Film biopik Neil Armstrong berdasarkan buku First Man: The Life of Neil Armstrong karya James R. Hansen, di tangan Damien Chazelle menjadi film bernuansa real life horror yang dialami Armstrong. Sepanjang sejarah, astronot Amerika ini dikenal sebagai seorang pahlawan dan orang pertama yang menapakan kaki di bulan, tanpa banyak diketahui sisi lain dari sikapnya yang pendiam serta teror yang menghantuinya saat mempersiapkan misi ke bulan.
Melalui kacamatanya, Chazelle mengajak audiens melihat dari perspektif yang bisa dibilang gloomy sekaligus mencekam, dengan mengejawantahkan kompleksitas serta kecemasan yang dihadapi Armstrong (Ryan Gosling). Ia memilih sikap tidak banyak bicara dan tetap profesional saat dihadapi kematian beruntun dari para kolega serta Karen, anak perempuannya. Gosling yang telah membintangi dua film Chazelle dan meskipun tidak ada perubahan berarti dari aktingnya yang tanpa ekspresi namun syahdu di moment tertentu, cukup mewakili sikap tenang itu. Kecemasan istri Armstrong, Janet (Claire Foy) juga di eksplor di film ini. Buzz Aldrin (Corey Stoll) yang ceplas-ceplos adalah semacam bumbu, pemikirannya yang realistis seakan menyeimbangkan ke-gloomy-an Armstrong dan menyumbangkan spirit dalam misi Apollo 11.
Adapun teror pesawat antariksa digambarkan secara detail, dari goncangan kokpit pengap yang tidak senyaman dan semodern sekarang dan teror bahan bakar yang dapat meledakan pesawat kapan saja, kenaasan tersebut ditampilkan saat sistem kabel terbakar dan meledak, menghanguskan tiga astronot yang masih sempat berkelakar sesaat sebelum ajal. Sistem komputer juga tidak secanggih sekarang. Terdiri dari tombol-tombol besar yang terkadang eror dan harus distabilkan secara manual, bukan otomatis. Di tahun 60-an, belum ada sistem pendingin di pesawat antariksa, suara mesin dan onderdil pesawat terdengar seperti akan coplok tida-tiba dengan goncangan keras seperti itu, dan kita dapat menyaksikan keringat bermunculan di pori-pori wajah para astronot saat berada di moment antara hidup dan mati. Untuk mendramatisir horror tersebut, wajah si astronot di shot dari jarak dekat.
Saat Elon Musk berencana menerbangkan milyuner bersama para seniman ke bulan di tahun 2023 nanti, kemungkinan besar para awak kapal tidak akan merasakan horror semacam itu, mereka hanya akan tinggal meluncur mulus dan menganggap semua ini sebagai “petualangan”. Kontras dengan perjuangan para pionir di awal-awal yang penuh trial-error, dengan pesawat antariksa yang masih belum sempurna (mengingat perjalanan penerbangan saat itu masih berusia 70 tahunan), bahkan banyak pilot mati demi terwujudnya misi ke bulan. Perkembangan ilmu pengetahuan memakan banyak pahlawan yang tidak tercatat dalam sejarah demi menghindari kesalahan di masa depan, hal itu diangkat Chazelle dengan memperkenalkan tokoh-tokoh seperti Elliot, Ed White, dan sebagainya.
Chazelle juga membangun emosi universal dengan tanpa mengesampingkan kontra yang ditujukan ke NASA di tahun 60-an saat hippies dan warga Amerika berbondong-bondong protes akan anggaran biaya yang dihabiskan pemerintah untuk proyek ini, “Aku hidup susah, namun orang kulit putih dikirim ke bulan”, sedikit menyentil sentimen rasis. Di satu sisi, ditampilkan cuplikan pidato fenomenal presiden JF. Kennedy mengenai misi manusia ke bulan sebagai langkah besar bagi kemanusiaan, sama halnya dengan pendakian gunung tertinggi dan saat pertama kali seseorang terbang menyebrangi Atlantik.
Seperti film-film sebelumnya, Sutradara Wiphlash dan La La Land ini menaruh unsur musikal di sepanjang film First Man, masih berkolaborasi dengan Justin Hurwitz. Kali ini menggunakan musik Orkestra dengan bunyi-bunyian biola, piano, setelah sebelumnya lebih akrab dengan jazz.
Perjalanan dengan Apollo 11 berjalan lebih mulus dari sebelumnya karena Armstrong telah memperhitungkan kesalahan di masa lampau, dan peran Michael Collins (Lukas Hass) sedikit mencairkan ketegangan, saat ditanya ingin memutar lagu apa di bulan, Armstrong menyetel musik yang kerap ia dengar bersama istrinya. Saat moment paling mendebarkan tiba, yaitu saat pertama kali Armstrong keluar dari kokpit untuk menapaki bulan, semuanya menjadi hening kedap suara.
FYI: Peristiwa bersejarah sewaktu bendera Amerika tertancap di bulan sengaja tidak ditampilkan karena sutradara Amerika- Perancis ini ingin supaya terkesan tidak mengelu-elukan Amerika, dan karena ketiadaan moment bendera itu, Trumph secara terang-terangan mengkritik filmnya.
Meskipun mengisahkan hidup Armstrong, First Man bukanlah sekedar drama biopik, ini adalah juga mengenai misi ambisius NASA yang sebagian motifnya didorong oleh science dan sebagian lagi karena unsur politik. Perasaan universal begitu terasa, saat ditampilkan footage asli mengenai orang-orang dari berbagai belahan benua tertuju pada satu peristiwa dalam layar kaca; lepas landas roket antariksa menuju bulan dan Armstrong sontak menjadi pahlawan global saat kembali ke bumi, namun bukan sisi patriotisme ala film Michael Bay dengan bendera amerika-nya yang ingin ditonjolkan Chazelle. Ending drama pun dikemas dengan sangat simpel tapi efektif, tanpa sesuatu yang epik.