Bagi para penikmat film Hollywood, khususnya yang menggemari genre fiksi ilmiah menyerempet-nyerempet unsur horor, pasti sudah mengetahui bahwa monster berukuran raksasa bukan merupakan perihal yang aneh disajikan dalam sebuah film produksi Hollywood. Namun, meski demikian, bila dibandingkan dengan monster Godzilla asal Jepang, dari sekian banyaknya monster raksasa yang pernah dihadirkan hingga kurun waktu menjelang millenium kedua, paling hanya King Kong yang memiliki reputasi mendunia di ranah perfilman, itupun kemunculannya lebih awal dari monster kadal asal Jepang yang dalam saganya diceritakan tercipta akibat mutasi nuklir.
Rupanya, hal tersebut menjadi bahan pemikiran mendalam J.J. Abrams. Dengan gagasan bahwa Amerika (Hollywood-red) dirasanya belum dan perlu memiliki monsternya tersendiri, Abrams yang berkolaborasi dengan Drew Goddard kemudian menyusun naskah film mengenai serangan monster berukuran raksasa yang tiba-tiba muncul di New York dengan fokus lima warga kota yang tengah menggelar pesta perpisahan untuk salah satu rekannya dan mereka terjebak dalam situasi tersebut. Untuk nahkodanya, Abrams lantas menyerahkannya pada Matt Reeves yang baru merintis karier penyutradaraannya.
Dikisahkan, menjelang kepergian Rob (Stahl-David) ke Jepang karena dipromosikan oleh perusahaannya, saudara Rob yang bernama Jason bersama kekasihnya, Lily menggelar pesta perpisahan untuk sang adik, yang acaranya didokumentasikan oleh Hud, salah satu sahabat mereka. Di tengah-tengah acara, Beth “teman istimewa” Rob pergi meninggalkan pesta setelah sebelumnya sedikit cekcok dengan yang punya hajat.
Konflik berawal ketika tidak lama dari situ kota dilanda gempa yang mengakibatkan aliran listrik terputus. Dilanda kepanikan, para hadirin pesta berhamburan keluar, di mana mereka melihat puing kepala patung Liberty yang tergolek di jalanan, dan lalu melihat dengan mata kepala sendiri sesosok makhluk raksasa yang menjadi biang keladinya. Situasi bertambah rumit bagi Rob saat ia mendengar pesan dari Beth yang menginformasikan bahwa ia terperangkap di apartemennya dan tidak bisa bergerak. Maka, Rob, Hud, Lily, dan Marlena (salah satu tamu pesta) tidak mengindahkan bahaya yang mengancam demi menyelamatkan Beth, meski pasukan militer yang datang untuk menanggulangi dan memerangi monster itu sudah menyatakan wilayah itu sebagai pusat bahaya dan berencana melancarkan pengeboman nuklir dengan sandi “Hammer Down Protocol”, yang bakal mengakibatkan kehancuran kota.
Dengan teknik pengambilan gambar bergaya found footage, melalui Cloverfield, Abrams berhasil menuntaskan ambisinya untuk memberikan audiens sebuah sajian film tentang serangan monster yang sulit terlupakan. Betapa tidak, dari tahap perencanaan hingga menjelang perilisannya, tingginya tingkat kerahasiaan yang dijaga oleh Abrams bersama timnya, membuat proyek ini sukses memancing rasa ingin tahu banyak kalangan.
Untungnya, hasil yang dicapai terbukti tidak sia-sia. Penggunaan gaya tersebut terbukti memberikan keuntungan sendiri dalam berbagai aspek, yang membuat apa yang disajikan di sini terlihat nyata dan mampu membangun aura kengerian bernapas fiksi ilmiah secara efektif. Diproduksi dengan bujet produksi $25 juta, Cloverfield mampu menorehkan raihan lebih dari $17 juta di masa perilisannya. Walaupun respon yang dituainya beragam, film ini diamini menjadi salah satu film Hollywood yang profilnya paling populer di ranah fiksi ilmiah dua abad belakangan ini.
Baca juga: Mainkan Game Baru dari Viral Marketing 10 Cloverfield Lane
Why This May Become a Cult?
Daya tarik utama film ini terletak pada tingkat kerahasiaannya,selain sangat pelit memberikan informasi, bahkan judul film ini tadinya masih simpang siur. Meski tidak sampai menggebrak hingga tahap luar biasa sebagai film monster, Cloverfield sukses memberi sumbangan yang sangat signifikan pada dinamika industri perfilman dunia, yakni menjadi pelopor bagaimana mengakomodir strategi viral marketing secara maksimal pun efektif,. Terbukti, selepas perilisan Cloverfield, strategi viral marketing kini ibarat menjadi primadona di ranah perfilman, khususnya di Hollywood sendiri. Film ini juga mencuatkan kesan film indie (meski pada kenyataannya, bukan). Nilai plus lainnya adalah film ini juga menjadi film fiksi ilmiah pertama yang mengusung style hand-held camera yang nantinya dikenal dengan nama “La Shakily Queasy-Cam” bisa sampai membuat audiensnya merasa pusing hingga muntah-muntah. Cloverfield juga memberi pengaruh tidak langsung pada perkembangan genre film monster raksasa di Hollywood ke depannya maupun yang berisikan aspek semacam itu, seperti Pacific Rim dan reboot Godzilla.