Johnny Depp di era 2000-an adalah sebuah ironi. Pada awal dekade ini dia membawa akting eksentrik dan slengean (ala Keith Richard) ke level tinggi lewat karakter Kapten Jack Sparrow. Namun saking terlalu jauh, aktor kelahiran 1963 ini malah terjebak di dalam ke-eksentrikannya sendiri. Mulai dari Willy Wonka hingga Sweeney Todd. Dari Mad Hatter (Alice in Wonderland), hingga Barnabas Collins (Dark Shadows). Zona amannya bersama sutradara Tim Burton dan Gore Verbinski mulai goyah. Penonton mulai jenuh dengan Depp yang seolah hanya berakting menjadi dirinya sendiri. Apalagi setelah aktor seperti Robert Downey Jr, yg ikut-ikutan menjadi eksentrik dan nyeleneh dalam hampir setiap perannya (puncaknya di Iron Man 2). Memang diantara periode tadi suami aktris Amber Heard ini pernah mencoba peran yang berbeda seperti dalam “Public Enemy” dan “Transcendence”. Namun keduanya terlalu underrated untuk diapresiasi. Puncaknya adalah kerjasamanya (lagi) dengan Verbinski dalam “Lone Ranger”, dimana Depp kembali berperan jadi Jack Sparrow versi Indian. Masih adakah momentum bagi Depp untuk keluar dari limbo?
“Black Mass” adalah film bergenre drama/thriller/kriminal yang disutradarai oleh Scott Cooper. Satu-satunya film dari sutradara ini yang pernah saya tonton sebelumnya adalah drama tentang musisi country “Crazy Heart” yang cukup bagus. Film yang didistribusikan oleh WB Studio ini bertutur dari kisah nyata tentang kriminal Irlandia-Amerika James “Whitey” Bulger (Johnny Depp) yang melanglang-buana di dunia kejahatan Boston tahun 70-80an. Inti ceritanya adalah tentang kesetiaan, nepotisme, penghianatan, dan dilema yang melibatkan Willy Burger, adik dari Whitey (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) serta John Connoly (Joel Edgerton) si agen FBI yang sejak kecil merasa punya utang budi dengan Whitey karena sama2 tumbuh besar di jalanan. Willy sendiri adalah seorang politikus yang sedang meniti karier. Dalam perjalanan cerita, dunia kriminal dan hukum (serta politik) akan membentuk kolaborasi haram nan menjanjikan. Kerjasama Whitey dan Agen John memang sempat sukses menyingkirkan gangster besar Italia di Boston (yang sekaligus menjadi “saingan alami” gangster Irlandia). Namun pada akhirnya mutualisme terlarang ini berkembang terlalu jauh dan dalam sehingga menyeret satu per satu dari mereka dan orang-orang sekitarnya menuju konsekuensi yang pedih dan berdarah.
Tidak ada hal yang baru dari sisi tema cerita dari film berbujet US$ 53 juta ini. Setting tentang dunia kriminal Pesisir Timur Amerika sudah sering diangkat oleh sineas Hollywood. Yang paling terkenal tentu saja adaptasi sukses Martin Scorsese “The Departed”. Dalam beberapa titik juga terlihat gaya penuturan ala Scorsese film ini. Bahkan wajah Johnny Depp (entah sengaja atau tidak) terlihat mirip aktor Ray Liotta. Bedanya, sang sutradara tidak ikut-ikutan fetish dengan kekerasan. Walaupun tidak berarti film ini bebas adegan berdarah. Tempo film juga lebih pelan, lurus dan linier maju. Namun pendekatan konservatif tadi tidak membuat film berjalan membosankan. Justru dengan suasana dan dialog-dialog yang tepat, film berdurasi 2 jam ini cukup bisa membuat tegang dan mencekam hingga klimaks.
Kekuatan terbesar film ini adalah pada pemilihan pemeran dan akting mereka. Hampir semua pemeran film ini adalah aktor-aktor kawakan hollywood kelas A. Akting Benedict Ketimun memang tidak terlalu menonjol. Namun itu memang karena naskah. Dalam slot adegan yang terbatas, aktor Inggris ini tetap bisa menampilkan sosok politikus yang terkurung dilema antara karier dan hubungan darah. Joel Edgerton menampilkan akting yang prima dan mumpuni sebagai penegak hukum narsis yang walaupun terlihat mantap, namun terkadang goyah dan grogi. Secara khusus, walaupun tidak luar biasa, Johnny Depp perlahan bisa keluar dari kutukan typecast yang sudah dibahas di paragraf awal. Dia tetap cool. Dia tetap tangguh. Namun kali ini Depp tidak lupa menampilkan sisi nelangsa yang lebih intens. Perhatikan tatapan nanar seorang Whitey sepanjang film, yang menunjukkan bahwa di dalam kepala karakter ini ada pertarungan moral tentang bagaimana batasan untuk bertindak tanpa ragu atau tetap mengedepankan logika.
Aktor-Aktris pendukung lain juga beken dan dalam top performance, seperti Kevin Bacon, Dakota Johnson, hingga Juno Temple yang walau dapat peran minor tapi penting bagi penggambaran karakter si tokoh utama. Bahkan saya sempat pangling dengan seorang Peter Sarsgaard karena dia terlihat sangat pecundang di sini. Jangan lupa juga ada aktor Corey Stoll yang baru-baru saja nongkrong di film superhero “Ant-Man”
Dari sisi teknikal, sinematografi dan tata suara tidak terlalu masalah. Cuma memang agak aneh kalo film setting 70-80an tapi hampir sama sekali tidak menggunakan lagu2 zaman itu sebagai latar penguat. Junkie XL, komposer yang sedang naik daun, cukup sukses dalam membuat musik latar yang pas dan dramatik. Namun sayangnya di beberapa adegan saya rasa musiknya terlalu kekinian dan generik ala film Jason Bourne.
Akhir kata, Black Mass adalah sebuah karya yang solid dari Scott Cooper sekaligus sebagai pembuktian kembali spektrum akting seorang Johnny Depp. Tidak ada yang menghentak, namun tetap harus diapresiasi tinggi. Bagi penonton yang mengharapkan film aksi kriminal dar-der-dor dan tabrak sana-sini, film ini kurang tepat untuk anda. Black Mass adalah murni pameran akting, naskah, dan tempo penyutradaraan.
Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan telah disunting sesuai standar penulisan kami. Andapun bisa membuatnya di sini.