Sejak mulai menarik perhatian dunia perfilman pada tahun 2006 lalu melalui film horor remaja All The Boys Love Mandy Lane, Jonathan Levine mampu menorehkan pencapaian yang impresif untuk kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Baik itu melalui film-film dengan naskah asli maupun adaptasi novel, seperti yang dipresentasikannya dalam Warm Bodies, membuat film-film besutannya banyak dinantikan beragam khalayak penonton.
Tidak terkecuali film garapan paling gresnya ini yang berjudul Long Shot. Apalagi, di sini ia berreuni dengan Seth Rogen, yang pertama kali berkolaborasi dengannya dalam 50/50 di tahun 2011. Di Long Shot, Levine memasangkan Rogen dengan Charlize Theron dalam sebuah kisah drama komedi romantis berlatar dunia politik yang penuh intrik.
Berbicara mengenai genre film drama komedi romantis sendiri, sudah bukan rahasia umum bahwa genre ini bisa dikatakan memiliki formula absolut dari dulu hingga sekarang. Yakni apapun latar, karakteristik, maupun setting masa yang dikedepankannya, konklusinya tetap sama, bersatunya dua insan dalam akhir yang bahagia, apapun situasi dan anomali probabilitas di antara mereka berdua. Hasilnya, sudah menjadi rahasia umum di kalangan khalayak perfilman ada anggapan tidak resmi yang sudah diamini banyak pihak: menyaksikan sedikit ataupun banyak, bisa dikatakan sudah menyaksikan semuanya, karena genre ini tidak pernah berubah.
Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa setiap generasi memiliki film drama komedi romantisnya sendiri. Ambil contoh: Roman Holiday, Sabrina, Pretty Woman, The Wedding Singer, Jerry Maguire, Notting Hill, Knocked Up, Juno, There’s Something About Mary, hingga To the Boys I’ve Loved Before yang mampu menjadi representasi drama komedi romantis yang signifikan sesuai tren dan fenomena sosial di masa itu.
Lalu, bagaimana dengan Long Shot sendiri? Berhasilkah Jonathan Levine mendekati level tersebut? Pertama-tama perlu ditekankan bahwa melalui Long Shot, berarti kita disuguhi satu lagi film komedi yang dibintangi oleh Seth Rogen.
Mengapa poin ini perlu ditekankan? Pasalnya, seperti halnya genre rom-com sendiri, film komedi yang dibintangi sang aktor juga memiliki formula khas yang kurang lebih mirip satu sama lain, yang sialnya juga tidak pernah berubah. Joke bertemakan seks, umpatan-umpatan kasar yang tidak perlu (terutama F word dan S word –red), durasi kisaran 20 menitan yang didedikasikan pada penggunaan psikotropika (umumnya mariyuana dan ekstasi), referensi tren budaya pop dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, komentar mengenai kebebasan sosial yang membuat dahi berkerut, improvisasi dipaksakan yang lebih lucu bagi jajaran pemainnya ketimbang bagi audiens, dan tentunya lelucon slapstik menjurus vulgar.
Dan memang, seperti sudah diduga itu semua memang dapat dijumpai di film ini. Secara general apa yang dihadirkan Levine di sini bakal mengingatkan dengan apa yang disuguhkan oleh Judd Apatow di film-film hasil garapannya, khususnya Knocked Up (yang juga dibintangi oleh Seth Rogen –red). Bahkan, mungkin jika tidak ingat bahwa Levine lah yang membidaninya, bisa jadi mengira bahwa ini adalah karya terbaru Apatow. Dalam Long Shot, Seth Rogen kali ini dipasangkan dengan Charlize Theron, sekaligus menambah panjang deretan aktris jelita yang menjadi pasangan romantisnya di film. Adapun karakter yang dimainkan keduanya adalah seorang jurnalis idealis dan seorang politikus kandidat presiden yang ternyata adalah kenalan masa lalunya.
Jualan utama Long Shot yang menjual romansa antara sosok “sempurna” dengan sosok yang kontras berseberangan, jelas bukan hal yang baru dalam alur penceritaan film-film sejenis. Untungnya, performa Rogen dan Theron serta kualitas naskah yang digarap berhasil membuat tema usang ini menjadi seksi. Chemistry antara mereka terasa meyakinkan seraya mampu mengembangkan karakter mereka masing-masing lengkap dengan jejak-jejak kekhasan mereka (gaya berpakaian, sifat bawaan, dan masih banyak hal lagi). Hasilnya, sudah tentu, apa yang ditawarkan di sini berhasil mencuri hati dan simpati penonton, setidaknya itu yang dirasakan pribadi oleh penulis.
Latar belakang politik yang dikedepankan di sini juga terbukti mampu memberi bumbu tersendiri dan mendongkrak Long Shot menjadikannya sedikit lebih dari kebanyakan rom-com pada umumnya. Meski durasinya terhitung panjang (dua jam) pace dan energi yang sukses dijaga membuat jalinan kisahnya jauh dari kata membosankan. Lebih bagus lagi, meski notabene sarat pesan politik, namun dapat dihadirkan tanpa terkesan terlalu menggurui ataupun terlalu idealis.
Secara keseluruhan, Long Shot bukanlah film komedi berlevel rendah, dan juga jauh dari kesan mengecewakan. Namun memang harus diakui, ketidakberanian Levine menyuguhkan konklusi yang mendobrak patron rom-com, membuat film ini masih berada dalam koridor hasil karya yang aman dan mudah diprediksi akhirnya. Jika saja sang sineas berani mengambil resiko untuk konklusi di adegan epilognya, mungkin hasilnya akan lain.