Setelah kesuksesan dua filmnya, John Wick menjadi semacam instant favorite bagi kalangan pencinta action (maupun non-action) sejak debut di layar lebar pada tahun 2014. Mengedepankan sosok assassin luar biasa tangguh, Keanu Reeves seakan bangkit kembali kebintangannya sebagai aktor pemeran film aksi, setelah namanya meredup usai membintangi Constantine.
Mengetengahkan premis aksi balas dendam seorang assassin yang tadinya sudah meninggalkan dunia kelamnya, dengan formula one man action ala film aksi old school, film perdananya selain menorehkan pendapatan yang lumayan ($88,7 juta dari bujet $20 juta) juga menuai apresiasi yang sangat positif, pun kala muncul sekuel pertamanya yang juga tidak kalah hitnya.
Terdapat sejumlah elemen yang membuat franchise ini begitu ditunggu dan mendapat tempat khusus di hati penggemarnya. Pertama-tama, kapan lagi seorang Keanu Reeves membabat satu-persatu musuhnya tanpa ampun. Karakternya yang dibuat simpel, minim emosi, namun mematikan (kualitas ideal pembunuh bayaran), khas hero film-film aksi lawas, juga menjadi daya tarik tersendiri dan merupakan antiteori dari formula penokohan film-film modern yang cenderung dituntut kompleks. Dipadu dengan banyaknya aksi over the top dalam bentuk adegan baku tembak maupun perkelahian jarak dekat yang memacu andrenalin dan kemasan storyline yang sejatinya sederhana namun sarat plot twist, makin sahihlah kreasi kolaborasi Derek Kolstad dan Chad Stahelski sebagai paket aksi yang sangat menghibur, khususnya bagi kalangan penyuka film aksi old school.
Tak ayal, karena aspek-aspek tersebut nama John Wick semakin mentereng sebagai karakter aksi laga sukses dalam satu dekade terakhir, bersanding dengan karakter-karakter one man (or woman) show kondang modern lainnya, seperti The Bride dari dwilogi Kill Bill maupun Bryan Mills (seri Taken). Dan, sudah tentu, untuk saga filmnya sendiri, sebagaimana proyek generik yang reputasinya semakin besar (contoh saga Fast & Furious- red), film babak ketiga John Wick juga makin menyedot perhatian banyak kalangan yang membuat beban dan tuntutan ekspektasi yang diharapkan dari Chad Stahelski otomatis makin berlipat dibanding sebelum-sebelumnya.
Hal ini agaknya disadari benar oleh Stahelski, bahwa adegan aksilah yang diharapkan fans seri ini. Maka, meski makin memperbesar lingkup dunia unik para pembunuh bayaran yang sudah diperkenalkan dalam dua film sebelumnya pun melanjutkan langsung apa yang menjadi pengentas film sebelumnya, Stahelski tidak berlama-lama dalam memberikan apa yang diharapkan audiens dari saga ini. Tidak perlu sampai menunggu puluhan menit, penonton sudah dibuat terpaku di kursi lewat serangkaian adegan aksi John Wick dengan senjata “seadanya” (dari buku, hingga ‘memanfaatkan’ kuda) untuk lolos dari para pengejarnya.
Menyaksikan Parabellum, seperti melihat bagaimana transisi saga John Wick menjadi semakin baik, yang membuat film babak ketiga ini paling solid di antara keseluruhan franchise sejauh ini. Melalui hasil besutannya ini, Stahelski sepertinya sudah menemukan evolusi apa yang dibutuhkan untuk perkembangan saga ini ke depannya. Status Excommunicado dengan imbalan besar bagi nyawanya yang disandang John Wick memungkinkan Stahelski menghadirkan adegan aksi kapanpun, karena premis ini menjadikan Wick incaran utama seluruh pembunuh bayaran di manapun ia berada.
Meski sangat mengedepankan adegan aksi yang tentunya skalanya melebihi porsi dalam dua film sebelumnya, Stahelski tidak terlena dalam mengembangkan aspek naratif di filmnya. Hingga, selain suguhan aksi, kisah yang bergulir juga enak dinikmati. Pun juga karakter-karakter baru yang hadir mampu memberi warna tersendiri, dengan kekhasan karakteristik mereka, mengimbangi tokoh-tokoh lama yang sudah dikenal sebelumnya.
Lalu, yang pastinya menjadi nilai plus dan membanggakan bagi penonton tanah air, tentunya adalah keterlibatan dua aktor laga Yayan Ruhiyan dan Cecep A. Rahman di film ini. Pasalnya, mereka tidak hanya sekadar unjuk kebolehan melakukan koreografi pertarungan silat sebagai dua assassin paling andal dari kubu antagonis utama yang kali ini diperankan oleh aktor laga lawas Mark Dacascos (yang membuat pangling dengan kepala plontosnya –red), namun baik Yayan maupun Cecep menggunakan senjata khas Sunda, Karambit serta berdialog dalam bahasa Indonesia, hingga bahkan John Wick pun sempat membalas dengan bahasa Indonesia pula. Dijamin saat adegan ini hadir, Anda besar kemungkinan akan bersorak kegirangan.
Ditambah kawalan sinematografi apik Dan Laustsen yang mampu menghadirkan komposisi warna dinamis dan impresif, selain memiliki aksi dan bahkan kisah terbaik, film ini juga indah secara estetika. Dengan pencapaian sejauh ini, meski kabarnya Parabellum merupakan babak penutup bagi saga John Wick, walaupun bagi yang sudah menyaksikannya boleh jadi bakal ragu ini akan berakhir di sini, sebagaimana film-film sekuel sukses lainnya, Parabellum besar kemungkinan akan membuat para penikmat aksi bakal ketagihan. Bahkan, hingga di titik di mana film John Wick akan menjadi candu baru, dan babak lanjutannya hanyalah satu-satunya penawarnya.