Glass is not a perfect movie, but it is a consistently entertaining one.
Mempertemukan dua karakter ujung tombak dalam dua karya penyutradaraan paling suksesnya, fans karya Shyamalan tentu mengantisipasi kehadiran Glass. Dengan rentang waktu yang teramat panjang,19 tahun setelah melalui Unbreakable memperkenalkan kita pada David Dunn, satu-satunya penyintas peristiwa kecelakaan kereta tragis yang sepertinya mempunyai kekuatan fisik jauh melebihi manusia biasa, dan Split yang mengedepankan sosok pria dengan 23 kepribadian, salah satunya adalah kepribadian seorang manusia superhuman berjuluk The Beast, akhirnya kita mendapatkan kisah sekuel yang sineas M. Night Shyamalan selalu ingin diwujudkannya.
Glass kembali menghadirkan Samuel L. Jackson yang meneruskan perannya sebagai Mr. Glass, Bruce Willis sebagai David Dunn dan James McAvoy sebagai Kevin Wendell Crumb, pria yang memiliki banyak kepribadian. Seperti halnya film-film shared universe lainnya, daya tarik utama dari Glass adalah bagaimana interaksi antara para tokoh dari Unbreakable dan Split ini dalam satu layar. Khususnya pertarungan head to head antara dua superhuman yang sebelumnya tampil di masing-masing film debut mereka. Sungguhpun demikian, film ini memiliki nilai lebih, karena bersumber dari materi asli, bukan datang dari franchise film besar yang sudah punya sejarah panjang.
Sungguhpun demikian, target yang dibidik Glass adalah tiga lapisan yakni: mampu menjembatani dua karya terdahulunya Unbreakable dan Split, seraya memberikannya film tersendiri, dan memperluas universe yang sudah tercipta menjadi sebuah franchise. Hasilnya, adalah sebuah film yang membangun sebuah dunia baru kemungkinan penceritaan. Walaupun kisahnya kental dengan nuansa film superhero modern, perlu ditekankan sebelumnya bahwa Shyamalan sama sekali tidak tertarik untuk menjadikan Glass sebagai film supehero, melainkan sebuah film thrilller, seperti dua film pendahulunya. Hal ini bahkan sudah ia tegaskan kuat-kuat bahkan sebelum perilisan trailer TV terbaru Glass yang di dalamnya menyertakan dialog yang diucapkan karakter Elijah Price,”This won’t be like a comic book.”
Melanjutkan langsung Split, Glass dibuka dengan situasi terkini Kevin beserta 24 kepribadian dalam dirinya yang tengah menyekap empat gadis remaja, setelah lolos dari kepungan polisi di kebun binatang Philadelphia. Dari situ, tersaji perkembangan David Dunn pasca Unbreakable yang rupanya 15 tahun setelah kecelakaan kereta Eastrail 177, Dunn telah menjelma menjadi vigilante berjuluk The Overseer. Bersama putranya, Joseph yang membantunya dari balik layar, ia melakukan patroli rutin di Philadelphia untuk memberi pelajaran pada para pembuat onar sambil mencari jejak The Beast yang menjadi kepribadian paling berbahaya dalam diri Kevin.
Saat akhirnya berhasil berhadapan langsung dengan The Beast, pertempuran pertama mereka terganggu oleh keterlibatan Dr. Ellie Staple beserta pasukannya yang berhasil meringkus keduanya dan menempatkan di pusat rehabilitasi dengan tujuan meyakinkan manusia-manusia luar biasa ini bahwa kemampuan mereka tidak lain hanya halusinasi pikiran belaka. Konflik mulai berkembang saat lokasi itu usut punya usut adalah juga lokasi penahanan Elijah Price selama ini. Mendapatkan jalan untuk mengekspos bahwa ada para manusia super di dunia nyata, Price mulai berusaha memperuncing rivalitas antara Kevin dan Dunn.
