Film superhero Marvelini temasuk salah satu daftar tunggu saya sejak tahun lalu. Apalagi reboot ini di-gawe oleh Josh Trank, sutradara yang walau baru punya satu film feature (Chronicle, 2012), namun cukup keren dan menghentak, khususnya dalam genre ini. Namun menjelang perilisan, review-review negatif semakin banyak bermunculan. Bahkan di situs-situs review profesional dan populer macam IMDB dan Rotten Tomatoes, film yang digawangi oleh studio Fox ini mendapat skor yang teramat kejam rendahnya. Ada apa sebenarnya? Haruskah saya menontonnya? Seberapa “sampah”-kah film ini?
Saya pribadi adalah penikmat sinema amatiran yang memberlakukan film sebagai hiburan audio-visual yang utuh. Jadi bukan gaya saya untuk dapat menilai sebuah film hanya dari unduhan kualitas handycam yang jelas2 punya resolusi gambar buruk dan suara yang pecah. Lalu alasan apa yang menguatkan saya untuk melihat film ini? Pertama, ini film superhero. Kedua, Josh Trank menjanjikan tone film yang lebih serius. Ketiga, ada nama Phillip Glass diantara komposer musik latar. Dan keempat, saya tidak mau terpengaruh dahulu dengan efek bola salju dari review-review negatif. Saya mencoba.
1) Kekhawatiran awal dan utama saya adalah masalah durasi (1,5 jam). Saya pikir untuk film yang menggambarkan 5 tokoh (4 jagoan dan 1 musuh), paling tidak butuh durasi 2 jam lebih agar karakterisasi lebih mendalam. Apalagi jika dibandingkan dengan versi 2005, versi ini menggambarkan F4 yang masih remaja. Dan memang, kekurangan durasi tadi akhirnya berbuntut panjang pada keseluruhan film.
2) Pertama, premis sains film ini sudah cukup berat, yaitu teleportasi. Bagaimana seorang Reed kecil yang dari SD hingga SMA sudah lumayan expert dalam sains teleportasi quantum adalah sebuah big-big-big deal. Butuh lebih dari sekedar 15 menit dalam film untuk mendalami dan menceritakannya. Memang remaja jenius dalam dunia superhero sudah jamak, salah satunya adalah Peter Parker. Namun sejenius-jeniusnya Peter, dia hanya bermain pada fisika dan kimia praktis.
3) Kekurang-dalaman mengelola tema teleportasi kuantum juga dialami pada tokoh Dr. Storm dan anak angkatnya Sue Storm (kelak jadi Invisible Woman). Sekali lagi, (jika konsisten menggunakan tema realistis Josh Trank sebagai pisau analisis/review) alur penceritaan yang menggambarkan Dr. Storm dan sumber dayanya meneliti dunia teleportasi kuantum dan Planet Zero amatlah singkat. Hampir tidak ada pendalaman dan penjelasan disini. Semua (kecerdasan dan ambisi Reed & The Storms) seolah adalah given yang harus dimaklumi. Tidak ada kehebohan dan awesomeness yang mengiringi.
4) Kedua, durasi yang sempit juga menghilangkan potensi pendalaman karakter tokoh antagonis, Victor Doom. Di awal memang secara sekilas digambarkan sosok Doom yang rada sociopath. Namun itu sangat kurang disajikan. Dan pada akhirnya kekurangan ini akan menimbulkan gap di akhir-akhir film menuju aksi klimaks. Dimana motivasi mental si antagonis tidak cukup kuat dan cenderung tergesa2.
5) Lalu apakah keseluruhan film ini adalah pertunjukan superhero tanpa perkembangan chermistry dan karakterisasi antar tokoh? Tentu tidak. Saya sangat menikmati bromance antara Reed dan Ben (The Thing). Selain itu sebenarnya ada beberapa potensi interaksi yang bagus antara Reed dan Sue, dan Ben serta Johny Storm (Human Torch). Namun (lagi-lagi) durasi merusaknya.
