Overall Fun, Action Packed, and a little under-developed Storyline
Bagi para penyuka film aksi fantasi fiksi ilmiah Hollywood, judul Alita Battle Angel pasti bukan perihal asing. Meski notabene mungkin tidak mengetahui fakta bahwa sama halnya dengan Edge of Tomorrownya Tom Cruise, Alita diadaptasi dari manga Jepang. Pasalnya, proyek film Alita sudah menggema kencang sejak lebih dari satu dekade lalu, tepatnya pada tahun 2000. Apalagi insan Hollywood yang berambisi membawa IP ini ke layar lebar adalah sineas berkelas James Cameron yang rasanya kalibernya tak perlu dijabarkan lagi.
Sayangnya, perjalanan mewujudkannya sangat tidak mulus. Dikarenakan kesibukan luar biasa Cameron yang menyebabkan ia mengalami konflik prioritas, terlebih setelah merilis Avatar, tidak hanya membuat proyek ini beberapa kali mengalami penangguhan namun sampai memaksa sang sineas harus melepas kursi penyutradaraan Alita ke tangan Robert Rodriguez, dan sebatas memproduserinya saja
Sebagaimana kisah manganya, Alita: Battle Angel menyoroti kisah pencarian jatidiri cyborg wanita yang berhasil dihidupkan kembali tanpa ingatan. Menyuguhkan setting dunia jauh di masa depan, di mana pascaperang besar seluruh kota metropolitan yang terapung di angkasa mengalami kejatuhan kecuali Zalem, yang mendapatkan sumber dayanya dari Iron City. Dalam situasi itu, umat manusia maupun cyborg di Iron City bertahan hidup dari puing-puing dan sampah buangan Zalem seraya memimpikan kehidupan lebih baik di megapolitan tersebut. Salah satunya adalah Dr. Dyson Ido, seorang jenius bidang cybernatic yang setiap hari berburu suku cadang di antara sampah industri dari Zalem.
Di sebuah kesempatan, Ido menemukan cyborg wanita yang masih berfungsi. Berhasil memfungsikannya kembali, Ido menamainya Alita lalu mengadopsinya. Alita yang tadinya tidak mengingat masa lalunya kemudian mulai menelusuri asal – usulnya, yang membawanya pada pertempuran seru baik dengan cyborg-cyborg dan para pemburu hadiah berkemampuan fatal serta olahraga favorit di Iron City: Motorball.
Mengemban misi yang sama sekali tidak mudah, yakni harus mengatasi problem kronis memperkenalkan dunia baru pada khalayak penonton secara cepat namun efisien, Rodriguez beserta timnya kentara kurang menyuguhkan latar informatif memuaskan mengenai universe Alita. Entah apakah itu karena kekurangmampuan atau memang kesengajaan guna disimpan di babak lanjutannya. Terlebih memang jika ditilik dari materi aslinya, kreator Alita, Yukito Kishiro menginjeksikan banyak istilah dan latar sejarah yang terlalu luas untuk dituangkan dalam satu film, dan tantangan tersendiri bagi tim penulis naskah untuk memilah mana yang sangat vital untuk dihadirkan lebih dahulu atau cukup sekilas, hingga bahkan tidak perlu sama sekali. Namun, hal ini berimbas pada penuturan ceritanya
Ibarat pedang bermata dua. Hasil arahan Rodriguez bisa dibilang berhasil dalam memerlihatkan setting yang ingin dikedepankan, namun agak mengecewakan dalam penuangan ceritanya. Walaupun dipenuhi dengan adegan aksi yang memukau, Alita: Battle Angel memiliki sejumlah kelemahan, terutama pada bagian plot dan dialognya. Alih-alih mengadaptasi manganya secara langsung, James Cameron malah memiliki visinya sendiri yang terasa seperti versi ringan dari Gunnm. Kebingungan untuk memilih fokus aspek berpengaruh benar pada mulusnya keterkaitan antar adegan, yang beberapanya terasa agak dipaksakan hanya semata untuk mempercepat jalan ceritanya.
