“We did it!”, “Berhasil! Berhasil!”, “Swiper jangan mencuri!”, “ Coba katakan….”, dan masih banyak lagi. Siapa yang tidak mengenal Dora the Explorer? Rasanya hanya sedikit yang tidak mengenalnya. Diperkenalkan pertama kali oleh Nicklelodeon Jr. sebagai serial kartun bertema ‘educational animated TV series’, serial ini diciptakan oleh Chris Gifford, Valerie Walsh Valdes dan Eric Weiner. Dora The Explorer yang pertama ditayangkan di stasiun televisi khusus tayangan kartun Nickelodeon Nick Jr. mulai tahun 2000 hingga 2014 menjadi salah satu tokoh kartun paling populer di kalangan anak-anak dunia.
Adapun, daya tarik dari serial ini, terutama bagi anak-anak adalah adanya breaking the fourth wall berupa interaksi Dora pada audiensnya. Dalam setiap episodenya Dora selalu berusaha melibatkan penonton di setiap petualangannya. Walaupun demikian, tetap saja agak sulit awalnya membayangkan bagaimana adaikata IP itu diangkat ke dalam film layar lebar berformat live action. Tidak pelak saat upaya me-live actionkan Dora pertama kali tercium, sempat menimbulkan kehebohan tersendiri. Hingga kemudian proyek ini kemudian menegaskan eksistensinya.
Tantangan menghidupkan Dora itulah yang kemudian coba diatasi oleh sineas James Bobin yang sebelumnya berhasil menuangkan The Muppets ke layar lebar, dan Nicholas Stroler, penulis naskah yang sebelumnya sudah menulis film-film komedi seperti Forgetting Sarah Marshall, Get Him to the Greek, maupun Neighbors. Lantas, bagaimana dengan hasilnya?
Tumbuh dan berkembang di hutan Amerika Selatan, meski sudah berusia 16 tahun masih membuat Dora (Moner) memiliki jiwa petualang yang tinggi. Tapi, karena menganggap kalau petualangan baru mereka, yakni mengungkap keberadaan Parapata, kota kuno yang terbuat dari emas. Dirasa terlalu berbahaya untuk putri mereka, ayah (Peña) dan ibu (Longoria) Dora mengirim putri mereka untuk tinggal di Amerika Serikat. Bersama sepupunya, Diego (Wahlberg), si gadis petualang menjalani petualangan yang tidak kalah menegangkan, yakni kerasnya kehidupan di sekolah. Sayangnya, belum lama menjalani rutinitas barunya, sebuah kejadian memaksa Dora, Diego, dan sejumlah kawan mereka menjalani petualangan pencarian Parapata.
Mendaulat bintang Transformers: The Last Knight, Isabela Moner sebagai Dora, dengan tegas dapat dikatakan Bobin dan timnya berhasil menuangkan Dora ke layar lebar dengan baik sebagai sajian menghibur yang pas untuk pangsa keluarga. Moner terbukti sebagai pilihan tepat, dengan permainan air muka, tindak –tanduk, dan performa aktingnya yang mudah menarik simpati audiens untuk menerimanya sebagai Dora. Sementara, para pemain lainnya pun bermain baik.
Dengan formula ala film petualangan Indiana Jones maupun Tomb Raider, jalinan kisah live action ini tersaji ringan dan lumayan sarat humor. Petualangan seru menjurus komikal dan elemen kisah persahabatan memang karakteristik paling kentara di sini. Namun, yang menjadi highlight paling dominan dari hasil adaptasi serial ini adalah keberhasilan Bobin dan timnya menghadirkan semua daya tarik dari versi serialnya itu dalam porsi dan momen penempatan tepat yang efektif menjaga mood penonton.
Simak saja, tidak hanya menghadirkan kisah petualangan mencari situs purbakala yang menarik, karakter-karakter ikonik seperti Boots dan Swiper, bahkan mereka juga tetap menyertakan sesi interaksi yang efektif (breaking the fourth wall-red) untuk memancing tawa audiens. Energi dan keterkaitan serial tvnya juga makin terpancar kuat lewat momen kejutan yang akan membuat audiens mungkin bersorak.
Dora and the Lost City of Gold sebenarnya juga memiliki beberapa kekurangan. Beberapa di antaranya ada di sesi adegan musikalnya (yang mana untuk ukuran sekelas Bobin ini merupakan penurunan), ataupun kemasan storyline yang kalau mau dicermati cukup membingungkan berkenaan golongan usia yang dibidik sesungguhnya. Walaupun demikian, secara overall, Bobin masih bisa dikatakan mampu memoles salah satu IP populer film blockbuster paling unik tahun ini menjadi tontonan ringan bagi segala kalangan segala usia.