Di era digital, pembuatan film yang tak lagi terbatas dari kekurangan di era analog membuat sejumlah sineas mulai berani mencoba bereksperimen dengan gaya-gaya yang ekstrim. Salah satu teknik yang mungkin mustahil untuk diterapkan di film berbasis teknologi analog adalah one shotfeature film, atau yang lebih dikenal sebagai film panjang yang diambil dengan satu shot tanpa putus. Hingga sekarang, tak banyak sineas yang menggunakan teknik one shot ini sebagai bentuk bercerita dalam filmnya. Teknik ini pun bisa dibilang salah satu teknik tersulit yang pernah ada, karena dibutuhkan persiapan yang matang dari semua lini sebelum memasuki masa produksi. Dan ketika proses pengambilan gambar pun, tak ada yang bisa mengatakan teknik one shot atau long shot ini sebagai hal yang mudah untuk dikerjakan.
Kelebihan dari teknik one shot adalah hasil penyampaian cerita yang lebih emosional dan jujur. Tanpa adanya “cut” atau memotong adegan dalam film, penonton akan diajak untuk lebih dekat dalam memahami isi cerita dengan sangat mengalir dan natural. Namun resikonya, banyak adegan tak perlu yang kemudian ditampilkan sehingga menciptakan kebosanan bagi yang tidak terbiasa dengan cara bertutur seperti ini.
Sejak awal tahun 2000 ada banyak film yang mencoba menggunakan teknik one shot, yaitu Timecode (2000), Russian Ark (2002), PVC-1 (2007), The Silent House (2010), Fish & Cat (2013), dan yang terakhir Victoria (2015). Film-film ini berhasil mencuri perhatian publik atas inovasi serta pencapaiannya dalam perkembangan sinema dunia. Skill dan teknik one shot pun menjadi ciri khas utama yang selalu melekat jika mendengar judul-judul film tersebut.
Dari berbagai judul film di atas, kali ini saya akan membahas tentang Victoria.
Keindahan Sinema dalam Victoria
Pada dasarnya, dalam film yang bagus terdapat karakter yang kuat serta plot yang menarik. Hal tersebut adalah resep utama agar sebuah film bisa dinikmati dengan baik dan lebih mudah untuk diingat oleh para penonton. Saya percaya rumus ini gampang diterapkan dalam film dengan teknik penggabungan sekuens pada umumnya, karena di sana terdapat kemudahan serta fleksibilitas plot yang bisa diaplikasikan di banyak bagian film. Lantas bagaimana jika diterapkan dalam one shot film?
Sebelum menonton Victoria, saya ragu jika one shot film mampu menampilkan karakter yang kuat serta plot yang menarik untuk ditonton. Pasalnya, dengan keterbatasan durasi serta tak adanya pemotongan adegan, tentu sulit untuk menyuguhkan karakter yang kuat apalagi jika ditambah dengan plot cerita yang menarik. Rasa skeptis ini saya munculkan dan saya jaga dari awal agar ekspektasi saat menonton Victoria tak terlalu melambung tinggi.
Namun ternyata di luar dugaan, Victoria melewati ekspektasi saya.
Victoria adalah film panjang asal Jerman yang dibuat oleh Sebastian Schipper dan dibintangi oleh Laia Costa serta Frederick Lau. Dengan durasi yang cukup panjang yaitu 2 jam 18 menit, film ini ternyata sukses menyuguhkan satu cerita kompleks yang hanya diambil dengan one shot tanpa putus sama sekali. Mungkin sebagian anda tak percaya, tapi ini adalah fakta yang harus diakui kebenarannya.
Pembicaraan mengenai film ini mulai menyeruak ke permukaan setelah Victoria berhasil unjuk gigi di ajang Berlin International Film Festival 2015 kemarin. Dalam gelaran tersebut, Victoria berhasil menyabet 3 penghargaan yaitu Prize of the Guild of German Art House Cinemas, Reader Jury of the “Berliner Morgenpost”, dan Silver Bear for Outstanding Artistic Contribution for Cinematography.
