Saat Batman v Superman mendapatkan review beragam yang cenderung negatif, dikarenakan muatannya yang dipandang terlalu serius oleh berbagai kalangan dan plotnya yang dirasa kurang mengalir akibat editing yang kurang rapi (meski belakangan diketahui penyebabnya adalah editing terpaksa yang harus dilakukan Snyder atas tuntutan pihak studio yang kemudian dimanuver sang sineas lewat perilisan versi extendednya) teramat wajar kalau sorotan dan harapan stabilitas DCEU disandarkan pada Suicide Squad selaku ‘twin project’-nya. Apalagi, sebagai bagian dari franchise DCEU, sudah pasti akan ada kaitan antara dua judul tersebut dan tentunya proyek-proyek masa depan kepingan franchise ini.
Walaupun jika mau lebih ditelaah lagi, di atas kertas sumber materi Suicide Squad yang berasal dari seri komik berjudul sama tergolong jauh dari kata familier dan rasanya masih belum dikenal masyarakat luas terlebih kalangan non pembaca komik. Tak pelak, hal ini menjadikan karya penyutradaraan terbaru David Ayer ini menjadi proyek yang sangat berisiko dan notabene menyandang beban lebih berat daripada yang disandang Snyder dalam BvS. Atau jika mau diperbandingkan, padanan beban dan resiko yang setara untuk proyek ini adalah Watchmen yang juga disutradarai Snyder maupun pikulan James Gunn saat menggarap Guardians of the Galaxy. Hal tersebut rasanya disadari oleh Ayer beserta tim perumus skripnya, sehingga di sini mereka menyertakan karakter antagonis ikonik Joker ke dalamnya.
Sedangkan, di sektor para pemainnya, khas komposisi yang banyak mewarnai film-film superhero lainnya dalam satu dekade terakhir, deretan bintang bernama besar menyesaki daftar yang ada, nama yang paling menjadi sorotan sudah tentu adalah Will Smith, yang tumben-tumbenan mau bergabung dalam film dengan katakteristik ensamble cast seperti ini. (Fakta ini sempat menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi saya secara pribadi, karena sebagai pengamat film dan mengikuti film-film Smith, saya menyadari benar bahwa tidak kecuali di Independence Day, sang aktor selalu tampil menonjol dan mendapat porsi dominan di film-film yang dibintangi. Sulit disangkal itu merupakan nilai lebihnya, namun rasanya bakal mendatangkan malapetaka tersendiri jika hal itu sampai terjadi di sini)
Sekali lagi di atas kertas, sudah tentu susunan ‘bahan-bahan mentah’ yang ada dalam resep Suicide Squad terlihat sangat menjanjikan. Belum lagi tambahan ‘bumbu’ Joker dan Batman yang sukses membuat banyaknya spekulasi berkembang dengan liarnya, setelah sebelumnya di salah satu adegan BvS diperlihatkan kostum Robin dengan jejak ‘si badut’ di dalamnya dan penuangan materi promosi trailernya yang dihiasi iringan tembang hit lawas legendaris makin menambah ‘sex appeal’-nya.
Sudah tentu rasa penasaran makin memuncak saat begitu dirilis, kabar mengenai proyek ini lagi-lagi sarat dengan hujaman kritik negatif, seperti saat BvS mulai dirilis luas, khususnya dari situs RottenTomatoes yang kerap dijadikan sebagai barometer bagi kalangan penonton film dengan mentalitas ogah rugi, yang lagi-lagi memberikan rating buruk. Namun, kali ini apakah film kepingan ketiga DCEU ini layak diperlakukan demikian dan Ayer benar-benar gagal menunaikan tugasnya?
Dari kacamata pribadi, Suicide Squad tidaklah seburuk yang dikatakan banyak kalangan. Walaupun sulit disangkal pula ini bukanlah film superhero yang bagus meski sajiannya tidak konyol. Ya, setidaknya tidak sampai sekonyol apa yang diberikan James Gunn di …. sorry, no offense, fans … umm Guardians of the Galaxy (like sing and dance as a decoy, Duh)
Duduk permasalahannya, sajian Ayer di sini jauh menyimpang dari apa yang dibayangkan sebelumnya, terutama jika dibandingkan tone kisah komiknya yang lumayan brutal. Boleh jadi kali ini dahaga untuk menyaksikan debut live action Harley Quinn agak membayangi penilaian keseluruhan saya atas sajian filmnya yang biasa-biasa saja. Karena berani taruhan rata-rata yang datang menyaksikan film ini didorong ketertarikan untuk melihat sepak terjang Harley Quinn dan Joker versi Jared Leto, alih-alih cerita yang diketengahkannya,benar tidak? Coba tanya diri Anda sendiri.
Dari segi pembagian porsi layar para karakternya, meski ada karakter-karakter yang harus tampil menonjol seperti Harley Quinn dan Deadshot sang sineas bisa dikatakan mampu membagi rata dan menjaga ego para pemainnya, membuat masing-masing karakter bisa mendapatkan higlight adegannya tersendiri. Dari segi performanya, bintang-bintang yang ada tidak tampil mengecewakan, bahkan justru bisa dengan lugas bertransformasi menjadi karakter yang mereka mainkan. Kredit lebih rasanya pantas diberikan pada Margot Robbie yang setelah penampilannya di sini, sepertinya sulit dipisahkan dari karakter wanita tokoh love interest Joker itu.
