik ; tapi itu juga berkesan sebagai penghormatan ingar-bingar untuk film ‘gadis dan senjata’ yang sangat ia sukai.