Saat ini, Indonesia masih memiliki persoalan besar yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan. Jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah seiring waktu dan pertumbuhan penduduk.
Belum lagi, kiriman jutaan ton sampah plastik yang disumbangkan oleh negara-negara maju yang kita terima dengan tangan terbuka. Alih-alih dapat diolah menjadi sumber pundi, sampah-sampah ini justru menumpuk dan lambat laun menjadi timbunan plastik.
Bali menjadi gaung pertama yang menggawangi Perwali dan Pergub Provinsi Bali terkait pelarangan tas kresek, sedotan plastik, dan styrofoam. Saat kebijakan ini ditetapkan, gerakkan pengurangan bahan plastik sekali pakai pun terlihat jelas penurunannya. Namun, memasuki 2020 produsen dan masyarakat kembali menggunakan aktivitas penggunaan sampah plastik untuk kebutuhan sehari- harinya.
View this post on Instagram
Aktivis peduli lingkungan sekaligus vokalis band Rock asal Bali Navicula, Gede Robi mengatakan
bahwa, regulasi yang telah tercipta terjebak dalam kepompong wacana. Hal ini dikarenakan
pergeseran prioritas masalah dan juga tingginya ego ketidakpedulian publik.
“Saya pikir isu sampah plastik banyak yang peduli, tetapi masih minim. Regulasi ini menjadi prioritas
kalau masyarakat yang meminta. Kita harus melihat apa yang jadi prioritas regulasi pemerintah adalah
apa yang disuarakan oleh warga. Kalau warga tidak mau, regulasi juga angin-anginan,” jelasnya saat
Temu Wicara bertajuk, Kebijakan vs Kebajikan: Implementasi Regulasi Pelarangan Plastik Sekali Pakai,
di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Bali, Senin (19/4).
Ia pun mengatakan bahwa, refleksi isu plastik ini sebenarnya adalah isu keseharian masyarakat. Jika gaung kesadaran masyarakat besar, maka bahan bakar regulasi pun terisi penuh hingga dapat membuahkan kebajikan yang tajam dan tegas, terutama kepada para produsen yang terus memproduksi plastik kemasan sekali pakai.
“Kolaborasi yang terpenting. Kita tidak bisa bergerak sendirian, saatnya kita bergerak untuk masa depan. Harus begitu pikirannya, baru kita bisa mendorong regulasi ini menjadi serius. Regulasi ada karena tuntutan masyarakat. Regulasi ini akan mengawasi produsen. Ini akan berputar terus, karena kesadaran konsumen dan korporasi saling berhubungan,” tegasnya.
Senada dengan Robi, ahli biologi dan penjaga sungai asal Jawa Timur, Prigi Arisandi mengatakan bahwa kebajikan dari kebijakan isu sampah plastik di Indonesia ini mengharuskan masyarakat untuk berperan aktif. Ibarat pertunjukkan, pemerintah membutuhkan gendang untuk menari dan beraksi untuk isu yang dianggap urgensi oleh masyarakat.
Baca juga: Hari Bumi di depan mata, akan diputar Film Pulau Plastik
Robi dan Prigi percaya, salah satu cara agar isu sampah plastik ini mendapat perhatian khusus adalah dengan mengedukasi masyarakat luas.
Melalui film dokumenter bertajuk Pulau Plastik yang tayang pada Kamis (22/4), mereka berupaya untuk memberikan informasi, edukasi, serta mendorong masyarakat agar bersama-sama mencari-membuahkan solusi untuk membebaskan Indonesia dari persoalan sampah.
“Kita butuh asupan informasi, lewat film ini kita bisa membuat informasi berat menjadi mudah diserap. Jadi kalau mau pintar dan mau kritis, silahkan nonton film ini. Di film ini kita melihat banyak orang yang mengupayakan perubahan. Banyak yang bisa kita lakukan demi membuat perubahan yang lebih baik,” tukasnya.
Baca juga : Ini dia teaser pulau plastik
Film Pulau Plastik diproduksi atas kerjasama Visinema Pictures dengan Kopernik, Akarumput, dan WatchdoC. Diproduseri oleh Angga Dwimas Sasongko dan Ewa Wojkowska, film ini menceritakan perjalanan tiga tokoh sentral protagonis yang menelusuri jejak sampah plastik di rantai makanan manusia. Tokoh-tokoh tersebut adalah Gede Robi, Tiza Mafira, dan Prigi Arisandi. Ketiganya melawan penggunaan plastik sekali pakai.