Terdengar klise? Boleh jadi. Namun, tentu lain persoalannya jika berbicara mengenai film hasil penyutradaraan Shyamalan. Karena meski semakin mengusung kental elemen film superhero, apa yang dihadirkan di sini sudah tentu tidak seperti kebanyakan film superhero pada umumnya. Shyamalan tetap menyuguhkan ciri khasnya: mengedepankan sektor drama thriller kehidupan kompleks sementara adegan aksi yang disuguhkan hanyalah sebagai pendukungnya.
Apa yang membuat pengalaman menonton Glass berbeda dengan film adaptasi komik superhero pada umumnya adalah bagaimana sang sineas mampu menyusun formula absurd komik: kisah asal-usul, sorotan mengenai para pemain pentingnya, pertempuran besar, dan perubahan aliansi – dalam konteks dunia nyata. Di sini Shyamalan tidak hanya sekadar menunjukkan sajian yang memukau, namun juga menyertakan alasannya yang dijelaskan dalam setiap layernya, yang mana sektor ini teramat jarang digali di film-film superhero.
Sayangnya, pendekatan ini juga bukannya tanpa cela. Sebagaimana film karya Shyamalan pada umumnya, karakteristik bukan untuk banyak kalangan juga masih melekat kuat di sini. Bagi yang tidak terbiasa dengan film-film sang sineas atau yang menganggap ini tak ubahnya film superhero akan membutuhkan upaya ekstra untuk bisa menikmatinya. Apalagi, sang sineas juga dalam menyusun alurnya sedikit agak berantakan, dan tidak memberi banyak ruang pengenalan pada karakter-karakter pendukungnya, bahkan untuk karakter Dr. Ellie Staple sekalipun. Sungguhpun demikian, pilihan gaya narasi yang dipilihnya sukses mencuatkan performa para pemain karakter utamanya, yang efektif memancing rasa penasaran dan efeknya makin terasa vital seiring lapisan-lapisan misteri yang dikedepankan di film ini mulai terkuak hingga mencapai klimaksnya
Ditunjang dengan penampilan apik jajaran pemain pentingnya, khususnya James Mc Avoy, Samuel L. Jackson, dan Anya Taylor-Joy, secara keseluruhan, kinerja Shyamalan di sini tetap layak mendapat dua acungan jempol. Suguhan aksi yang dihadirkan meski tidak sampai tahap spektakuler, tetap sangat memuaskan, setiap adegan pertempuran antara Dunn vs The Beast dapat ditata dengan baik. Kredit lebih untuk pilihan sang sineas mengambil pendekatan adegan aksi ini kontradiksi dengan sajian ala-ala film blockbuster (sengaja menutupi potensi adegan sadis berlebihan dengan teknik off screen, adalah salah satunya-red). Begitupula dengan konklusi akhir yang dipilihnya, sama sekali di luar dugaan, menohok, dan sama sekali tidak lazim di tengah maraknya upaya Hollywood mengembangkan IP mereka menjadi franchise. Hal ini pula yang rasanya akan membuat sebagian kalangan bisa naik pitam pada suguhannya kali ini.
Di mata penulis sendiri, yang selama ini selalu mengikuti film-film arahan Shyamalan, Glass harus diakui bukanlah karya terbaik sang sineas. Namun, keputusan sang sineas mengambil arahan yang berseberangan dengan tren Hollywood yang ada (kontradiksi dengan twist dalam Split- red) serta dalam koridor lansekap materi kisah komik menghadirkan perubahan kecil yang membedakan kemungkinan yang terjadi di dunia nyata dengan dunia fantasi, layak mendapatkan apresiasi lebih. Bahkan, dari kacamata penulis pribadi, Glass akan mudah menjadi film cult classic di masa depan.
Selengkapnya mengenai film Glass, bisa dibaca juga di Cinemags edisi 224 (Captain Marvel).
Majalah Cinemags edisi 224 dapat di Order disini