Padahal dari segi penokohannya, terutama untuk karakter Alita, terbangun dengan baik. Dengan formula klise plot game, sosok Alita tidak ubahnya tokoh hero dalam game, di mana di sini terlihat jelas perubahan karakternya dari sosok cyborg tanpa ingatan menjadi petarung tangguh seiring pengalaman yang bertambah, tidak lupa juga pemberian peningkatan aksesoris dan ingatan seni kemampuan tempur yang makin meningkat untuk mengatasi lawan-lawan yang juga semakin tangguh.
Sayangnya, hanya karakter Alita saja yang mendapatkan treatment tersebut, sementara tokoh-tokoh lainnya jadi tidak ubahnya pelengkap saja. Apalagi untuk sisi tokoh-tokoh antagonisnya, yang jika bukan karena hasil kerja keras divisi desain, kostum, dan spesial efek, akan mudah dilupakan selepas menyaksikannya. Padahal, para pemegang karakter-karakter tersebut bukan nama-nama sembarangan, yang jadi agak tersia-siakan bakat aktingnya karena kualitas skrip yang kurang mendukung tadi.
Salah satu titik lemah plot adalah terlalu besarnya sorotan pada hubungan intens antara Alita dan Hugo yang nyaris menyeret kisah ini menjurus ke kisah-kisah teen romance beralur lambat. Untungnya, di paruh kedua, dengan medium “motorball”, olahraga populer otentik dari universe Alita yang memungkinkan kemasan aksi memukau seperti halnya Quidditch di Harry Potter membuat tensi kisahnya meningkat lagi.
Karena faktor ini pula porsi adegan aksi Alita terbilang fenomenal. Untuk sektor ini, sang sineas berhasil menampilkan kinerja yang sangat apik. Begitupun adegan pertarungannya. Alita: Battle Angel dipenuhi dengan aksi pertarungan gila-gilaan yang indah sekaligus brutal yang agaknya beberapa di antaranya tidak hanya berhasil menerjemahkan visualisasi manganya ke live action namun juga meninggalkan impresi yang cukup mendalam (seperti saat Alita melompat menerjang ke arah Grewishka melalui gelombang serangan kuku berantai yang terarah padanya).
Begitupula dalam sebuah adegan pertarungan berskala besar di mana banyak karakter minor mendapat kesempatan memerlihatkan kemampuan khusus mereka. Dari segi detail, Alita sangat layak mendapat dua jempol, karena berhasil menunjukkan bahwa di dunia ini cybernatic bukan hanya untuk para pembunuh dan atlet saja, namun merupakan suatu yang umum. Dan hal itu dapat ditampilkan dengan meyakinkan oleh tim kreatif.
Sejatinya tidak mengetengahkan sesuatu yang baru dari segi kisahnya jika dibandingkan settingnya yang begitu kreatif dan khas, harus diakui bahwa hasil kolaborasi sineas Robert Rodriguez dan produser James Cameron ini tetap menghibur, meski jika dibandingkan dengan karya-karya dengan karakteristik serupa dari masing-masing duo ini secara overall bukan yang terbaik. Pasalnya, sajian Alita masih terbilang generik dan di dalamnya masih banyak aspek yang belum terjawab (identitas Alita sesungguhnya, intrik Zalem, pemicu peritiwa “The Fall”, sosok Nova dan masih banyak lainnya).
Namun, hal ini rasanya bisa dimaklumi karena, konklusi kurang memuaskan itu sengaja dipilih untuk setup proyek sekuelnya. Itupula yang begitu kentara di sini, dengan menghadirkan penampilan sekilas aktor bernama besar untuk memainkan tokoh antagonis utamanya, seperti halnya yang pernah ditunjukkan dalam Eragon, Justice League, maupun Venom. Tinggal harapannya, semoga saja Alita berhasil mencapai ekspektasi yang dibebankan pihak studio sehingga lampu hijau untuk babak sekuelnya diberikan.