Terlepas Anda masuk golongan haters atau lovers-nya, sulit dibantah kalau Twilight memberikan kontribusi yang teramat luar biasa dalam dinamika industri perfilman, salah satunya adalah makin maraknya kisah-kisah novel Young Adult diangkat ke ranah layar lebar, salah satunya Warm Bodies ini. Digadang-gadang sebagai penerus tongkat estafet Twilight, Warm Bodies yang lahir dari kreativitas penulis debutan Isaac Marion ini memiliki banyak kesamaan dengan apa yang tersaji dalam franchise film sukses itu, yakni sama-sama mengisahkan kisah-kasih remaja terlarang yang salah satu insannya adalah makhluk mistis beserta dengan beragam konsekuensi atas keputusan mereka yang melanggar peraturan antar dua dunia yang berbeda itu. Bedanya, kali ini tokoh prianya bukanlah vampir melainkan zombie, pun dengan sudut pandang kisahnya, yang alih-alih si tokoh wanita, sekarang diambil dari si tokoh pria, si mayat hidup.
Warm Bodies bercerita tentang zombie bernama R (Hoult) yang merasa hidup kembali, terpesona melihat keindahan yang terpancar dari Julie (Palmer), anak dari Colonel Giorgio. R yang kesehariannya sering dihabiskan “berbicara” dengan M (Corddry) bertemu dengan Julie ketika sedang mencari suplai medis, sedangkan ia sedang mencari makan. Dikarenakan makanan dari R adalah manusia, terutama otaknya, pertemuan antara dirinya dan sang gadis pujaan sebenarnya dimulai dengan tidak manis.
R yang sudah terpana dengan Julie sejak pandangan pertama akhirnya rela melakukan apa pun untuk melindungi sang gadis dari terkaman kawannya, termasuk menyamarkannya sebagai zombie dan menyembunyikannya di tempat kediamannya. Sedikit demi sedikit koneksi terbangun di antara mereka, Julie dan R sama-sama belajar untuk menerima dan belajar keadaan yang ada. Hanya saja jalinan kasih yang terjalin harus mengarungi situasi kompleks mengingat ayah Julie merupakan pemimpin grup manusia yang tersisa, adanya bonies — kelompok zombie yang telah kehilangan identitas manusianya dan menjadi makhluk yang ganas pun berbahaya, serta fakta bahwa R lah yang telah membinasakan Perry (Franco), kekasih Julie.
Dikemas dengan gaya drama komedi, Warm Bodies berhasil menjungkirbalikkan segala keraguan banyak pihak yang tadinya ditujukan padanya sekaligus memupus rasa skeptis yang sempat mengudara pada saat tahap produksinya. Malah, Levine yang sebelumnya mengarahkan 50/50, mampu memberikan paket tontonan yang menghibur, santai, serta cukup cerdas. Filmnya sendiri mampu membukukan raihan yang lumayan menggembirakan dengan perolehan $116,9 juta dari bujet produksi $35 juta yang digelontorkan pihak studio, dan rating fresh 80% dari situs film terkemuka RottenTomatoes.
Why This May Become a Cult
Film ini sebenarnya memiliki premis cerita yang sangat nyeleneh dan konyol, namun di luar dugaan ternyata bisa berkembang nyaris sempurna. Film ini juga memiliki sumber cerita yang luar biasa, karena notabene diinspirasi dari kisah epik cinta populer Romeo and Juliet. Sebuah adaptasi dan kombinasi yang menarik antara kisah Romeo and Juliet, formula zombie ala Resident Evil dengan kisah romance ala Beauty and the Beast, Levine mengerti betul apa yang harus dilakukannya agar film ini jauh dari kesan ke-twilight-twilight-an yang membuat golongan penonton kaum adam tidak mencemooh film ini dan kemudian berlomba-lomba memberi rating buruk. Diisi dengan line-line pintar dan menggelitik, film ini terasa segar. Voice over yang kerap membosankan di sebuah film dibuat menjadi hal yang cukup menyenangkan di film ini dan tidak hentinya memberikan kesan lucu serta menggelitik. Nilai plus lain adalah sebenarnya dengan formula gado-gado seperti itu, film ini sejatinya merupakan proyek yang susah untuk diwujudkan karena kalau salah sedikit saja, para penonton tidak akan menganggap film ini serius dan akan lebih parah lagi kalau mereka juga enggan untuk menerima keorisinalitasan film ini sebagai ide yang brilian dan memukau, melainkan sebaliknya.