Pertama-tama perlu diinformasikan terlebih dahulu bahwa penulis sama sekali bukan golongan awam dengan perihal universe Transformers. Sempat menjadi fans berat film animasi lawas saga yang diinspirasi dari brand mainan terkemuka keluaran Hasbro ini (khususnya versi G1), penulis mengikuti perkembangan saga ini sebagai media tontonan hingga ke berbagai versinya, bahkan jauh sebelum kini istilah itu seakan lekat dengan franchise film besutan Michael Bay ini. Penulis juga mengikuti secara seksama perihal sepak terjang franchise ini di kancah layar lebar dan paham benar bagaimana formula yang diterapkan Bay dalam saga ini, pun dengan segala kelebihan maupun nilai minusnya untuk mampu memberikan penilaian terhadap installment teranyar ini.
Aksi dahsyat pertempuran para robot raksasa kembali lagi. Sejak kemunculan film pertamanya yang jarak perilisannya tepat satu dekade lalu, Transformers sukses menjelma menjadi film aksi fantasi yang menghibur. Transformers juga merupakan franchise karya penyutradaraan Michael Bay paling berhasil, dan paling meninggalkan kesan paling dalam di kalangan penikmat film. Awalnya, dikira hanya akan menjadi sebatas trilogi, Bay menghadirkan kejutan dengan kehadiran satu film lagi, Age of Extinction yang meski konflik utama dan karakter robotnya masih cenderung sama namun jajaran karakter manusianya mengalami perubahan besar, dan tidak lagi berfokus pada tokoh Sam Witwicky yang diperankan Shia LaBeouf.
Sebagai gantinya, Bay mengenalkan tokoh utama baru, seorang pebisnis barang loak dan teknisi mesin bernama Cade Yaeger, yang diperankan oleh Mark Wahlberg. Filmnya sendiri, walaupun dari segi kualitas dinilai tidak terpaut jauh, namun raihan finansial yang berhasil dibukukan oleh film Transformers keempat ini sangat menggembirakan. Tidak hanya itu saja, angle cerita berbeda yang dikedepankan berhasil menginspirasi sang sineas untuk mengembangkan jalinan kisah baru yang bermuara pada The Last Knight ini.
Berangkat dari fondasi Extinction, The Last Knight ditujukan menjadi tonggak baru saga Transformers, yang usut punya usut sekaligus merupakan momen istimewa tersendiri dari sang sineas. Hal ini dikarenakan lewat film ini Bay memberikan salam perpisahannya pada kursi penyutradaraan franchise Transformers, setelah sebelumnya dirinya membidani seluruh chapter di saga Autobot vs Decepticon ini.
Menyambung langsung apa yang sudah diketengahkan dalam film sebelumnya, dikisahkan, sejak kepergian Optimus Prime, umat manusia terlibat peperangan dahsyat dengan ras robot Transformers yang masih tinggal. Sedangkan kunci untuk menyelamatkan masa depan terkubur dalam rahasia masa lalu dan sejarah tersembunyi keberadaan para Transformer di Bumi. Pada situasi itulah Cade Yaeger yang kini menjadi buronan pemerintah dipertemukan dengan Vivian Wembley, seorang profesor wanita oleh seorang bangsawan Inggris yang mengetahui banyak sejarah masa silam para robot Transformer, guna memastikan Yaeger dan Vivian menjalankan takdir mereka untuk bersama-sama menyelamatkan dunia.
Sebagaimana karya Bay, jika visualisasi dan adegan aksi menjurus spektakuler adalah ukurannya, film ini layak mendapat nilai mendekati sempurna dengan aksi ledakan di sana sini serta parade perang robot raksasanya. Adegan pertempuran para robot yang ada bila dibandingkan dengan semua installment sebelumnya, hadir jauh lebih spektakuler dan lebih brutal. Apalagi, ini merupakan kali terakhir (kecuali jika dirinya menarik kembali ucapannya-red), seperti sudah dikira sebelumnya, Bay benar-benar habis-habisan di sini, guna memastikan salam perpisahannya meninggalkan bekas mendalam pada kalangan fans Transformers. Ditambah senjata barunya, pengeksekusian dengan menggunakan IMAX 3D secara full, makin membuat skala aksi film babak kelima ini makin berlipat saja.
Lantas bagaimana dengan kualitas penceritaannya? Well,meski dalam hati bersungut-sungut karena meski sudah paham benar apa yang akan ditemui di sini namun masih berharap adanya keajaiban, kekecewaan kembali dirasakan usai menyaksikannya.
Pasalnya, sebombastis apapun paket aksinya, sekali lagi sektor cerita adalah nilai minus dari film ini. Kekonsistenan sang sineas di segi ini mau tidak mau harus membuat kita maklum bahwa sang sineas tampaknya memang tidak terlalu memandang aspek penceritaan sebagai daya tarik utamanya. Di sini yang berkumandang kencang dan sepertinya ingin diperlihatkan Bay adalah goal berupa sebuah film summer blockbuster no brainer yang mutlak. Tidak seperti di film sebelumnya, di mana sang sineas mengesankan berusaha memperbaiki kualitas penceritaan dengan menghadirkan beberapa twist, hal itu sayangnya tidak ditemui di sini. Hasil akhirnya mudah ditebak, dibandingkan Extinction, kualitas kisah The Last Knight sedikit berada di bawah.
Hal ini sudah tentu agak berimbas ke performa para pemainnya. Meski didukung nama-nama besar dan suntikan wajah-wajah baru, yang beberapa di antaranya sudah menyandang nama besar di ranah perfilman, kehadiran mereka tidak banyak berpengaruh dan rasanya peranan mereka mudah saja digantikan nama-nama lain misalnya.
Secara keseluruhan, teramat sayang memang bahwa hingga kali terakhirnya pun sang sineas tidak juga meningkatkan kasta saga ini untuk tidak hanya dikenal sebagai “film perang antar robot raksasa yang sarat aksi wow namun penceritaan wew” semata, dan tetap bersikeras pada gaya pengarahannya yang membuat saga ini tidak bisa keluar dari kungkungan pragmatis formula franchise Transformers yang sudah dibentuknya sejak tahun 2007. Namun, dengan kepastian pihak Paramount sudah mengambil langkah panjang untuk nasib saga film tentang perang antara dua kubu robot raksasa ini, dengan pencanangan kisah spinoff Bumblebee yang dijadwalkan rilis 2018 serta film babak keenam Transformers satu tahun setelahnya, tidak ada salahnya bagi kalangan penyuka setia saga ini mengharapkan kehadiran installment Transformers yang akhirnya bisa membuat saga ini dipandang sedikit serius oleh banyak kalangan khususnya kritikus.