Ada yang menarik dari novel karya Stephen King : Pet Sematary. Novel yang ditulis pada tahun 1983, seolah mengetuk sudut gelap manusia, sehingga antusiasme akan jalan cerita dalam novel ini, masih tetap dibahas hingga saat ini.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena alur cerita dalam novel ini meliputi juga trauma keluarga akan kematian dan tetangga yang mempunyai rahasia mengenai kematian. Saat kedua hal ini dipadu, menghasilkan cerita gelap dan kelam yang menyentuh emosi manusia, karena pada hakikatnya manusia sangatlah tertarik akan kematian dan kejadian yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri.
Itulah sebabnya roh jahat hingga roh baik, selalu menjadi bahan penulisan yang tiada habisnya , serta sangat menrik untuk ditulis menjadi bentuk novel maupun film dengan durasi pendek maupun untuk layar lebar.
Atas dasar ini, setelah melalui serangkaian pencarian dan diskusi panjang. Pet Sematary akhirnya disutradarai oleh Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer , dengan penulis skenario oleh Jeff Buhler.
Salah satu produser yaitu Mark Vahradian menginginkan untuk membuat film adaptasi yang disesuaikan dengan tahun 2019 . Film ini haruslah dapat berdiri sendiri, namun tanpa meninggalkan ciri khas tangan dingin penulis novelnya. Film ini harus mampu memberi kejutan bagi penonton dan berbeda dengan versi film pertamanya tahun 1989.
Tujuannya selain untuk ajang nostalgia para penggemar Stephen King, juga karena kesenangan pribadi dari Mark Vahradian mengenai film-film yang bertemakan horor psikologis.
Pemilihan penulis Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer ( penulis film Starry Eyes) diharapkan juga mampu membuat tujuan pembuatan ulang film ini terwujud.
Dalam proses penulisan ulang, terjadi perubahan susunan anggota keluarga. Pada versi tahun 2019, peran anak yang meninggal adalah pada anak perempuan, dan ini lebih membangun suasana trauma psikologis antara Bapak dan anak kesayangan yang meninggal secara tragis. Plot ini lebih memperjelas motif gelap sang Bapak, untuk melakukan hal apapun agar tidak perlu berpisah dengan anak kesayangannya ini. Walaupun dalam film tidak terlalu diperlihatkan adanya hubungan Bapak dan anak kesayangan, namun pemikiran pada umumnya , telah memperjelas kondisi ini dan dengan mudah dapat diterima oleh para penonton.
Pada pemeran Ellie , sangatlah menarik untuk melihat akting Jette Laurence . Dia harus mampu memainkan peran sebagai Ellie sebagai seorang gadis kecil yang mencintai dan sangat perhatian pada kucing dan keluarganya, tetapi saat dia menjadi Ellie yang dirasuki oleh roh jahat, maka dia harus berperan sebagai gadis kecil yang pemarah dan tak kenal ampun serta sangat pendendam. Dia harus memerankan pribadi yang tidak peduli, jika tindakan yang dilakukan akan menyakiti orang lain.
Pemilihan kucing juga dipilih secara hati-hati oleh Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer , agar mendekati versi sampul hardcover dari novelnya. Kucing yang dimaksud adalah kucing yang sangat spesifik , berambut panjang dengan tiga atau empat warna dan dalam film terwujudkan.
“Kami ingin mendasarkan kucing pada buku hardcover asli,” ujar Dennis Widmyer, sambil merujuk pada ilustrasi sampul edisi pertama tahun 1983 oleh Linda Fennimore.
Mungkin alasan ini tepat, karena dalam film terdapat adegan terkait dengan rambut panjang dan luka, baik pada kucing tersebut maupun Ellie. Adegan ini termasuk yang menyeramkan, karena seolah menunjukkan kepada penonton saat kehadiran roh jahat di alam manusia. Roh jahat ini dikenal sebagai windigo . Windigo sendiri adalah “urban legend” , yang berasal dari suku-suku yang berasal dari hutan utara Pesisir Atlantik dan Wilayah Danau Besar Amerika Serikat dan Kanada.
Stephen King memang dikenal sangat menyukai cerita-cerita yang bertemakan “urban legend” , dan salah satu novelnya (The Shining) pun yang sangat populer dan tetap dibahas bahkan dimunculkan dalam beberapa film lainnya. Mungkin karena latar cerita “urban legend” amatlah mudah masuk ke dalam pemikiran manusia , tanpa perlu penjelasan panjang dan mendalam.
Kembali pada film Pet Sematary 2019, penonton kali ini akan diberikan tampilan gambar yang sangat berwarna , namun bila adegan sampai pada area pet sematary maka akan ditampilkan gambar yang gelap dan suram. Permainan warna ini membangun emosi penonton, sehingga tanpa banyak penjelasan, seolah penonton telah waspada tanpa sadar, bahwa ada sesuatu yang gelap dan tidak normal di tempat tersebut .
Adegan saat truk menabrak Ellie pun sangat dramatis dan membawa emosi para penonton. Akting Amy Seimetz terlihat sangat natural. Terlihat dari awal , bahwa ia mempunyai trauma tertentu akan kematian , dan ternyata itu terkait dengan kematian saudara perempuannya, yang seolah membuat dirinya merasa terus menerus bersalah.
Saat kematian Ellie , beban itu seolah tumpah dan pada puncak ketidak sanggupan dirinya dalam menghadapi kematian Ellie, ia pun memutuskan untuk pergi dari tempat tinggalnya. Sehingga saat dirinya mendapatkan peringatan untuk kembali pulang dan tidak menembus batas yang telah ditetapkan antara baik dan buruk, terlihat keengganannya namun kemudian menjelma menjadi suatu keharusan untuk kembalipun muncul dalam aktingnya.
Adegan paling luar biasa adalah saat ia harus menerima pelukan dari Ellie yang telah dirasuki oleh roh halus. Raut mukanya sangat mewakili rasa takut dan horror akan sosok yang mirip sebagai puteinya, namun sebenarnya bukan. Tentunya naluri seorang Ibu turut pula bermain dalam hal ini, menjadi adegan ini sangat natural dan menarik sekali.
Pada Jason Clarke , aura pemeran antagonis telah muncul dari awal film. Ia seolah mampu melakukan apapun, agar tercapai keinginannya. Saat anak kesayangannya meninggal dalam kecelakaan yang tragis, seolah batas nurani antara baik dan buruk menjadi pupus dan ia akan melakukan hal apapun , tanpa memperdulikan apapun, untuk mencapai tujuannya.
Pet Sematary 2019 adalah film yang dapat ditonton sebagai ajang nostalgia dan berdiskusi lebih lanjut akan novel Stephen King. Namun pada dasarnya tidak menawarkan sesuatu hal yang baru.
(Nuty Laraswaty)