Jika di Hollywood, adaptasi komik superhero, di Jepang, film-film live action yang kisahnya bersumber dari materi manga/ anime populer semakin menjadi primadona. Dampaknya, bila ada serial anime sukses, tinggal tunggu saja waktunya kisahnya diangkat ke format live action. Yang paling gres, adalah Fullmetal Alchemist ini, yang sekarang hadir di saluran streaming Netflix setelah mendulang sukses di bioskop-bioskop Jepang.
Diangkat dari manga berjudul sama karya Hiromu Arakawa, Fullmetal Alchemist mengetengahkan petualangan sepasang kakak beradik di dunia alternatif, di mana ilmu alkemi adalah teknik ilmiah paling maju. Kisah petualangan fantasi yang kompleks ini sangat populer tidak hanya di Jepang sendiri namun juga hingga ke mancanegara. Manga-nya sendiri sudah terjual dengan angka penjualan fantastis 67 juta kopi ke seluruh dunia, sekaligus menahbiskannya menjadi salah satu manga paling laris sepanjang sejarah.
Fullmetal Alchemist kemudian dituangkan dalam bentuk anime mencapai 51 episode, yang makin mempopulerkan judul ini. Mendulang sukses yang luar biasa, pasca anime-nya, kisah ini berhasil menelurkan sejumlah film animasi orisinal (OVA), videogame, buku kisah pendukung, koleksi kartu permainan, berbagai action figure dan merchandise lainnya yang penjualannya laris manis. Maka tidak mengherankan jika kemudian kisah ini dipilih untuk dibuatkan versi hidupnya. Film layar lebarnya ini dibidani oleh Fumihiko Sori yang sebelumnya pernah mengarahkan film adaptasi manga/ anime Tomorrow’s Joe.
Seperti yang sudah dituangkan dalam kisah animenya, ceritanya mengetengahkan masa di awal abad ke-20, sepasang kakak- beradik, Edward Elric (Ryosuke Yamada) dan adiknya, Alphonse (Atomu Mizuishi), diterpa kesedihan mendalam saat sang ibunda tercinta meninggal dunia. Elric bersaudara lalu menempuh jalan nekat mencoba menghidupkan kembali sang ibu dengan cara merapalkan teknik transmutasi manusia yang merupakan hal terlarang dalam ilmu alkemi.
Tidak tahu sama sekali apa yang mereka lakukan, percobaan itu tidak hanya gagal total, namun juga membuat kakak beradik ini juga harus membayar mahal atas perbuatan mereka. Edward kehilangan kaki kirinya sedangkan Alphonse kehilangan seluruh tubuhnya. Edward kemudian mengorbankan tangan kanannya untuk menyelamatkan jiwa sang adik dan menempatkannya ke sebuah baju besi.
Edward dan sang adik kemudian melakukan petualangan dengan tujuan menemukan batu bertuah yang punya kekuatan untuk menghidupkan dan mengembalikan tubuh mereka seperti sedia kala. Dalam proses pencarian itulah kemudian melebar membawa keterlibatan hingga konspirasi banyak pihak dari sahabat Ed, Kapten Hughes (Ryuta Sato), Kolonel Roy Mustang (Dean Fujioka), Profesor Shou Tucker (Yo Oizumi) hingga trio monster homunculi lawan mereka (dinamakan bagian dari 7 Deadly Sins dalam source aslinya); Lust (Yasuko Matsuyuki), Envy (Kanata Hongo) dan Gluttony (Shinji Uchiyama).
Seperti halnya film-film hasil adaptasi lainnya, daya tarik Fullmetal Alchemist tidak lain adalah sejauh mana pihak kreator mampu memvisualisasikan apa yang sudah mampu memikat kalangan penyuka kisah manga-nya. Sambil tentunya mampu menarik simpati para penikmat film khususnya yang menaruh perhatian lebih pada film-film dari negeri matahari terbit. Terlebih, fakta beberapa tahun belakangan (dipicu oleh Attack on Titan -red) hasil pengadaptasian live action film-film anime di Jepang sendiri entah mengapa tidak sememuaskan sebelum-sebelumnya (sebut saja Death Note, trilogi 20th Century Boys, Nana, Detroit Metal City maupun trilogi Rurouni Kenshin).
Kinerja Fumihiko Sori di sini memiliki plus dan minusnya sendiri. Sebagai sajian film aksi, dari aspek visualnya Sori mampu menyuguhkan komposisi yang apik. Sempat menyiratkan kekhawatiran bagaimana cara sang sineas menghidupkan nuansa Eurasia kental yang sangat menonjol di versi animenya, dengan taktis ia dapat memperlihatkan panorama universe rumit yang setara dengan whitewashing ala Hollywood ini dengan lumayan mulus. Efek visualnya dan CGInya terhitung halus. Untuk singkatnya, Sori bisa dikatakan berhasil dalam menghadirkan tampilan dan daya tarik animenya. Pun juga dengan adegan aksinya yang jika dibandingkan dengan adaptasi anime lainnya, ada sedikit di atas rata-rata.
Sayangnya, terkesan terlalu fokus menggarap visual, kesan kurang tergarapnya porsi drama yang mencuat di sini. Berbeda dengan sajian animenya yang sarat nuansa getir dan kesedihan, meski sebenarnya hal itu juga sebenarnya coba dikedepankan, nuansa itu kurang terasa di sini, malah hanya terkesan menjadi sekadar bumbu cerita belaka, yang mengedepankan tema konspirasi, pengkhianatan dengan balutan twist. Padahal dari segi performa, umumnya para pemain sentralnya tampil baik dan mampu melebur ke karakter yang mereka mainkan. Namun, penampilan mereka mungkin disebabkan pace kisah yang agak cepat kurang ampuh untuk dapat sampai memancing emosi.
Secara keseluruhan, sebagai film terbaru hasil adaptasi anime populer, Fullmetal Alchemist tidaklah tampil mengecewakan, apalagi jika dibandingkan dengan kualitas film-film adaptasi anime populer lainnya beberapa tahun belakangan ini yang kebanyakan kurang memuaskan, meski seperti sudah disinggung di atas, masih satu level di bawah film-film adaptasi anime terdahulu. Adapun kelemahan garapan Sori di sini adalah sajiannya lebih dekat ke formula tontonan blockbuster no brainer Hollywood yang megah secara visual namun terasa kosong di penggalian dramanya ketimbang film blockbuster Asia yang justru sebaliknya.
Full Metal Alchemist dapat disaksikan secara streaming di Netflix