Menurut UU No 33 Tahun 2009 tentang perfilman, tercantum bahwa pelaku usaha wajib memberikan porsi tayang untuk film Indonesia minimal 60 persen dari seluruh jam pertunjukan yang ada. Namun jika berkaca dengan kondisi bioskop tanah air saat ini, nampaknya porsi yang telah ditentukan tersebut belum memenuhi aturan.
Tak ayal, sejumlah pihak dan sineas dalam negeri banyak yang berkomentar soal porsi tayang film Indonesia di bioskop saat ini. Melihat hal tersebut, bagaimana kira-kira tanggapan XXI sebagai salah satu pelaku bisnis bioskop tanah air? Dilansir dari detikHOT, XXI memberikan respon aturan ini dengan melihat paket kebijakan baru tentang investasi asing.
“Untuk itu biar penonton yang menentukan. Bukan didikte dengan kuota yang harus berlaku, karena jika kuota yang bersifat proteksi masih tetap dipertahankan, sangat kontradiktif dengan kebijakan yang sudah diputuskan sekarang,”
Apapun langkah yang diambil oleh pelaku bioskop tanah air memang harus mengikuti aturan pemerintah yang ada. Sebagai bentuk bisnis, sudah sewajarnya jika bioskop menentukan porsi tayang yang disesuaikan dengan demand penonton. Namun untuk mengimbangi demand tersebut, film Indonesia juga harus meningkatkan kualitasnya agar mampu menguasai porsi tayang dengan cara yang fair, bukan bermodalkan aturan baku.
Masih hangat juga langkah baru dari Presiden Joko Widodo tentang paket kebijakan ekonomi jilid 10 yang pada intinya merombak Daftar Negatif Investasi (DNI). DNI merupakan ketentuan yang mengatur sektor dan bidang apa saja yang kepemilikannya bisa untuk pihak asing. Salah satu usaha yang paling disorot dan dibuka untuk asing adalah industri perfilman termasuk peredaran film. Di sektor ini, asing diperbolehkan untuk investasi 100 persen.
Baca juga: Paket Kebijakan Ekonomi 10 dari Jokowi Membuka Perkembangan Industri Perfilman Indonesia
Berasarkan lansiran dari sindonews, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menuturkan, kebijakan dibuat untuk memotong mata rantai oligarki dan kartel yang selama ini hanya dinikmati kelompok tertentu. Contohnya, mata rantai yang terjadi dalam bisnis layar bioskop. Saat ini jumlah layar bioskop yang dimiliki Indonesia hanya 1.117 layar atau hanya bisa diakses oleh 13% penduduk di Tanah Air yang kini mencapai 250 juta penduduk. Dan 87% layar itu ada di Jawa. Yang lebih ironis lagi, 35% gedung bioskop ada di Jakarta. Maka dengan demikian, para pelaku yang selama ini mendapatkan kemudahan menguasai semuanya ini, hanya 3-4 perusahaan. Tentunya Ini tidak baik untuk dunia perfilman kita.
Peraturan tentang porsi tayang dan kebijakan investasi ini tentu memaksa pemerintah dan para pelaku bisnis untuk menentukan titik temu paling ideal. Jika tidak, maka film asing yang masih menguasai bioskop tanah air akan selalu berjaya karena demand paling tinggi saat ini masih didominasi oleh film asing.