Berbicara mengenai franchise film animasi unggulan Dreamworks, How To Train Your Dragon, meskipun sejatinya film adaptasi buah pikiran Cressida Cowell ini ditujukan bagi audiens cilik, namun faktanya, tidak sedikit audiens dewasa yang menikmati tontonan animasi 3D bertema Viking dengan bumbu mitologi dan petualangan ini. Visual yang hidup, karakter setiap tokoh terutama naga Toothless yang lebih menyerupai kucing peliharaan, dan ceritanya membuat dua film layar lebarnya ini mumpuni menarik banyak kalangan.
Saat pertama kali rilis di bulan Maret 2010, film animasi ini langsung melejit dan sukses secara komersial dengan perolehan sebesar hampir $500 juta di seluruh dunia. Tidak hanya sukses, film animasi ini juga menggondol beberapa penghargaan di event Academy Awards dan Annie Awards, termasuk Best Animated Feature. Tidak hanya itu saja, film babak keduanya juga meski diamini tidak sebagus film pertamanya, tetap mampu meraup raihan yang fantastis.
Hingga akhirnya, melalui film babak ketiganya, Dreamworks akhirnya mengentaskan saga yang mengedepankan persahabatan antara bocah bernama Hiccup dan naga Toothless di babak triloginya yang bertajuk The Hidden World. Sebagaimana halnya babak pamungkas lainnya, yang menjadi fokus utama adalah bagaimana konklusi dan akhir kisah petualangan mereka.
Setelah kematian sang ayah, perjumpaan kembali dengan sang ibu serta menjabat sebagai kepala suku di Berk, Hiccup yang kini telah berusia 20 tahun-an bersama teman-temannya terus menyelamatkan nasib para naga dari para pemburu dan membawa naga-naga itu ke Berk. Tanah kelahiran Hiccup ini sekarang sudah menjelma menjadi suaka untuk para naga di mana masyarakat desa dan para naga hidup berdampingan. Saat populasi naga di Berk makin meningkat, Hiccup teringat legenda yang pernah diceritakan padanya saat ia masih kecil – dunia tersembunyi di mana para naga hidup bebas tanpa ancaman umat manusia.
Konflik meningkat saat para pemburu naga merekrut pembunuh naga Night Fury bernama Grimmel. Membawa ancaman dengan skala lebih besar dari sebelumnya, Berk dan kawan-kawannya sekali lagi harus berjuang keras untuk menyelamatkan nasib para naga dari kepunahan dan berusaha mencari keberadaan dunia tersembuyi legendaris itu.
Perihal luar biasa yang berhasil dibawa dari film babak pertamanya ke The Hidden World ini adalah bagaimana tingkatan perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, franchise ini berhasil mewujudkan apa yang selama ini jarang dicoba oleh kebanyakan film-film animasi bahkan sulit dicapai oleh banyak film saga live action sekalipun, yakni perkembangan karakter yang sangat mendalam.
Sejak perkenalan pertama dengan Hiccup sebagai bocah laki-laki berusia 15 tahun, fans saga HTTYD disuguhkan dengan pelbagai petualangan besar maupun kecil sang bocah Viking itu dengan kompatriotnya, naga menggemaskan bernama Toothless. Dan, sekarang petualangan itu akhirnya mencapai akhirnya. Di sini, Dean DeBlois berhasil menghadirkan babak klimaks yang sangat menyentuh serta menjadi penutup trilogi yang sangat manis seraya mampu menjaga kesetiaan pada pesan utama cerita yang ingin disampaikan melalui keseluruhan serinya ini. Untuk itu, sangat dianjurkan untuk menyaksikan dulu dua film sebelumnya, karena ketiga rangkaian ini saling berkaitan.
Kekuatan terbesar HTTYD ini adalah ikatan kuat yang terjalin antara Hiccup dan Toothless, yang menjadi roh utama seri ini dan menjadi inti emosional dari trilogi ini. Sementara, The Hidden World memperkenalkan sebuah elemen baru – versi Toothless betina, naga Night Fury yang lain. Dampaknya, Toothless sendiri mendapatkan perkembangan karakternya sendiri, dan menjadikannya lebih dari sekadar hewan piaraan, saat sang naga diceritakan jatuh cinta. Suntikan elemen ini sendiri hadir unik dan menarik terlebih setelah dalam dua film sebelumnya sudah tercipta ikatan antara audiens dan Toothless.
Andaikata saga ini tetap menyuguhkan formula yang sama, ikatan antara Hiccup dan Toothless tidak akan pernah berkembang, namun di sini yang terjadi justru sebaliknya, dan itulah yang membuat kisah babak pamungkas ini meninggalkan kesan yang sangat membekas. Di sisi lain, romansa Hiccup dengan Astrid pun mencapai titik puncaknya, menjadikan kisah tidak hanya sebatas kisah cinta remaja, namun merefleksikan bagaimana pertumbuhan individu menuju kehidupan dewasa dan menjalaninya. Bagaimana seseorang merasakan kenyamanan satu sama lain dan kemudian memercayakan dirinya dalam sebuah komitmen suci.
Sungguhpun demikian, bagi kalangan penonton yang tidak peduli ataupun belum mampu memahami sisi perkembangan karakternya, pendeknya jika hanya sekadar ingin menyaksikan sajian visual memukau, itu juga berhasil diwujudkan di sini. Karena, film ini juga sarat dengan sajian visual yang lengkap, adegan aksi menarik yang sangat atraktif, kaya warna, dan lebih banyak lagi varian naga imaginatif. Presentasi visual mengenai dunia tersembunyi nya pun sangat impresif dan memanja mata.
Sudah tentu, melalui The Hidden World ini tidak diragukan lagi DeBlois berhasil mempersembahkan sebuah karya yang sangat memuaskan sekaligus salam perpisahan yang sangat elegan bagi saga animasi ini. Sungguhpun telah menjadi perjalanan visual yang sangat menyenangkan, mari berharap bahwa film ketiga ini benar-benar menjadi babak penutup – karena jika ada lagi kisah sekuel ataupun spinoff lainnya akan menodai dan menciderai ending sangat manis yang sudah berhasil dicapai di sini.