6) Pada pemilihan pemeran, tidak ada komplain dari saya. Sejak awal memang Josh Trank sepertinya ingin membuat reboot yang terasa sebagai antitesis dari film Fantastic 4 sebelumnya. Tema komedi dan ringan diganti dengan tema serius dan gelap. Kematangan dan kedewasaan diganti dengan kelabilan masa remaja. Hingga warna kulit pun diganti. Mungkin karena saya bukan penikmat maniak komik, saya terima-terima saja. Bahkan khusus pemeran Sue Storm, saya cukup mengapresiasi dengan baik karena aktris Kate Mara benar2 memberi interpretasi yang baru yang lebih baik dari Jessica Alba, yang walau lebih seksi, namun terlalu stereotipikal dan membosankan. Akting tokoh lain juga bagus dan natural. Baik dari Milles Teller (Reed Richards), Michael B. Jordan (Johny Strom), Jamie Bell (Ben), dan Toby Kebbell (Victor Doom), mereka semua berakting dengan wajar dan pas. Namun entah kenapa saya sedikit kurang nyaman dengan karakter Dr. Storm (diperankan oleh aktor Reg Cathey). Mungkin karena mayoritas dialog yang diberikan padanya terlalu cheesy dan kaku.
7) Di bagian sinematografi, pemilihan jenis kamera dan teknik pengambilan gambar cukup baik dan tidak jadi masalah. Yang sedikit kurang memuaskan adalah pemilihan setting lokasi. Sepertinya hampir 90% film di-shot di ruangan tertutup, (studio atau green screen). Saya juga hampir jenuh ketika terus-menerus dijejali set laboratorium. Untung saja special effect yang digunakan cukup keren. Pada sisi tata suara tidak ada komplain. Dan pada tata musik latar, terdengar beberapa pengaruh Phillp Glass, tidak semua memang. Maklum saja karena di film ini beliau harus berbagi peran dengan Marco Beltrami.
KESIMPULAN
Film ini sebenarnya amat berpotensi jadi luar biasa. Josh Trank sepertinya ingin penonton meninggalkan kesan yang sama saat menonton “Chronicle”. Namun entah kenapa hasil akhirnya tidak optimal. Beragam rumor yang terkait dengan ketidakcocokan sutradara dan produser memang sudah banyak menyebar. Menurut versi sang sutradara, studio Fox terlalu banyak mengatur. Sehingga visi murni (dan liar) Josh tentang F4 tidak tersampaikan dengan baik. Kalao saja kabar ini benar, mungkin saja pihak Fox tidak mau seperti kasus film “Heaven’s Gate” (1980). Sutradara film ini, Michael Cimino, sama posisinya seperti Josh. Dia sutradara yang baru punya sedikit film feature namun sangat menghentak (“Deer Hunter”, tahun 1978 dan dapat Oscar). Sehingga studio seolah mengiyakan saja kucuran duit untuk visi liarnya dalam menggarap “Heaven’s Gate”, yang pada akhirnya gagal total dan membangkrutkan studionya (United Artist). Mungkin saja ditengah proses syuting Fox mencium gelagat keliaran ini. Duit US$ 120 juta tidaklah kecil. Apalagi ditangan sutradara pendatang baru. Lalu entah bagaimana intervensi ini mempengaruhi hasil akhir film (khususnya masalah durasi). Apakah film ini akan dimaafkan dengan versi director cut? Entahlah kalo memang ada. Yang pasti lumayan sulit untuk menyanggah bahwa film ini akan masuk kotak sejarah sebagai anggota club “The Pretentious Failure” dunia film…
Pada akhirnya, film ini memang dibawah ekspetasi saya. Namun tidaklah buruk-buruk amat. Apalagi menjadi sampah. Masih banyak film-film yang jauh lebih buruk yang sampai tega-teganya tayang di bioskop (udah gitu laris lagi, macam “vampir remaja” dan “truk robot”).
Sepertinya Fantastic 4 versi 2015 ini bisa disimpulkan dengan salah satu dialog di film “Whiplash” (dimana tokoh yang diperankan Milles Teller ditampar2 karena gak genah main drum)
“So tell me, are you rushing or are you dragging?!”
“Rushing.”
Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan telah disunting sesuai standar penulisan kami. Andapun bisa membuatnya di sini.