Review Film Captain Marvel
A fun but flawed origin tale ….. Another uninspiring marvel movie
Sejak mampu mewujudkan proyek ambisius perdananya, MCU dengan menyatukan para superhero lini-lini terdepannya (yang sebelumnya satu persatu dibuatkan film aksi solonya-red) melalui Avengers, yang kemudian dimantapkan lagi lewat fase keduanya, Marvel Studios sudah mengantungi formula mumpuni bagaimana menghasilkan film superhero yang mudah diterima semua kalangan. Hal itu terbukti dengan meski notabene mereka menghadirkan tokoh-tokoh yang asing bagi kalangan awam, sambutan hangat selalu berhasil dituai.
Pendeknya, bahkan dari 10 film-film superhero Marvel yang terakhir dirilis, jarang yang kualitasnya sangat buruk atau bahkan tergolong medioker sekalipun. Harus diakui pihak studio telah menjadi sangat kompeten dalam menyusun kepingan-kepingan kisah narasi superhero. Begitu pula yang dapat dilihat dalam rilisan paling gres mereka, Captain Marvel, debut pertama MCU menghadirkan film solo superhero wanita. Tokoh ini juga merupakan superhero terakhir yang bergabung dengan para Avenger sebelum menghadapi Thanos di Avengers: Endgame.
Dalam Captain Marvel diceritakan seorang pejuang Kree bernama Vers (Brie Larson) yang mempunyai kemampuan melontarkan cahaya photon dari tangannya (namun belum mampu dikontrolnya- red) tidak ingat dengan masa lalunya. Meski demikian, Vers tidak segan untuk ikut ambil bagian dalam perang abadi Kree melawan ras alien rival mereka, Skrull yang mempunyai kemampuan meniru wujud siapapun.
Suatu ketika dalam proses memburu teroris Skrull bernama Talos (Ben Mendelsohn), membawa Vers terdampar di Bumi dan membuatnya berjumpa dengan agen S.H.I.E.L.D, Nick Fury (Samuel L.Jackson). Sama-sama menelusuri apa tujuan yang ingin diwujudkan Talos, sang pejuang mulai mengingat kehidupan masa lalunya dan fakta bahwa dirinya memiliki keterkaitan kuat dengan Bumi, khususnya berkaitan dengan seorang wanita Bumi bernama Carol.
Seperti halnya sebuah kisah origin superhero, pembuka kisah ini adalah perkenalan seorang karakter yang belum menyadari potensi ke-hero-annya. Narasi ini kemudian oleh tim yang terdiri dari sineas Anna Boden, Ryan Fleck dan Kevin Feige dipertajam dengan formula familier khas mereka: perkembangan karakter, pemilihan pemain yang tepat, spesial efek yang apik namun jarang inovatif, alegori kecurigaan politik dan penemuan fiksi ilmiah (pun istilah-istilah inteleknya-red).
Rumusan ini rupanya bisa juga diterapkan untuk film mengenai jagoan wanita. Loyal dengan pakemnya, namun kisahnya juga mampu sekaligus menjadi kepingan pelengkap maupun berdiri sendiri dari kepingan MCU lainnya (bahkan berkenaan dengan setting masa yang dikedepankan film ini malah bisa pula difungsikan sebagai fondasi dasar yang solid bagi franchise MCU). Menyuguhkan format kisah misteri kosmis yang pelan tapi pasti membangun utuh seorang karakter baru – dan kemudian mengeksposnya dalam cara yang paling spektakuler. Film ini juga berusaha mengambil keuntungan dari setiap twist dan kejutan yang tersedia ketika seorang hero tidak bisa mengingat kehidupan masa lalunya.
