Setelah sempat memperkenalkan beberapa punggawa penting Bulls, seperti Scottie Pippen, Dennis Rodman, dan Phil Jackson di 4 episode sebelumnya, titik berat episode teranyar The Last Dance Episode 5 kembali menyoroti sisi lain dari Michael Jordan, dengan eksplorasi menanjaknya popularitas sang legenda basket di momen penting masa kariernya. Apa saja yang diceritakan dalam The Last Dance Episode 5 ini?
His Airness and His Next Succesor?
Yang pertama, di tahun 1998. di ajang NBA All Star Game pada tahun itu, Michael Jordan berduel Kobe Bryant yang kala itu masih berusia 19 tahun dan diprediksi akan menjadi penerus terdekat sang megabintang. Duel ini menarik animo yang sangat besar karena factor sebab akibatnya sangat krusial: Jordan yang sedang mencapai puncak popularitasnya dan bintang masa depan dalam diri Bryant yang mewakili generasi fans pengidola Jordan.
Sementara The Last Dance di empat episode sebelumnya kebanyakan bercerita tentang kisah-kisah masa lalu, The Last Dance Episode 5 membuka kisahnya dengan tribut terbuka pada Kobe Bryant yang tewas dalam sebuah kecelakaan helikopter pada bulan Januari. Sesi ini secara efektif membawa kembali nuansa masa kini.
Sesi wawancara Bryant di sini, seakan menjadi petunjuk mengenai isi pidato yang diucapkan Jordan di ajang peringatan publik untuk bintang Lakers itu pada bulan Februari lalu. Dalam pidatonya, Jordan menyebut Bryant sebagai “adik kecilnya”, berdasarkan segala perbincangan dan perbandingan pun kesamaan di antara keduanya. Apa yang diucapkan Bryant mencerminkan perasaan tersebut.
“He’s like my big brother. I truly hate having discussions about who would win one-on-one. What you get from me is from him. I don’t get five championships without him. He guided me so much and gave me so much great advice.”
Rasa saling menghargai antara keduanya tidak tumbuh secara instan. Di musim kompetisi 1998, Jordan tengah dalam puncak kejayaannya sedangkan Bryant baru di tahap permulaan. Keduanya saling berhadapan di ajang All Star yang kala itu digelar di Madison Square Garden, dengan hasil Jordan menggungguli Bryant dan meraih gelar MVP di ajang tersebut.
Meski sempat mengejek etos gaya permainan Bryant, Jordan menghargai usaha keras pebasket muda itu dan memberinya kesempatan untuk menjadi kompetitornya. Dan, seperti sudah kita ketahui, Bryant tumbuh menjadi tidak ubahnya Jordan kedua dengan keterikatan etos kerja luar biasa, naluri mencetak angka, dan kesuksesan seri signature shoes mereka. Jordan dengan Air Jordannya, sementara Kobe dengan seri saat ia masih bernaung di Adidas maupun setelah hijrah ke Nike.