Kembali ke bulan Desember 2018, Charlie Brooker, otak sakit dibalik serial bertema distopia teknologi, Black Mirror bersama dengan Netflix, merilis Bandersnatch. Film/serial ini hadir dengan lima pilihan alternative ending yang turut melibatkan interaksi penonton sebagai penentu nasib Stefan, si tokoh utama. Inovasi semacam ini baru pertama kalinya tayang di televisi dan lumayan menyedot perhatian media, meskipun narasi yang serupa dapat kita temui pada game-game interaktif. Dan setelah sekitar dua tahunan absen dari serialnya, kini season lima hadir di waktu yang pas, seakan mengobati kekecewaan audiens pada season final Game of Thrones yang kurang sesuai ekspektasi. Adapun season kali ini hanya berisi tiga buah episode, berbeda dari sebelumnya yang rata-rata terdiri dari kurang lebih 6 episode.
Episode pembuka menampilkan kasus ter-cringe yang menggali gunung es audiens untuk mempertanyakan kembali hal-hal tabu seputar kejenuhan pernikahan dan keinginan berselingkuh dengan avatar game. Mengisahkan dua orang sahabat lama Danny (Anthony Mackie) dan Karl (Abdul Mateen II) yang bertemu kembali saat dewasa. Karl memberikan hadiah di hari ulang tahun Danny berupa game yang sering mereka mainkan saat remaja, ‘Striking Vipers’ (semacam mengambil inspirasi dari Mortal Kombat ). Pemberian spesial ini hadir dalam edisi VR. ‘Striking Vipers’ memungkinkan pemainnya masuk ke dalam karakter petarung pilihannya dan berkelahi secara real sebagai avatar. Belakangan, ternyata si pemain dapat melakukan hal-hal lain bersama lawannya, selain berkelahi. Game tersebut menyedot perhatian Danny, dan menyebabkan hubungan rumah tangganya kurang harmonis. Seakan mengetahui sisi gelap para fans, episode ‘Striking Vipers’ merupakan umpan yang mengakibatkan candu bagi penggemar Black Mirror untuk semakin penasaran dengan apapun yang ditawarkan serial ini.
“Smithereens” mengisahkan seorang pengemudi grab, menampilkan performa maksimal Andrew Scott sebagai sosok yang dilanda rasa frustasi. Si tokoh sentral memendam rasa dongkol kepada pencipta Smithereens (sosial media) karena suatu tragedi yang terjadi di masa lalunya. untuk dapat berbicara via ponsel dengan sang CEO, ia menyadera pekerja mereka. Alasan dibalik amarahnya baru terungkap belakangan. Episode kedua ini bisa dibilang merupakan yang paling memeras emosi, mungkin karena sosial media terasa familier dan dampak negatifnya sudah dapat kita rasakan sendiri.
“Rachel, Jack and Ashley, Too,” bisa dibilang adalah episode ter-happy ending dalam jajaran Black Mirror universe yang lebih cocok ditujukan bagi audiens remaja. Dengan mengangkat tema empowerment, episode ketiga mengisahkan seorang pop star, Ashley (Miley Cyrus) yang muak bermanis-manis dan ingin mengekspresikan jati diri sesungguhnya lewat musik rock. Kisah ‘pencarian jati diri sang pop idol’ ini berujung dengan misi penyelamatan dari cengkeraman manipulatif sang manager melalui bantuan Rachel (fans setia Ashley), Jack (kakak Rachel ) dan Ashley ‘O (semacam perangkat Alexa yang menyimpan data, memori, kepribadian sang pop idol). Meskipun terdapat beberapa hal yang sedikit mengganggu, seperti cover salah satu track dari album Pretty Hate Machine-nya Nine Inch Nails yang terdengar cheesy, namun ide mengenai perangkat Ashley ‘O yang berkomunikasi setiap hari kepada fans sebagai teman imajiner, kemungkinan besar dapat terwujud di masa depan.
Memang tiada habisnya kasus absurd akibat ketimpangan teknologi ataupun faedahnya yang dapat diolah menjadi cerita, namun setelah The Entire History of You, White Christmas, Nosedive, San Junipero, seakan tidak ada plot yang lebih mind-blowing dari yang sudah-sudah. Ketiga episode ini hanyalah pengulangan atau versi lain dari tema-tema affair online, dampak sosial media, dan transhumanism. Meskipun begitu, ketiganya terbilang cukup entertaining untuk dinikmati terutama untuk memancing reaksi kegilaan saat menonton “Striking Vipers” ataupun mengingatkan akan perasaan teralienasi (akibat teknologi) pada episode “Smithereens“.