Walaupun tidak menorehkan hasil luar biasa, kisah agen Secret Service Mike Banning yang dimainkan Gerard Butler punya komersialisme yang potensinya besar. Pasalnya, siapa yang mengira bahwa sepak terjang sang agen bisa mencapai babak trilogi.
Sembilan tahun sudah berlalu saat agen Paspampres Mike Banning yang dimainkan Gerard Butler pertama kali beraksi dalam Olympus Has Fallen. OLH sukses menggungguli film dengan premis serupa yang menariknya dirilis dalam jarak waktu yang berdekatan, White House Down.
OLH makin menegaskan keunggulannya, saat tiga tahun setelahnya menghadirkan kisah sekuelnya, London Has Fallen, yang meski mendapat hujaman kritik, mampu meraup raihan finansial yang lumayan menggembirakan. Jadi tidak perlu dipertanyakan lagi, saat kemudian pihak studio memberi lampu hijau pada film babak ketiganya, yang kali ini mengusung judul Angel Has Fallen.
Mike Banning mulai menyadari bahwa apa yang sudah ia lalui sebelum-sebelumnya (kejadian di dua film sebelumnya-red) telah menyebabkan dirinya mengalami trauma fisik dan membuatnya tidak lagi prima sebagai paspampres. Akan tetapi, sebelum dirinya resmi mengundurkan diri, upaya percobaan pembunuhan terhadap presiden kembali terjadi, dan kali ini ia justru dituding sebagai tersangka utamanya, yang membuatnya menjadi buruan banyak pihak sebagai buronan paling dicari di Amerika Serikat. Banning pun kemudian berupaya membersihkan namanya dan menjaga keselamatan jiwa presiden, seraya mengungkap siapa dalang sesungguhnya dari rentetan peristiwa ini.
Secara keseluruhan, seperti yang diharapkan dari film ini, Angel Has Fallen adalah sebuah paket tontonan aksi ringan menghibur yang tidak perlu dianggap serius, dan bisa dikatakan untuk tujuan ini, installment ketiga yang sekarang diarahkan oleh sineas Ric Roman Waugh ini lumayan berhasil. Setidaknya dari segi pemaparan kisahnya, kualitas yang dihasilkan mampu menyamai apa yang dihadirkan di film babak keduanya.
Kisahnya lumayan mengalir lancar, dan lumayan relevan dengan apa yang terjadi di dunia nyata, meski kalau ditelaah lebih seksama, perkara penghasutan pada tokoh utama, konspirasi tingkat tinggi, dan musuh dalam selimut bukanlah premis yang satu dua kali diangkat di film-film dengan tema seperti ini.
Aksinya pun tidak mengecewakan, setidaknya ada dua yang bisa dibilang mampu menjadi highlight dari film ini. Yang pertama, penerapan teknologi baru kekinian yang membuat ancaman yang dihadirkan lebih fatal dan taktis dari sebelum-sebelumnya. Meski sudah didahului oleh Spider-Man: Far From Home, drone-drone yang digunakan pihak antagonis, mampu menghadirkan sekuens adegan aksi lumayan mencekam. Dan, yang kedua adalah senjata kejutan yang adegannya ampuh memicu tawa penonton.
Dukungan performa para pemainnya juga mampu menghidupkan kisahnya. Sebagai ujung tombak utamanya, duo utama Butler – Freeman bisa menjalin chemistry pribadi yang meyakinkan, sementara aktor kawakan Nick Nolte berhasil mencuri perhatian sebagai pemeran tokoh ayah sang protagonis utama.
Adapun mungkin kelemahan yang agak mengganggu adalah pergerakan kamera dalam pembesutan porsi adegan aksinya. Kamera yang agak bergoyang liar, cukup membuat kepala pening, meski mengesankan adegan aksinya terasa lebih nyata.
Akan tetapi, selain itu, bisa dikatakan, khususnya bagi kalangan yang menyukai film sarat aksi sarat adegan baku tembak dan ledakan, ini bukanlah tontonan yang buruk. Aksinya memang terbilang standar, namun jika memang itu yang ingin dicari dari saga ini, seperti yang sebelumnya sudah dihadirkan di dua film sebelumnya, pasti akan lumayan terpuaskan.