Hasilnya memang, dari segi penuturan kisahnya, ada sedikit angin segar jika dibandingkan dengan film-film origin kepingan MCU lainnya. Di mana biasanya mengusung satu tarikan garis lurus, penuangan kisah origin kali ini sebagian dituturkan dalam teknik non linear, seperti formula yang tengah banyak diadopsi kisah origin tokoh superhero di serial-serial berseri. Perjalanan pencarian misteri jatidiri sang tokoh utama dan proses investigasi yang dilakukannya, serta adegan tumpang-tindih antara masa lalu dan masa kini, membuat kisahnya memiliki muatan bobot lebih dibanding babak-babak origin tokoh pendahulunya. Menyuguhkan setting era 1990an dan menghadirkan homage terhadap tren budaya pop pada masa itu, termasuk di sektor soundtracknya, serta joke-joke yang timbul dari perasaan nostalgia terhadapnya, adalah nilai plus lain dari film ini. Pun juga performa lumayan apik bintang-bintang tenar yang membintanginya (khususnya untuk Ben Mendelsohn).
Sayangnya, metode penuturan kisahnya ini juga mencuatkan kelemahan tersendiri, dalam hemat penulis. Setidaknya ada dua hal yang cukup mengganggu. Yang pertama, membuat paruh awal kisahnya kurang nikmat diikuti. Teka-teki yang sudah disajikan pada penonton sejak di menit-menit awal melalui fragmen-fragmen adegan kilasan memori masa lalu sang tokoh, bagi penonton awam yang tidak siap dan mengharap plot lebih sederhana, mungkin akan mudah menjadi bingung dan antusiasnya sedikit menurun dengan presentasi paruh pertama ini.
Untungnya di paruh kedua, berjalan lebih menarik, seiring penuangan kisah yang mulai mengarah lebih sederhana dan puzzle-puzzle misteri awal mulai terungkap. Begitu pun dengan joke-joke yang hadir satu persatu, khususnya yang berkaitan dengan binatang film yang pantas disebut sebagai scene stealernya. Apalagi, dua pemain karakter sentralnya, Brie Larson dan Samuel L. Jackson mampu menghadirkan chemistry ala buddy-cop comedy lumayan apik.
Namun, meski demikian adapun poin kelemahan kedua adalah jalannya arahan film ini. Dibanding film-film origin lainnya di mana terpampang jelas proses pembelajaran sang karakter utama mengalami transisi terlebih dahulu mengenai potensi (kemampuan) heroismenya sebelum akhirnya bertransformasi utuh menjadi sosok super yang solid, hal itu kurang tergali di sini. Poin ini sangat disayangkan, mengingat posisi vital Captain Marvel sendiri dalam tatanan franchise yang disebut sebagai tokoh protagonis paling kuat di jagat MCU.
Padahal, fase ini selain sangat informatif dan menarik, juga mampu memberikan ruang lebih semakin kuatnya keterikatan emosional audiens penonton pada karakter ini. Namun, alih-alih poin ini, yang dieksplor justru bagaimana kuatnya karakter ini, yang mana poin ini sebenarnya mungkin sudah diketahui penonton bahkan sebelum adegan pertama dimulai sekalipun. Memang pada akhirnya, sebagaimana film superhero pada umumnya, adegan aksi pada Captain Marvel bisa dibilang lumayan impresif. Highlight paling menariknya sudah tentu saat bagian klimaks di film, saat ia memerlihatkan kemampuan sejatinya yang membuatnya layak menyandang predikatnya sebagai protagonis terkuat di jagat MCU. Namun, tetap saja itu tidak cukup untuk menutupi gap ini, yang malah menyeret sajian aksi yang dihadirkan terasa agak hambar, repetitif, dan kurang mengendap secara emosional.
Secara keseluruhan, Captain Marvel sama sekali bukan film yang buruk, terlebih untuk ukuran film tentang origin tokoh MCU yang menurut penulis adalah terbaik ketiga setelah Iron Man dan Captain America. Film ini juga mampu menyuguhkan adegan-adegan berisi jawaban maupun trivia yang tadinya belum disinggung sama sekali di franchise MCU (Anda akan mudah menyadarinya). Namun, kelalaian tim film untuk menjalin ikatan emosional kuat dengan penontonnya, membuat hasil akhir yang disuguhkan sedikit di bawah harapan penulis, dan membuat sajiannya kurang meninggalkan impresif mendalam jika saja bukan sebagai jembatan akhir menuju Avengers: Endgame.
Baca lebih lengkap tentang Captain Marvel di majalah Cinemags edisi 224!