Sebelum kehadiran The Martian yang dirilis Ridley Scott pada tanggal 2 Oktober, 5 tahun yang lalu, umumnya, faktor ketegangan dan perihal-perihal mencekam merupakan unsur- unsur yang sering dikedepankan dalam film-film bertema penjelajahan angkasa luar. Ambil contoh, lihat saja judul-judul film seperti Red Planet, Gravity, Armageddon, Alien, Prometheus, hingga bahkan Interstellar adalah sebagian kecil dari sekian banyak judul-judul film bertema penjelajahan angkasa luar yang jualan utamanya mengusung faktor-faktor tersebut. Dalam-film-film itu penonton umumnya dibuat tegang hampir di sepanjang durasi film dalam menyaksikan apa yang nantinya bakal terjadi pada tokoh-tokoh sentralnya dan karakter yang mana yang menjadi korbannya.
Akan tetapi, bagi yang sudah menyaksikan film ini pasti bakal menyadari bahwa faktor-faktor yang disebut di atas justru bukan tujuan yang dibidik sineas Ridley Scott dalam film terbaru hasil arahannya ini. Meski tema kisahnya mengetengahkan perihal upaya survival seorang astronot yang harus hidup seorang diri di planet Mars — yang tidak berpenghuni — setelah dirinya menjadi korban situasi yang menyebabkan ia terpaksa ditinggal seluruh rekan setim ekspedisinya, Ridley memilih pendekatan yang berbeda. Alih-alih aksi thriller, kali ini pendekatan drama komedi yang disajikan.
Di film The Martian, yang kisahnya diangkat dari novel laris karya Andy Weir ini, Ridley mengajak audiens untuk ikut menikmati momen kesendirian yang dialami sang tokoh utama lewat monolog-monolog yang memancing tawa dan menyaksikan bagaimana proses adaptasi tokoh tersebut dalam mengatasi problematika yang harus ia alami. Sementara, di lain sisi, instansi pemerintah yang menginisiasi ekspedisi itu berusaha mencari cara untuk memulangkan sang tokoh.
Dikisahkan, akibat misi ekspedisi ke Mars yang berjalan tidak sesuai rencana menyebabkan salah satu anggota tim astronot bernama Mark Watney (Damon) terpaksa ditinggal oleh rekan-rekannya, setelah ia terkena hantaman badai dahsyat dan membuat dirinya terpisah dari rombongannya yang sedang melakukan proses evakuasi kembali ke Bumi. Untungnya, Watney bukan orang yang mudah menyerah, di mana dengan memanfaatkan segala prasarana yang ada ia bertekad untuk bertahan hidup di Mars seorang diri, melawan kondisi planet yang sebenarnya tidak menguntungkannya sambil terus berusaha mengirim sinyal ke Bumi untuk memberitahukan bahwa ia masih hidup.
Di Bumi sendiri awalnya sang astronot sudah dikonfirmasi tewas terbunuh dalam misi berbahaya itu,sampai pihak Nasa suatu ketika berhasil menemukan pesan gambar yang dikirimkan Watney. Meski awalnya terkejut, rekan-rekan sang astronot di badan antariksa milik Amerika itu senang bukan kepalang saat mengetahui bahwa rekan mereka ternyata mampu bertahan hidup.
Tanpa pikir panjang, mereka membalas pesan itu dan mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan menyusun tim penyelamat untuk menjemputnya. Permasalahannya, pelaksanaan misi itu sangatlah tidak mudah, di mana melalui hasil kalkulasi yang ada, salah perhitungan sedikit saja tidak hanya menyebabkan misi itu gagal, namun juga bisa mengancam nyawa seluruh tim penyelamat.
Dikemas sebagai suguhan yang ringan (dan mungkin inspiratif -red) serta tone yang lebih cerah dibanding film-film bertema penjelajahan angkasa luar sebelum-sebelumnya yang pernah dibidani Scott, sang sineas mampu menerjemahkan ratusan lembaran isi novelnya sembari menjaga visi yang memang dikedepankan sang novelis yakni bagaimana tetap berpikir positif dalam menghadapai permasalahan yang sama sekali di luar perkiraan.
Mengemban garda terdepan, Matt Damon meski penampilannya tidak sampai tahap luar biasa mampu menghidupkan tokoh Mark “the Martian” Watney dengan baik. Ditunjang pengalamannya memainkan peran-peran yang unsurnya memiliki tingkat kesamaan dengan yang ia mainkan di sini, Damon yang rasanya merupakan pilihan yang beralasan untuk peran ini terlihat tidak menghadapi kesulitan berarti untuk larut ke dalam karakter tersebut. Mungkin satu-satunya nilai minus untuk performa Damon adalah karakter yang dimainkannya terlihat terlalu tenang untuk individu yang terdampar di planet seorang diri, untuk jangka waktu yang terbilang panjang pula (tujuh bulan). Entah apakah hasil pengkarakteran ini sesuai penuangan di novelnya, ataukah karena sang aktor tidak berhasil memperlihatkan kecemasan yang seharusnya dialami oleh sang tokoh.
Kredit minus lainnya adalah masih terasa kurangnya eksplorasi karakter-karakter pendukung yang ada di film ini, khususnya sorotan terhadap bagaimana efek tindakan yang terpaksa diambil rekan-rekannya saat mengetahui bahwa rekan mereka yang sebelumnya dianggap tewas ternyata masih hidup dan sedalam apa rasa bersalah yang logikanya akan timbul karenanya, guna menambah bobot drama yang dihadirkan.
Akan tetapi, di luar itu, lewat The Martian, Scott masih bisa dibilang berhasil menyuguhkan sebuah paket hiburan yang komplit. Visualisasi planet Mars yang ciamik, adegan kiat-kiat bertahan hidup yang tersaji informatif dan jenaka, dan paparan bagaimana tahapan beserta aspek-aspek apa yang harus diperhitungkan matang-matang sebelum melakukan penjelajahan ke angkasa luar yang dikemas dalam sajian yang mudah diikuti orang awam, meski ini harus diakui belum bisa dibilang sebagai karya terbaiknya karena tidak seepik film-filmnya sebelumnya, tidak sulit bagi The Martian untuk mendulang simpati dari kalangan penikmat maupun pengamat film, khususnya yang tertarik dengan tema-tema sehubungan ekspedisi ke luar angkasa.
Baca juga: Film-film tentang petualangan luar angkasa terbaik di sini