Kisah dalam film ini berpusat pada karakter Victoria yang diperankan oleh Laia Costa, seorang gadis remaja asal Madrid yang mencoba peruntungan di kota Berlin, Jerman. Waktu dalam film ini dimulai sekitar pukul 4.30 pagi, di sebuah bar underground sempit yang tak terlalu ramai dikunjungi. Di sinilah pertama kali Victoria muncul, lalu berkenalan dengan Sonne (Frederick Lau) dan beberapa sahabatnya.
Sama seperti film pada umumnya, sepertiga bagian awal dalam Victoria masih berkonsentrasi tentang pengenalan karakter dari tokoh-tokoh yang ada. Dengan dialog serta adegan-adegan yang sederhana, deskripsi karakter yang melekat pada tokoh sentral dalam film ini cukup mudah untuk ditangkap dan diintrepretasikan.
Kemudian memasuki pertengahan, pemantik konflik dalam film ini mulai datang perlahan dan diceritakan sedikit demi sedikit. Penjelasan karakter yang mudah dimengerti di sepertiga bagian awal film tadi ternyata berimbas juga dengan kemunculan konflik yang make sense untuk diterima. Saya kagum dengan naskah dan alur cerita yang disampaikan, karena sama sekali tak ada plot hole yang mengganggu dalam film ini. Bahkan semuanya tertata rapi hingga bagian klimaks.
Bicara soal keunikan cerita, Victoria tak menghadirkan sesuatu yang spesial. Mengangkat tema perampokan, film bergenre heist ini bahkan tak memperlihatkan adegan perampokan sadis ataupun pencurian skala besar layaknya film dengan genre serupa. Tapi meskipun begitu, film ini masih bisa menyuguhkan sunpense berkualitas ketika adegan penyergapan dilakukan oleh para polisi. Satu lagi yang perlu digarisbawahi adalah pembawaan karakter oleh para pemerannya yang sangat natural serta penuh emosi, membuat cerita film ini menjadi lebih berbobot dan seru untuk ditonton.
Topi saya angkat untuk sang sutradara yakni Sebastian Schipper dan sang director of photograhy film ini yaitu Sturla Brandth Grøvlen. Mereka berdua berhasil membuktikan bahwa membuat film dengan gaya long shot tak hanya dikuasai oleh Alejandro González Iñárritu dan Emmanuel Lubezki. Bahkan saya rasa, Victoria melebihi apa yang telah dicapai oleh Birdman, karena secara teknis, Victoria adalah film yang murni diambil dalam satu shot. Sedangkan Birdman melakukan editing dalam penggabungan beberapa shot agar terlihat seperti menjadi satu shot tanpa putus.
Sinematografi dalam film Victoria pun nyaris tanpa cacat. Ketika menontonnya, saya yakin anda akan terkagum-kagum dengan komposisi gambar dan visual storytelling yang disampaikan oleh sang sutradara dan director of photography. Pergerakan dan sudut pandang yang diambil oleh Grøvlen sukses memperkuat cerita, apalagi dengan nuansa shaky tanpa henti. Sebagai penghormatan dari Schipper, nama Sturla Brandth Grøvlen pun ditampilkan terlebih dahulu dalam credit title.
Victoria sendiri membutuhkan latihan selama kurang lebih 100 hari untuk melakukan adegan yang sama berulang-ulang. Para pemain melakukan adegan tersebut tanpa kamera hingga masa produksi dimulai. Hanya dibutuhkan 3 hari dan 3 kali pengambilan gambar untuk film Victoria. Dan dari ketiga gambar yang berhasil diambil, Schipper memutuskan take kedua lah yang dijadikan untuk final cut film ini.
Akhir kata, Victoria adalah sebuah sajian one shot film yang sungguh menakjubkan. Jika anda mengagung-agungkan Birdman, mungkin Emmanuel Lubezki tak akan lagi terlihat sebagai master of long shot setelah anda menonton film ini.
Baca juga: Review Film Punisher: War Zone – Film Marvel yang Kelam