Saga Terminator bukanlah saga yang asing bagi para penikmat film. Jangankan penggemar genre fiksi ilmiah, bahkan kalangan penyuka film awam pun besar kemungkinan mengenalnya. Sejak pertama kali muncul di tahun 1984, kala dunia diperkenalkan dengan sosok mesin pembunuh berjuluk Terminator, saga yang diujungtombaki Arnold Schwarzenegger ini menjadi salah satu saga fiksi ilmiah paling populer.
Setelah dua installment sukses, saga ini harus kehilangan otak brilian di baliknya, James Cameron. Padahal, dari gagasan Cameronlah saga ini berawal. Tak ayal, selepas kepergiannya, saga ini mulai kehilangan kualitasnya, meski secara raihan, masih terhitung lumayan komersial.
Tanpa kontribusi Cameron, saga aslinya sempat menghadirkan babak ketiganya, yang mengusung tajuk tambahan: Rise of the Machines, yang masih dibintangi Arnie namun minus Linda Hamilton dan Edward Furlong. Meski notabene membawa formula yang tidak jauh berbeda, perubahan komposisi di sini mempengaruhi kualitasnya.
Hasilnya, tanpa ada Cameron, tiga installment Terminator apapun bentuknya (sekuel langsung (Rise of the Machines), spin-off (Salvation), reboot (Genysys)) tidak cukup mampu memuaskan dahaga para penggemar beratnya. Banyak kalangan berpendapat kalau ketiga proyek tersebut, tidak memiliki level yang sama dengan dua film pertamanya.
Hingga akhirnya, dalam upaya reboot ketiganya ini, James Cameron memutuskan kembali untuk terlibat. Hasilnya, dari pengamatan setelah menyaksikan installment paling anyar ini, terbukti pengaruh Cameron membawa dampak signifikan. Walaupun di sini, keterlibatannya hanya sebatas produser sementara kursi penyutradaraan dipercayakannya pada Tim Miller.
Diceritakan, beberapa tahun setelah apa yang terjadi di Terminator II: Judgment Day (T2), Sarah Connor (Linda Hamilton) dan putranya John berhasil mencegah terjadinya Judgment Day. Hingga akhirnya satu T-800 datang, dan berhasil menunaikan misinya.
Lompat ke masa kini, kurang lebih 22 tahun setelahnya, sorang gadis Meksiko bernama Daniella (Natalia Reyes) tiba-tiba menjadi incaran Teminator model baru, Rev-9 yang dikirim dari masa depan. Untungnya, seorang prajurit wanita asal masa depan bernama Grace (Mackenzie Davis) yang sudah diperkuat secara bionik tiba lebih dulu untuk melindunginya.
Dua gadis ini kemudian diselamatkan oleh Sarah Connor yang telah menjelma menjadi pemburu Terminator. Belakangan terungkap apa yang menyebabkan Daniella menjadi buruan Terminator dan ancaman ras mesin terbaru yang berusaha membunuh sang gadis seperti yang pernah Skynet coba lakukan pada John Connor bertahun-tahun lalu.
Sebagai pencipta franchise, James Cameron sepertinya tahu benar bahwa ia punya keuntungan orisinalitas untuk mengarahkan ke manapun manuver cerita. Dan, hal itulah yang tepatnya diterapkan pada Dark Fate.
Tidak seperti penerus tongkat estafetnya (Jonathan Mostow, McG, dan Alan Taylor), yang harus terkungkung koridor pakem asli (jika tidak mau dihujat karena berani melenceng-red), Cameron memanfaatkan privilegenya itu. Sekaligus mengeliminasi eksistensi tiga film Terminator terakhir, Dark Fate menggulirkan kisah yang diakomodirnya menjadi sekuel langsung T2.
Sejatinya formula kisah Dark Fate sendiri tidaklah baru, dan bahkan ada beberapa scene yang mirip dengan adegan di T2. Namun, dalam penilaian penulis pribadi justru inilah yang menjadi kekuatan utama film ini. Perpaduan kembalinya pemain lama dan muka baru malah membuat perasaan berkecamuk. Nostalgia dan rasa penasaran mengenai prospek kelanjutan saga ini bercampur aduk saat menyaksikan sajiannya.
Kefasihan Cameron mengenai saga ini dan sentuhan penyutradaraan Tim Miller yang sebelumnya sukses lewat Deadpool, terbukti mampu memberikan babak tambahan yang berarti pada franchise ini, setelah mengapus kontinuitas yang tadinya sudah ada. Dibandingkan dengan film-film Terminator lain pasca Judgment Day, Dark Fate terasa lebih baik. Apa yang diharapkan dari sebuah film Terminator ada di sini. Adegan aksinya berjalan dalam oktan cepat sedangkan dari segi cerita tidak terlalu rumit.
Performa akting para pemainnya juga mampu menunjukkan performa yang lumayan memuaskan. Di samping Linda Hamilton yang penampilannya tidak perlu diragukan lagi sebagai Sarah Connor, pujian layak diberikan pada Mackenzie Davis dan Gabriel Luna, yang tampil meyakinkan sebagai manusia-manusia setengah mesin berkemampuan tempur tinggi dalam mengeksekusi porsi adegan aksi mereka.
Khusus untuk kinerja Tim Miller di sini, bisa dikatakan bagi yang mengharapkan kualitas pengeksekusian aksi seperti yang ia tampilkan sebelumnya di Deadpool, besar kemungkinan Anda akan terpuaskan. Dengan range aksi yang luas, dari kejar-kejaran mobil, pertarungan jarak dekat, hingga adegan klimaksnya Miller mampu membuat audiens terpaku dalam sajian aksi konstannya.
Meski tidak berlaku mutlak (pasalnya, tidak sedikit juga kalangan yang menilai negatif keputusan Cameron meng-alter cerita-red), Dark Fate dalam penilaian kami adalah installment Terminator yang paling memuaskan dan membawa angin segar tersendiri. Kami juga memuji pilihan Cameron sebagai keputusan yang brilian.
Hal ini dkarenakan, mereka mampu banting stir di film ini mengubah format saga yang tadinya dicap berlevel full testosteron menjadi sebuah female-led action movie. Sekaligus secara efektif menutup storyline klasik Terminator (yang sudah cenderung membosankan-red) seraya membuka cakrawala baru yang menurut hemat kami rasanya jauh lebih menjanjikan nantinya. Terminator: Dark Fate mulai tayang di bioskop tanah air pada tanggal 30 Oktober 2019. Baca ulasan lengkap tentang Terminator Dark Fate di majalah Cinemags 228 dan dapatkan majalahnya di sini.