Saat pertama kali JJ Abrams ‘mementori dan mensponsori’ sineas muda bernama Matt Reeves lewat sebuah proyek film super rahasia yang kini kita kenal sebagai Cloverfield boleh jadi Abrams sudah merintis langkah lanjutan dari film tersebut. Meski tentunya, hasil serta perkembangan kisahnya baru kita ketahui lewat 10 Cloverfield Lane. Sesuai dengan sumber inspirasinya yakni saga kaiju klasik asal negeri matahari terbit, Godzilla, meski mengambil sudut pandang tokoh-tokoh manusianya (yang disyut dengan gaya found footage), Cloverfield menitiikberatkan jualan utamanya pada sosok dan aksi penghancuran yang dilakukan seekor monster raksasa yang asal usulnya misterius hingga di pengujung akhir kisahnya.
Meninggalkan lubang misteri yang tetap belum terjawab, Cloverfield memang faktanya membuat peluang pembuatan kisah lanjutannya tidak hanya sekadar terbuka lebar namun juga memungkinkannya melangkah ke berbagai arah. Namun, sepertinya hal itu tidak serta merta membuat otak dari kisah ini, yakni Abrams terburu nafsu untuk cepat-cepat membuat kisah lanjutannya. Figur yang kini telah menjelma menjadi pembangkit franchise-franchise fiksi ilmiah populer (Star Trek dan Star Wars –red) tampaknya sadar bahwa Cloverfield harus mendapatkan kisah terusan yang sepadan, yang tidak hanya berfungsi sebagai “sekadar sekuel, prequel, spin-off atau apapun bentuknya nanti” namun juga sanggup menjaga reputasi film katalisnya tersebut. Dan, sepertinya buah kesabaran sineas visioner itu rasanya kembali terbayar lewat 10 Cloverfield Lane, yang lagi-lagi menjadi bukti sahih terbaru kebrilianan visinya. Pasalnya sebagai film yang dideskripsikan sebagai ‘turunan’ Cloverfield, alih-alih mengambil jalan mudah yakni mengadopsi formula film pendahulunya (yang biasanya diterapkan pada film-film brepredikat kisah lanjutan) gaya narasi dan karakteristik film ini kontras berbeda dengan Cloverfield, walaupun fungsi Abrams sama, untuk kesekian kalinya melakoni fungsi sebagai pemain belakang dan memercayakan kendali nahkoda berada di tangan sineas debutan, Dan Trachtenberg. Dan, lagi-lagi terbukti pilihannya tidaklah salah, karena sang protege mampu mengemban kepercayaan dengan baik.
Ditilik dari materi promosi yang sudah disebarluaskan, 10 Cloverfield Lane memang memiliki karakteristik yang satu tarikan napas dengan film yang menjadi saudara tuanya, antara lain: deretan karakter yang namanya masih dirahasiakan, suasana rutin yang perlahan berubah mencekam saat kejadian misterius memecah ketenangan, sarat misteri dan kejutan yang kemungkinan besar melibatkan sesosok monster. Bahkan, kala trailer-nya rilis, publik masih dibuat penasaran dan harus berpekulasi sendiri mengenai film ini, apakah makhluk yang ada di sini adalah alien? Ataukah monster? Apakah film ini benar-benar memiliki kaitan dengan Cloverfield? Jika benar, apakah ini merupakan prequel? Sekuel? Atau spin off-nya? Sungguhpun demikian, 10 Cloverfield Lane memiliki sedikit keunggulan dari segi jajaran pemainnya dibanding dengan saudara tuanya itu, di mana kali ini penempat dua karakter sentralnya bukan nama bintang yang masih asing di telinga. Selain itu, kedua bintang tersebut, baik Goodman maupun Winstead setidaknya pernah ikut ambil bagian di film yang temanya bisa dikatakan serupa, Goodman dalam Arachnopobia, sedangkan Winstead dalam film remake The Thing.
Garis besar kisah yang dikedepankan berfokus pada seorang gadis muda bernama Michelle (Winstead) yang memutuskan kabur dari konfiik kehidupan hubungan asmara dengan kekasihnya. Dalam pelariannya itu ia mengalami kecelakaan saat tabrakan misterius membuat kendaraan yang dikemudikannya terlempar dari jalan raya dan membuatnya pingsan. Saat sadar, Michelle mendapati bahwa dirinya berada di sebuah bunker bawah tanah, bersama seorang pria tua, Howard (Goodman) dan seorang anak muda, Emmett (Gallagher Jr.). Merasa khawatir bahwa dirinya menjadi korban penculikan dari seorang penyintas, yang mengatakan kepadanya bahwa ia menyelamatkan nyawa sang gadis dan menginformasikan telah terjadi serangan kimia yang menyebabkan permukaan tanah kini tidak bisa didiami. Sukar memercayai kebenaran informasi yang diberikan padanya, Michelle memutuskan untuk melarikan diri, meski ia sama sekali tidak menyadari sebesar apa bahaya yang akan ia hadapi di luar sana.
Tidak lagi mengusung format found footage yang terbukti membuat pusing dan mual audiensnya, unsur drama kental terasa di sini. Titik berat kisahnya bukan lagi adegan aksi kejar-kejaran beroktan cepat, namun misteri tebal dan konflik psikologis antar para karakternya yang dibangun secara perlahan. Tak pelak, pilihan gaya narasi yang dikedepankan mempengaruhi alur kisahnya, terutama paruh pertama dan keduanya yang mungkin akan terasa lambat dan mengingatkan pada gaya penceritaan film-film asal Asia Timur, bukan khas Hollywood. Walaupun berjalan lambat, lewat performa dua karakter utamanya yang sukses menjadi roh dari film ini, intrik yang dibangun secara perlahan itu tetap efektif memancing rasa penasaran dan efeknya makin terasa vital seiring lapisan-lapisan misteri yang dikedepankan di film ini mulai terkuak hingga mencapai klimaksnya saat tujuan utama dari film ini memperlihatkan jatidirinya. Dan, yang perlu digarisbawahi di sini, it worth the wait and pays off the whole movie.
Jalinan kisah film yang diproduksi dalam bilangan micro budget ($15,000,000) ini sendiri meski harus diakui tidak dalam level luar biasa tertata apik, skripnya yang ditulis keroyokan oleh sineas Whiplash, Damien Chazelle-Josh Campbell-Matthew Stuecken sukses mengantarkan para pemainnya mampu tampil impresif membawakan peran karakternya. Klimaksnya sendiri memang tidak menawarkan sesuatu yang baru, namun terasa pas dan masuk akal untuk pilihan ‘penutup’ film bergenre fiksi ilmiah. Pendek kata, dilihat dari keseluruhan meski boleh jadi apa yang dideskripsikan sebelumnya layak diperdebatkan, 10 Cloverfield Lane tidak hanya berhasil mengentaskan misinya guna menjadi ‘perpanjangan’ Cloverfield, namun seperti bayi yang tengah tumbuh, 10 Cloverfield Lane sekaligus membawa franchise ini level storyline-nya meningkat, dengan suguhan muatan yang jauh lebih kompleks dan lebih luas dimensi konfliknya dibandingkan dengan apa yang pernah disajikan Reeves