Ingat pesan mama: Jangan gampang percaya pada orang asing. Saya rasa Evan Webber (Keanu Reeves) pernah mendengar nasihat ini. Namun jika orang asingnya adalah dua gadis muda seksi berpakaian basah dan dengan muka memelas mengetuk pintu rumahnya di tengah malam, apa yang bisa dilakukan pria paruh baya ini? Bagaimana mungkin dia akan menolak ibarat kucing diberi makan ikan yang sekonyong-konyong hadir di depan rumah terlebih saat hubungannya dengan sang istri yang tak begitu mulus?
Knock Knock garapan sutradara Eli Roth terinspirasi dari film erotic-thriller Death Game yang dirilis tahun 70-an. Film tersebut belum pernah saya tonton tapi quick googling mengantarkan saya ke artikel mengenai Death Game dan memang, premisnya kurang lebih sama. Namun melihat bagaimana Roth menangani Knock Knock, konsep film ini tampaknya lebih dekat ke Funny Games-nya Michael Haneke.
Film dibuka dengan kamera yang menyorot secara one-shot setiap ruangan dan lorong-lorong panjang di kediaman Evan yang tinggal bersama istrinya, Karen (Ignacia Allamand) serta kedua anaknya. Dari suasana rumah, foto keluarga dan bagaimana interaksi antara Evan dengan keluarganya di awal film, kita diberitahu bahwa ini adalah keluarga bahagia dan sempurna ala sinetron.
Ketika Father’s Day, Karen dan kedua anaknya pergi liburan selama beberapa hari. Evan tak bisa ikut dikarenakan harus menyelesaikan pekerjaannya sebagai arsitek. Ketukan pintu di tengah malam, membuat Evan mengesampingkan tugasnya. Saat dibukakan pintu ternyata ada dua gadis muda yang (katanya) tersesat dan kebasahan gara-gara hujan. Hp mereka mati dan mereka tak tahu jalan, jadi bolehkah mereka meminjam iPad Evan untuk mengontak teman via Facebook?
Tentu saja! Kalian memang orang asing, tapi karena seksi, tentu saja boleh. Kalian juga boleh mengeringkan pakaian dan numpang mandi. Oke, sebagai pria, saya bisa memaklumi keputusan Evan.
After all, seks adalah salah satu dari 3 kebutuhan dasar manusia.
Tak butuh waktu lama bagi kedua gadis ini, Genesis (Lorenza Izzo) dan Bel (Ana de Armas) berganti ke bath robe dan menggoda Evan secara verbal. Roth tak terburu-buru mengeksekusi bagian ini.
Secara perlahan, bagaimana keduanya merayu Evan memberikan intensitas sedemikian rupa yang membuat kita bertanya-tanya apa yang akan terjadi, apalagi mengingat kepribadian Evan sebagai family-man yang mencoba berkomitmen. Namun godaan menjadi lebih dari sekedar verbal dan saat semua variabel telah saling terhubung, kalianbisa membayangkan apa lagi yang akan terjadi.
Dikarenakan Knock Knock bukanlah film porno, apalagi Eli Roth-lah yang berada di belakang layar, tentu saja impian Evan yang terkabul tersebut tak berakhir baik. Saya merasa ini bukanlah spoiler karena sudah bisa diprediksi sejak awal. Kedua gadis ini ternyata tidaklah seperti apa yang diduga Evan sebelumnya.
Keharmonisan rumah tangga yang selama ini telah terjalin berada di ujung tanduk sebagaimana juga dengan nyawanya. Izzo dan Armas terlihat meyakinkan sebagai remaja yang serampangan hingga terungkap bahwa keduanya kemungkinan adalah psikopat.
Hampir keseluruhan film mengambil tempat di kediaman Webber. Mengingat track-record Roth selama ini (Cabin Fever, Hostel), Knock Knock cenderung “aman”, dimana disini lebih sedikit adegan berdarah-darah. Memang ada adegan-adegan seperti penyanderaan atau dikubur hidup-hidup di tanah, namun semuanya lebih terkesan komikal dibanding brutal. Kedua setan seksi ini lebih banyak berbuat vandal dibanding torture. Terornya lebih dikarenakan relatibilitas, sebab peristiwa serupa bisa saja terjadi di lingkungan kita.
Meski begitu, film ini bukanlah film serius, atau setidaknya begitulah menurut saya. Roth tampaknya memaksudkan filmnya menjadi satire (di beberapa poin sempat menyindir apatisme lingkungan dan adiksi media sosial) hingga ke kadar yang berlebihan yang membuatnya menjadi konyol.
Kesan awal saya, penampilan Reeves juga sangat parah disini. Atau mungkin saya salah. Mungkin dia memberikan salah satu penampilan terbaik yang membuat dialog-dialog histeris dan depresif menjadi lucu. Salah satu contohnya adalah saat Evan bermonolog di adegan puncak. Dia begitu meledak-ledak dan melempar banyak F-word meratapi nasibnya, namun malah membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Saya rasa Eli Roth tak ingin menyampaikan pesan khusus dalam film ini. Kalaupun ada, mungkin adalah (1) Jangan gampang percaya orang asing, walau seseksi apapun, (2) Hati-hati dengan tombol “Like” di Facebook.