Sebuah film yang tayang sejak tanggal 11 Juli 2019 serentak di bioskop di Indonesia berjudul Dua Garis Biru, sejak awal proses pembuatannya telah menuai banyak pro dan kontra . Bisa tertebak yang kontra tentunya beranggapan hal ini adalah sesuatu yang tabu dan sensitif untuk dibahas daam dunia perfilman Indonesia. Rasa takut akan ditiru oleh anak-anak di bawah umurpun seolah menyeruak ke segala penjuru ruang dan menebarkan fobia hingga rasa antipati akan film ini.
Namun data yang diperoleh terhitung sejak hari penayangan sangatlah fantastis. Ambilah angka 11 hari penayangan, berhasil menarik penonton sebanyak 1.731.005 orang. Angka ini bukanlah sesuatu angka yang main-main. Pertanyaanpun kemudian timbul, apakah promosi negatif turut berperan pula dalam penambahan angka jumlah penonton ini?
Ditelusuri lebih lanjut, ternyata banyak pula penonton yang menonton ulang film ini, walaupun saat pertama kali menonton mata mereka telah menjadi sembab karena tangisa yang muncul sepanjang film berlangsung.
Sentuhan film Dua Garis Biru sangat khas perempuan sekali, lembut, namun mengarah pada satu tujuan penyelesaian yang terbaik bagi anak-anak yang secara khilaf melakukan perbuatan yang tak seharusnya mereka lakukan dan dengan gigih terpaksa menghadapi hasil dari sebuah kekhilafan tersebut. Bagi yang memandang dan berpendapat bahwa akibat dari tindakan ini hanya berdampak pada anak-anak yang melakukan, dapat melihat bahwa ternyata akibatnya meluas pada seluruh anggota keluarga.
Ada beberapa hal yang terlihat kuat dalam penggambarannya dan menjelaskan hubungan antara akibat yang meluas ini , antara lain :
“Kakak yang tak dapat dahulu menjalankan impiannya, menikah dengan calon suaminya.
Cita-cita seorang gadis untuk bersekolah di luar negeri, yang terkadang ada dan tiada kelanjutannya.
Kemarahan dan kekecewaan seorang Ibu, yang merasa gagal dalam mendidik anaknya. Kemarahan ini begitu mengental kuat sehingga membutakan diri , bahwa bukan dirinya sebenarnya yang menjadi korban, namun anak-anaknya. Saat penyadaran itupun sampai, maka yang muncul adalah dialog antara Ibu dan anaknya yang menguras air mata , seolah dialog itu mengingatkan diri penonton akan Ibu kandungnya.
Bahasa simbol yang manis , tertuang pada buah stroberi utuh dan jus stroberi, serta raut wajah ragu hingga tegas dari Dara (Zara Jkt 48) , sebagai penjambaran akting yang matang dari arahan sutradara yang memahami perempuan. ”
Gina S. Noer memang tampil pertama kali sebagai sutradara, setelah sebelumnya lebih banyak berperan sebagai penulis naskah.
Naskah film-film yang pernah dipegangnya antara lain Posesif , Keluarga Cemara dan Ku Lari Ke Pantai . Ketiga judul film-film tersebut termasuk film-film yang dikenal akrab oleh penonton , karena prestasi yang berhasil diraih oleh masing-masing film tersebut.
Benang merah yang ada pada masing-masing film dan menjadi ciri khas Gina S Noer, adalah jalinan cerita yang perlahan, memikat namun terarah menuju satu tujuan. Elemen keluarga pun selalu menjadi faktor pengikat , yang menjadikan sosok pribadi sang tokoh dalam jalinan cerita.
Kita dapat menyaksikan keeratan hubungan antara Dara dengan kedua orang tuanya, begitu pula dengan Bima (Angga) dengan kedua orang tuanya.
Ini seolah membantah semua kontra yang menyamakan bahwa anak-anak ini pastilah anak yang nakal, tidak baik pergaulannya hingga muncul konsep pemikiran keluarga yang broken home. Ternyata yang ada disini adalah dua anak-anak baik , dari keluarga yang baik pula , namun melakukan satu ke khilafan fatal yang mengakibatkan dampak perubahan sangat besar.
Semua jalinan cerita ini hanya dapat ditulis oleh seorang perempuan, karena hawa film ini adalah hawa pemikiran perempuan.
Tak akan dapat dibayangkan jika penulis naskahnya adalah seorang laki-laki . Nampaknya makna yang hendak disampaikan yaitu edukasi dan keluarga, akan menghilang dan menjadi suatu jalinan cerita yang biasa-biasa saja.
Ruh film Dua Garis Biru adalah Gina S Noer , dan karya-karyanya akan selalu ditunggu (cinemags/NutyLaraswaty)