Unpregnant menangani masalah aborsi dengan cara yang unik dan positif, yang jarang dilihat di film dan TV. Apa kesan pertama Anda tentang proyek ini?
Haley Lu Richardson (HLR): Saya agak terkejut ketika agen saya berkata, “Ini (Unpregnant-red) adalah komedi remaja, dan karaktermu hamil lalu melakukan perjalanan untuk aborsi.” Saya jawab, “Woah, how is that going to happen? That sounds so ambitious to tackle in an hour and a half movie.” Sejujurnya, saya sedikit nervous mengenai bagaimana film ini bisa berhasil.
Bagaimana cara Anda memahami ide itu?
HLR: Saya harus melakukan hal yang sama dengan semua peran yang saya mainkan. Profesi saya adalah berperan sebagai orang lain, dan membayangkan diri saya sebagai mereka dalam situasi tertentu, dan saya sadar kalau film ini tidak menyediakan pilihan “should I or shouldn’t I.” Karakter saya, veronica, adalah gadis Type A yang cerdas dan percaya diri, sehingga tahu pilihan yang tepat untuknya.
Perjuangan datang dari fakta bahwa ia merasa tidak bisa memberi tahu siapa pun dalam hidupnya, baik dari kenyataan tentang apa yang orang-orang pikirkan tentangnya, atau beban yang ia berikan pada dirinya sendiri – dan tekanan dari dunia pada situasi-situasi ini – [yang membuatnya] merasa gagal, atau malu, atau tidak didukung oleh keluarganya.
Apa Anda bisa memahami karakter Veronica?
HLR: What I loved about her, I also kind of hated! Ketika pertama kali membaca naskah, saya merasa sebal dengan Type A serta kastanya. Dia terlalu menekankan kalau hidupnya sempurna. Saya merasa kesal ketika berusaha memahaminya. Saya berpikir,”Why can’t this girl just be herself!” Tapi saat mencari tahu dari mana semua itu bermula, saya merasa terkait dengannya.
Saat di SMU, saya mengikuti kompetisi dance dan saya membebani diri sendiri untuk menjadi dancer terbaik, dan merasa gagal jika tidak menjadi juara pertama . Itulah tekanan eksternal yang membebani saya, ketimbang mencoba melakukan yang terbaik dan bangga akan hal itu. So I took those feelings from when I was younger, dan mulai memahami kenapa Veronica seperti itu.
Selain menempatkan diri dalam posisi Veronica, cara apa lagi yang Anda gunakan untuk peran tersebut?
HLR: Saya ingin punya pemahaman luas tentang bagaimana orang-orang memandang aborsi, jadi saya menonton banyak video YouTube, mewawancarai wanita yang pernah aborsi, dan para dokter yang bekerja di klinik aborsi. Saya menonton video mengenai yang pro dan kontra, karena ingin memiliki pemahaman penuh tentang dunia yang saya hadapi.
Hal utama yang saya pelajari dari percakapan dengan mereka yang pernah aborsi, adalah semua itu jadi pengalaman berbeda bagi setiap wanita. Saya pernah bertemu wanita yang masih menyimpan rasa malu hingga 15 tahun setelah aborsi. Rasa malunya tidak datang dari pilihan yang mereka ambil, tapi perasaan bahwa mereka harus merasa menyesal, dan itulah yang membebani mereka.
Tekanan bahwa mereka harus merasa tidak enak akan hal tersebut, yang dirasakan hingga puluhan tahun kemudian, sangat menyedihkan dan jadi perspektif nyata tentang apa yang dirasakan para wanita ini. Saya juga pernah berbincang dengan mereka yang menyesal telah melakukan aborsi, rasa malu yang mereka rasakan secara pribadi yang tidak dapat hancur sepenuhnya.
Ada sejumlah adegan yang memorable di film ini. Apa yang paling berkesan bagi Anda?
HLR: Tentu ada sejumlah adegan yang terasa melegakan bagi saya. Saya suka adegan di rollercoaster, ketika Veronica dan Bailey [Barbie Ferreira] mengungkapkan kebenaran secara bebas untuk pertama kalinya. You can finally breathe at that point when you’re watching the movie.
Dan saya suka adegan di rel kereta api. Ada banyak momen di mana Veronica mencapai breaking point, mengekspresikan hal itu dan melepaskan energi ini, dan adegan tersebut sangat menantang untuk dilakukan karena you just have to let yourself go, dan setelahnya saya merasa bisa bernapas lega.
Anda dan Barbie Ferreira punya chemistry luar biasa yang penting untuk film two-hander. Bagaimana kalian bertemu pertama kali?
HLR: Mereka menggelar chemistry read untuk Bailey, dan saya berada di sana bersama sejumlah gadis lain. Semua baik-baik saja, but then Barbie came in and she was just so unapologetically herself. Ia mampu menghidupkan Bailey sepenuh hati, dan berhasil dalam audisinya. Saya hanya ingat ketika dia pergi, melihat ke arah para produser dan semua seperti, “Oh yeah, that’s Bailey, 100%.”
Bagaimana rasanya bekerja dengan sutradara Rachel Lee Goldenberg?
HLR: Saya pernah bekerja dengannya sekitar delapan tahun lalu [Escape from Polygamy di tahun 2013], dan kembali bekerja dengannya setelah sekian lama, juga dalam proyek yang sangat ia sukai, terasa begitu menyenangkan.
Saya pernah terlibat dalam proyek di mana saya merasa hanya sebagai potongan dari puzzle, dan ada tangan yang lebih besar menyusun puzzle, dan rasanya agak mengecewakan menjadi bagian dari hal seperti itu. Tetapi Rachel dan saya bebas berkomunikasi, dan ia sangat terbuka dan mendengarkan ide-ide saya tentang beragam hal dirasa perlu untuk membuat [Veronica] lebih sempurna, membuat situasinya bisa diterima orang-orang and hopefully spark empathy.
Bagaimana perasaan Anda tentang perilisan film, dan dampak apa yang Anda harapkan?
HLR: Saya merasa cemas karena beberapa hal tentang film tersebut yang saya shared di Instagram, memunculkan kebencian serta orang-orang yang tidak setuju dengan film. Saya harap audiens bisa membuka hati dan menyaksikannya spenuhnya. Saya berharap mereka dapat menyimak percakapan yang dimulai dalam film, dan pulang membawa sedikit empati atau pengertian – atau melakukan hal yang sama seperti saya sebagai aktor, yakni menempatkan diri dalam posisi orang lain dan merasakan seperti apa situasinya.