Sebagai penyuka karakter Harley Quinn (meski belum layak disebut fanboy) sejak mengikuti sepak terjang karakter ini di seri komik Injustice dan Suicide Squad, dan lalu kemudian menelusuri berbagai kisahnya di jagat komik dan film, saya terpuaskan dengan perwujudan tokoh ini oleh Margot Robbie yang awalnya disangsikan dapat memvisualisasikan keeksentrikan dan keunikan karakter ini, namun nyatanya justru performanya adalah penyelamat sejati film ini.
Namun menariknya, tidak seperti halnya BvS yang hanya disukai segelintir kalangan awam namun disukai banyak fans komiknya, justru yang terjadi di sini adalah sebaliknya. Sajian Suicide Squad terbukti lebih mengena pada golongan awam namun cenderung dianggap mengecewakan penyuka film komik.
Hal ini sendiri agaknya bisa dimaklumi. Mengambil pendekatan yang sedikit berbeda dengan formula film DC pada umumnya yang cenderung kelam dan juga menyimpang dari pakem aslinya yang sedikit menjurus brutal, Suicide Squad justru tampil ceria dengan balutan warna-warni yang kontras. Aksi dan gaya penceritaannya pun dangkal dan cenderung ke arah menghibur, meski garis besar kisah dan konflik utama yang dikedepankan sama sekali bukan sesuatu yang baru (adegan aksi mendekati klimaksnya bahkan mengingatkan pada klimaks film-film Ghostbusters) serta dari segi penceritaan ada kelemahan menonjol, yakni fungsi keberadaan Joker yang tidak jelas signifikansinya dalam pembangunan storyline yang dikedepankan, selain sekadar memperlihatkan sisi Joker yang lain yakni romantic dan peningkat daya tarik semata. Namun, di luar itu Ayer berhasil memaksimalkan faktor daya tarik utama yang sejatinya memang poin paling krusial untuk film ini, yakni chemistry antar pemain.
Mengenai ceritanya dan penuangannya secara keseluruhan seperti sudah disinggung di atas mungkin jauh dari penggambaran dari apa yang diinginkan banyak kalangan terhadap film ini, yang entah maunya seperti apa. Dari sudut pandang pribadi sendiri, harus diakui memang Suicide Squad bukan karya terbaik Ayer, bahkan jika dibandingkan dengan hasil penyutradaraan sang sineas sebelumnya, Fury, kinerjanya di sini tidak disangsikan lagi adalah sebuah penurunan. Apalagi kentara di sini sang sineas terkesan sangat tidak leluasa menuangkan visinya secara berani ( kami sebenarnya menanti steamy scene antara Deadshot dan Harley Quinn, terlebih sebelumnya di Focus Smith dan Robbie terbukti bisa menciptakan chemistry yang apik).
Kelemahan fatal lain yang paling terasa sudah tentu adalah …lagi-lagi faktor editing yang rasanya menjadi momok menakutkan tersendiri bagi film-film kepingan DCEU lainnya sejauh ini yang mempengaruhi kenyamanan dan mood penontonnya. Karena sudah tidak bisa disangkal lagi meski rasanya banyak yang tidak menyadarinya, inilah kunci utama yang seharusnya bisa diciptakan setiap sineas manapun dalam membuat film dan faktor penonton memberikan penilaian bagus atau tidak terhadap suatu film. Pasalnya, jika ini berhasil diwujudkan, sajian sekonyol apapun niscaya akan mendapat apresiasi baik dan pujian dari kalangan penonton hingga kritikus sekalipun, yang sayangnya hal itu tidak berhasil diberikan Ayer di sini.
Dapat disimpulkan dari paparan di atas, biang kerok kegagalan Ayer di sini adalah keputusan yang diambil untuk membuat film ini sejak awal bertujuan tidak dipandang serius dan keinginan untuk mengikuti selera pasar dalam koridor penceritaan yang aman, yang justru berbalik menjadi bumerang tersendiri saat ternyata hasilnya tidak mampu meraih simpati banyak kalangan. Andai saja Ayer berani menempuh resiko seperti yang dilakukan Matthew Vaughn saat membesut Kick-Ass — yang seperti tidak peduli dengan tatanan yang ada dan tidak berusaha berkompromi dengan kemungkinan apa yang diinginkan khalayak luas – berani taruhan hasilnya akan lain.
Verdict: 3.5
Story: 3 / 5
Acting: 4.5 /5
Visual: 4 / 5
Directing: 2.5 /5
Memorable Scene
Ada sebuah adegan sekilas yang memperlihatkan Harley Quinn dalam balutan busana kebesarannya merah-hitam lengkap dengan topi dan topeng khasnya tengah berdiri dipeluk Joker yang mengenakan jas hitam. Pose dan tampilan ini identik ikon dengan yang dihadirkan dalam cover komik Batman Harley Quinn (One Shot) seperti dalam gambar.