Harus diakui, pembuatan film ini memang melalui jalan yang cukup terjal dan panjang. Proses pembuatan filmnya yang sempat terganggu setelah mundurnya Edgar Wright menjelang syuting berlangsung hingga perubahan cerita membuat banyak penggemar cukup skeptis dengan Ant-Man. Akan tetapi, Peyton Reed berusaha bahwa film penutup Fase Kedua dari Marvel Cinematic Universe ini berada di tangan yang tepat. Dengan berbagai superhero yang sudah beragam dan kuat dari film Marvel Studios lainnya, apa hal baru yang ditawarkan oleh Ant-Man?
Seperti halnya beberapa film superhero Marvel Studio, film ini memberikan sedikit konflik yang dialami oleh seorang Hank Pym. Terlihat bagaimana tendensi yang sudah dilakukan oleh Reed dengan baik dan inilah yang membangun awal filmnya yang kemudian semakin menarik. Nuansa komedinya pun sudah terasa dalam beberapa interaksi karakternya, walaupun begitu unsur kekeluargaan sangat terasa sekali di film ini. Menariknya jika merunut ke beberapa film Marvel di fase keduanya, baik Iron Man 3, Guardians of the Galaxy dan Avengers: Age of Ultron mengusung tema ini. Akan tetapi, lewat Ant-Man inilah Marvel seakan membuktikan bahwa mereka tidak hanya membahas konflik kepentingan pribadi ataupun alien, namun lebih melebur pada kisah ayah-anak yang ditunjukkan oleh Scott Lang. Selain tema keluarga, unsur heist juga sangat dominan di dalam filmnya. Tidak terkesan terlalu serius, bagaimana problema dan solusi yang dihadapi oleh beberapa karakternya sangat berkesan. Salah satunya pada adegan Lang, Pym dan ketiga teman pencurinya yang berdiskusi untuk mencuri kostum dari Yellowjacket yang berujung pada momen yang absurd.
Tensi tanpa henti dilakukan oleh Reed yang sayangnya sedikit memaksakan adegan dari markas The Avengers yang baru. Penulis merasa bahwa adegan ini seperti harus dimasukkan seperti halnya film Marvel lainnya dan justru menjadi kekurangan filmnya yang paling mendasar. Pertarungan pamungkasnya memasang pace cepat (bayangkan perpindahan tempatnya dan cara yang tidak biasa dengan ‘mengecil’) cukup membantu filmnya. Akan tetapi, sayangnya final battle ini lebih dominan oleh Ant-Man, sementara Yellowjacket hanya terlihat sebagai musuh yang dilawan tanpa memberikan impresi apapun. Ya, inilah permasalahan yang masih sama bagaimana Marvel kurang memberikan gambaran lebih terhadap karakter antagonis utamanya. Sehingga dalam beberapa film mereka, entah itu The Mandarin, Mallekith, atau Ultron yang sayangnya tidak tergarap dengan baik. Inilah yang menjadi nila bagi Ant-Man di mana Yellowjacket hanyalah sekedar musuh yang harus dikalahkan begitu saja. Memang Darren Cross memberikan determinasi di awal namun selanjutnya biasa saja.
Melihat dari segi akting, Paul Rudd memang pantas berperan sebagai seorang Scott Lang. Aktingnya sebagai seorang ayah yang terjebak pada keadaan dan kegagapannya sebagai seorang superhero sangat memorable. Bahkan tindak-tanduknya dalam melakukan aksi heist juga diperlihatkan dengan nuansa komikal yang menghibur. Sementara itu, Michael Douglas tidak kalah ciamiknya dengan menghadirkan seorang Hank Pym yang bahkan pada usia tuanya menampilkan seorang pria tua yang rapuh namun keras kepala dan cerdas. Belum lagi umpatan dan perkataannya yang laten, memberikan persona seorang mentor yang cukup nyeleneh. Reaksi dingin dan juga kebimbangan Hope Van Dyne begitu pas diperlihatkan oleh Evangeline Lily. Problemanya dengan Pym dengan masa lalu dan pertentangan keduanya mendapatkan porsi yang cukup baik. Sayang sekali Corey Stoll dalam film ini tidak terlalu bagus sebagai Darren Cross. Dalam film ini ia seakan sudah cukup menjadi seseorang yang jahat dan juga memasang raut muka bengis namun tanpa memberikan emosi lebih. Padahal, ia sudah terlihat bagus di awal film yang kemudian malah mengalami penurunan karakter di akhir film. Scene Stealer? Jelas ditujukan kepada Michael Pena yang memerankan seorang Luis. Karakter ini begitu konyol dan narasi yang diucapkannya amat mengundang tawa.
Bukan pekerjaan gampang bagi seorang Peyton Reed dalam menggarap film ini. Mendapati filmnya dalam permasalahan di mana sutradara sebelumnya, Edgar Wright membuatnya harus berpikir keras dalam ‘menyelamatkan’ Ant-Man. Bisa dibilang, misinya cukup berhasil dan Reed menghadirkan sebuah film heist berbalut drama komedi aksi yang cukup solid. Skripnya yang juga dikerjakan bersama Rudd memberikan kisah yang humanis dan juga dialog komikal yang sangat menyatu dengan filmnya. Belum lagi spesial efeknya juga begitu baik dalam menyajikan superheronya berukuran kecil terutama adegan pertengahan dan akhir yang sangat enak dipandang. Christophe Beck sukses mengkomposeri musik yang penuh teka-teki dan juga sesuai dengan tone film-nya. Apalagi tema Ant-Man yang digubahinya begitu asyik didengarkan dalam mengiringi aksi Lang sebagai manusia yang bisa mengecil ini.
Overall, Ant-Man merupakan penutup Marvel Cinematic Universe Phase 2 yang menghibur. Namun demikian, kurangnya determinasi dari musuh utama menjadi momok yang masih menghantui Marvel dalam menyajikan film-film mereka. Namun, patut diapresiasi bagaimana Rudd, Douglas dan Reed membuat sebuah Ant-Man menjadi salah satu film yang loveable bagi penggemar film komik.