Pasca redupnya genre film western dan sebelum genre superhero merajai daftar box office dalam kurun dua dasawarsa terakhir, pada era 1990an kisah sepak terjang aksi kepolisian bisa dibilang merupakan primadona Hollywood dan tren yang berkibar kencang pada saat itu. Tidak hanya film, televisi tanah air pun menyuguhkan banyak sekali tayangan serial dengan tema serupa.
Judul-judul seperti Miami Vice, 21 Jump Street, The Nasty Boys, Street Justice, dan masih banyak lagi sempat mewarnai slot hiburan di televisi swasta tanah air, dan meninggalkan impresi mendalam bagi pemirsanya. Saking membekasnya, jangankan judul pun dengan tokoh-tokoh utamanya, bahkan gambaran situasi kultural Miami yang kerap diangkat sebagai settingnya juga bisa jadi bukan perihal yang asing.
Berangkat dari tren itulah, bukan hal yang aneh juga jika pada masa itu, film-film aksi drama kepolisian merajai daftar box office di Hollywood. Dan, satu di antaranya yang punya nama besar adalah Bad Boys.
Pertama kali rilis di tahun 1995, Bad Boys yang digarap Michael Bay bersama Jerry Bruckheimer sukses memberikan paket hiburan yang sangat solid. Sekaligus menjadi salah satu pelopor format buddy cop film, duo Will Smith- Martin Lawrence yang kala itu belum begitu tenar di kancah layar lebar, mampu tampil energik pun eksplosif, seraya membangun chemistry yang apik.
Dari segi storyline, apa yang disajikan dalam film ini sejatinya tidak istimewa, namun performa Smith- Lawrence sebagai Mike Lowrey dan Marcus Burnett: pasangan polisi yang punya cara pandang dan kehidupan berbeda kontras ini, ibarat dilahirkan untuk berduet di sini, makin menambah solid film aksi yang sarat dengan adegan ledakan dan tembakan ini. Dan, tentunya tren yang tadi telah disinggung di atas makin mempermulus jualan yang diketengahkan di sini.
Sementara sekuelnya, Bad Boys II dirilis pada tahun 2003, yang pada saat itu sudah merupakan rentang waktu panjang antara sebuah film sukses dengan sekuelnya. Meski kemudian gap panjang ini menjadi perihal yang lazim untuk Hollywood yang mulai kehilangan ide dan salah satu cara termudah untuk mengulang kesuksesan. Pun demikian, tren genre film sukses masih belum begitu bergeser, di mana film-film aksi kepolisian meski tidak lagi begitu mendominasi, namun terbukti masih sangat diminati.
Terbukti, Bad Boys II masih sangat bertaji. Film ini makin mengukuhkan kesaktian Smith –Lawrence sebagai duo solid yang menghibur serta mengapa Bad Boys pantas dijuluki sebagai salah satu pelopor buddy cop film sukses. Interaksi antara keduanya, suntikan kisah drama yang digerakkan perkembangan karakter yang signifikan serta skala aksi yang disuguhkan, membayar lunas ekspekstasi fansnya atas apa yang diharapkan dari sebuah sekuel mengenai aksi sepak terjang Mike Lowrey – Marcus Burnett ini.
Dan, lalu sampailah kita pada Bad Boys III atau Bad Boys for Life. Film ini hadir 17 tahun setelah film sebelumnya. Dalam situasi di mana tren sudah sangat bergeser. Genre film superhero sudah begitu mendominasi, film aksi drama kepolisian bukan lagi genre yang punya magnet kuat untuk raupan komersial yang fantastis. Generasi masa kini juga boleh jadi tidak punya kedekatan emosional dengan sajian yang ditawarkan atau bahkan belum menyaksikan dua film sebelumnya.
Belum ditambah kebintangan Will Smith yang sudah tidak sekuat dulu dan fakta bahwa pembesut dua film sebelumnya tidak lagi menyutradarainya, indikasi ketidakyakinan pihak kreatornya pun terasa dari lambatnya proses perealisasian dan penundaan jadwal rilisnya. Faktor nostalgia semata lah rasanya masih bisa dijadikan senjata untuk menarik minat penonton.
Sekarang digawangi oleh duo sineas Belgia, Adil El Arbi dan Bilall Fallah, seperti sudah diduga, film ini memuat seluruh aspek dari genre film buddy cop dan apa yang membuat franchise ini menarik. Dan, itu sangat menyenangkan. Adil dan Bilall menyuguhkan syut-syut seperti yang dulu dihadirkan Bay, untuk membuat audiens tetap merasa familier dengan cara Bay mengemas franchise ini sebelumnya.
Sesuai apa yang diharapkan dari film yang dibintangi Will Smith dan Martin Lawrence, unsur komedi merupakan kuncinya. Bukan saja sebagai salah satu aset utamanya, namun juga menjadi bagian terbaik film. Meski dari segi fisik, seiring usia kedua aktornya sudah tidak lagi seprima dulu (dan hal ini menjadi salah satu konflik yang disinggung sepanjang cerita- red), mudah rasanya bagi audiens untuk melihat Smith – Lawrence untuk melebur sebagai Mike Lowrey – Marcus Burnett lagi bahkan sejak menit pertama kemunculan mereka, meski terakhir mereka memainkannya lebih dari satu dekade lalu.
Beberapa nama lama (termasuk Reggie-red) yang kembali hadir juga makin efektif menghadirkan perasaan nostalgia. Sementara beberapa karakter barunya mampu memberi warna tersendiri dan amunisi cukup bagi saga ini untuk melangkah ke jenjang berikutnya.
Setelah komedi dan chemistry antara Smith dan Lawrence, porsi aksi adalah poin penting berikutnya yang harus digarisbawahi. Seperti halnya dua aspek lainnya, ini merupakan karakteristik kental dari franchise ini. Untuk segi aksinya, harus diakui tidak sampai menyamai level masif yang dihadirkan Bay di dua film sebelumnya, namun efisien, konstan, cukup memuat adegan ledakan sesuai kebutuhan. Pun juga dengan tokoh antagonisnya, yang bisa dikatakan sebagai penuangan antagonis terbaik di keseluruhan saga ini.
Tokoh antagonis kali ini punya motivasi sungguhan dan ikatan personal dengan tokoh utama. Hal ini menambahkan kedalaman lebih pada film ini, menyuguhkan aspek yang belum pernah disajikan di sini seraya mengelevasi cerita drama di sini melebihi dua film sebelumnya.
Secara keseluruhan, Bad Boys for Life adalah sajian hiburan solid yang bisa bersanding dengan dua film sebelumnya. Apa yang diharapkan ada di sini, dan disajikan lumayan memuaskan: kejar-kejaran mobil, investigasi dan penyergapan yang menjadi situasi banjir darah, tembak-tembakan, adu jotos, adegan tembak-tembakan skala besar di paruh ketiga plus adegan ledakan besar, serta sarat sumpah serapah dan dialog mengundang tawa.
Sejujurnya, apa yang disajikan di sini tidak lebih adalah fan service bagi para penggemar setianya, yang akan merasa puas dengan sajian yang ada di sini. Film ini mungkin tidak akan menjadi film rilisan 2020 favorit siapapun, namun jika ukurannya adalah apakah orang-orang akan merasa menyesal setelah menyaksikannya, maka tidak adalah jawabannya. Karena, bagi kalangan yang atas dasar apapun tertarik untuk menyaksikannya meski mungkin belum menyaksikan dua film sebelumnya, rasanya juga dapat dengan mudah menikmati sajian yang ada di sini.