Awalnya menjadi genre film yang jauh dari kesan serius dan ditujukan sekadar menghibur dan fantasial yang membuat umumnya sektor eksplorasi cerita sekadar menjadi elemen yang substansial dalam formula film superhero dan dianggap lekat sebagai tontonan untuk pangsa pasar anak-anak (meski sebenarnya sejak awal kehadirannya pihak studio sudah menyisipkan materi yang sejatinya tidak pantas ditonton anak-anak), merupakan pameo / jargon yang sulit dihindari. Pada era 1980an, film superhero mulai menyeruak, dengan kebangkitan seri Superman, dan awal mula kemunculan seri Batman yang pertama.
Pada dekade berikutnya, jumlah dan kualitas film genre ini bisa dibilang merosot, saat dua installment Batman garapan Joel Schumacher dinilai menyebabkan penurunan kualitas dari dua film Batman hasil besutan Tim Burton. Momentum genre film superhero mulai memikat selera golongan penonton dewasa baru terjadi saat Chris Nolan mempersembahkan The Dark Knight pada tahun 2008, yang lantas disusul dengan kehadiran Watchmen garapan Zack Snyder yang berangsur-angsur mengubah wajah karakteristik film superhero ke depannya.
Belum lagi gebrakan Marvel Studios dengan skema terorganisir raksasa mereka, Marvel Cinematic Universe, tidak hanya membuat genre film superhero semakin kaya dengan manuver-manuver khazanah penceritaan mereka, namun juga langsung menyodok ke kasta tertinggi genre film favorit seluruh kalangan penonton, tidak hanya terbatas pada golongan tertentu saja. Sekarang, apa yang awalnya menjadi genre yang cenderung segmented, kini menjadi genre yang major. Di masa kini, bukan hal yang aneh kalau bahkan golongan kaum hawa awam (bukan pembaca komik superhero-red) pun bahkan menyukai film-film bergenre superhero.
Dampak negatifnya, makin kencangnya arus hype film-film superhero mau tidak mau telah menyebabkan muncul tudingan bahwa genre superhero mulai kehilangan eksklusivitasnya, meski ironisnya, faktanya film-film superhero yang dalam kurun waktu dua dekade belakangan ini hadir justru makin dekat dengan materinya dengan apa yang dituangkan dalam event-event story arc di komiknya dibandingkan para pendahulunya. Serangan yang tidak kalah kejamnya adalah genre ini juga dihantam dengan dosa asal yang juga sering dijatuhkan pada seluruh kisah fiksi spekulatif lainnya: “eskapisme.” Pasalnya, seperti telah disingggung di atas, genre ini tadinya diamini merepresentasikan sebuah genre yang seyogyanya mengusung gaya penceritaan sederhana, sama sekali ditujukan untuk jauh dari realita kehidupan, yang popularitasnya bisa ditujukan pada antusiasme golongan fanboys fanatik, kutu buku, dan golongan kaum yang pikirannya enggan untuk mengapresiasi karya-karya rumit yang kaya secara artistik.
Namun, uniknya genre yang awalnya jauh dari definisi kata logis ini terbukti makin lama makin lestari dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan khususnya dalam term materi tontonan. Sehingga, akhirnya mau tidak mau mengusik rasa keingintahuan pada pertanyaan, benarkah apa yang ditudingkan selama ini bahwa kisah-kisah superhero hanya untuk sekadar menghibur atau memang perkembangan yang kini terjadi justru makin mendekatkan konsep kisah superhero ke rel yang benar?
Berbeda dengan tokoh hero film pada umumnya, yang karakteristiknya mengandung unsur semangat era saat tokoh itu diciptakan (James Bond pada masa era perang dingin, Rambo masa perang Vietnam) yang membuat mereka kesulitan saat kisahnya berusaha disesuaikan dengan zaman sekarang, sedangkan tokoh superhero lebih melambangkan simbol perihal yang lebih universal dan kualitas yang memungkinkan mereka untuk tetap populer dan relevan dengan zaman apapun. Superhero merupakan cerminan dari betapa berwarnanya jiwa manusia, dan membuat kita dapat lebih mudah menerimanya.
Faktor budaya juga bisa jadi menjadi penyebabnya. Kualitas simbolis seorang tokoh superhero bisa ditarik dari fakta kostum yang mereka kenakan. Umumnya, dengan bubuhan lambang yang teramat jelas di dada, baik wajahnya ditutup topeng maupun tidak, sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia kerap menggambarkan jiwa terpendam yang mereka alami (cinta, rasa benci, kecemburuan, semangat, dan lain sebagainya) sebagai wujud tertentu, baik dalam bentuk manusia juga, hewan, ataupun gabungan keduanya. Juga bukan hal yang aneh bahwa di pelbagai belahan dunia ada suku-suku yang mengenakan pakaian dari bulu binatang ataupun menamai anak-anak mereka dengan nama dari binatang yang melambangkan semangat yang mereka lihat dari sosok binatang tersebut.
Begitu pula dengan perihal mengenai term kekuatan super yang biasanya dimiliki. Umumnya, kritik sering membidik aspek kekuatan super ini sebagai alasan utama untuk menggeneralisasi kisah-kisah superhero: bahwa segala hal yang fantasial sudah tentu hanyalah bentuk pelarian semata dan karena itu tidak memiliki makna. Padahal, kekuatan super sebenarnya merupakan simbolisasi manusia itu sendiri, karena itu merupakan representasi yang tepat bagaimana manusia membedakan diri mereka sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk hidup lainnya di alam ini dengan kemampuan mereka berpikir dan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Tak ayal, dengan cara ini sebenarnya melalui film-film superhero baik sadar maupun tidak, kita menyandarkan berbagai harapan, kekhawatiran, mimpi, emosi, dan seluruh perasaan kita yang terpendam ke sebuah bentuk korporal dan melepaskannya ke dalam berbagai dunia fantasi untuk melihat apa yang bisa dipelajari dari sana. Jadi, sesungguhnya terdapat potensi yang sangat luas dalam genre superhero, tidak sedangkal apa yang dikira selama ini. Jadi, jika Anda lantas menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban dan alasan yang sepele seperti suka dengan aktor / aktris pemainnya, sarat aksi spektakuler, boleh jadi Anda tidak menyadari bahwa sebenarnya dalam diri kita sudah terpatri alasan dan jawaban yang jauh lebih kompleks atas pertanyaan tersebut. Baca juga review film dokumenter Geek, and You Shall Find yang juga mengupas perihal yang dikedepankan di sini.