Saat pertama kali mengumumkan eksistensinya, Venom merupakan proyek menantang yang sangat beresiko bagi Sony Pictures. Hal ini dikarenakan untuk mewujudkanya, Sony kabarnya tidak menyertakan Spider-Man. Permasalahannya, tidak seperti halnya seri film Wolverine maupun Deadpool, origin Venom memiliki akar yang jelas.
Meski sejatinya bukan tokoh ciptaan Stan Lee, asal usul Venom di saga komiknya memiliki kaitan yang sangat kuat dengan Spider-Man. Di ranah film sendiri, tokoh ini pernah muncul dalam babak pamungkas trilogi Spider-Man besutan Sam Raimi. Saat itu, meski dihadirkan cenderung royal dengan penuangan di komiknya, sayangnya saat itu karakter Venom (yang dimainkan Topher Grace) justru menjadi salah satu sasaran kritik dan titik lemah di kali terakhir aktor Tobey Maguire mengenakan kostum si manusia laba-laba tersebut.
Kembali mengenai film Venom sendiri, perlu diinformasikan terlebih dahulu, bahwa meski sebelumnya pihak Sony menjalin kesepakatan dengan Marvel sehingga tokoh Spider-Man (yang kini dipegang Tom Holland) sekarang masuk dalam MCU, tidak terdengar adanya treatment yang sama dalam proses perealisasian film ini. Tak pelak hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana upaya yang dilakukan untuk menghidupkan properti Venom tanpa melibatkan Spidey sama sekali. Aspek inilah yang menjadi tantangan terbesar paling kentara yang harus dijawab oleh sineas Zombieland, Ruben Fleischer beserta timnya, sebagai pengemban mandat dari Sony untuk mewujudkannya.
Sementara itu, fans Venom dari komik sendiri tidak perlu kaget, jika meski nantinya hasil akhir proyek ini agak menyimpang dari versi origin klasiknya. Dan hal itu memang treatment yang diterapkan dalam film yang kemudian menjadi standalone spinoff ini.
Dalam penuangan paling gresnya, Venom adalah kisah tentang seorang jurnalis investigatif bernama Eddie Brock yang mendapati ketidakberesan eksperimen rahasia di perusahaan pusat penelitian yang menjadi klien kekasihnya, Anne Weying. Dalam proses investigasi itulah, Brock secara tidak sengaja menjalin kontak dengan entitas Symbiote dari luar angkasa yang kemudian menjadi bagian dari dirinya.
Memasang aktor asal Inggris Tom Hardy sebagai pemeran Eddie Brock yang baru, di tangan Fleischer, sajian Venom sejatinya memiliki seluruh elemen yang sesuai yang diharapkan dari sebuah film superhero – bagian pembuka yang mendemonstrasikan kualitas hero di keseharian si pemilik alter egonya, adegan asal usul setelah tabir konflik awal dibuka, sosok love interest yang ‘mengacaukan’ kehidupan sang protagonis, dan tentunya porsi besar adegan aksi yang dibesut menggunakan efek CGI. Akan tetapi, tetap saja masih terlihat bagaimana kewalahannya Fleischer dalam menuangkan kisahnya.
Adegan aksinya, meski tidak luar biasa, secara keseluruhan lumayan menghibur. Sedangkan, seperti disinggung sebelumnya, penceritaan dan divisi skrip adalah kelemahan yang paling kentara di sini. Latar belakang cerita tidak terbangun solid, penokohan yang lemah (paling hanya sang protagonis utama Eddie Brock yang mendapatkan porsi jelas), alur kisah yang terkesan dipaksakan, belum lagi dialog yang buruk. Paruh pertama film ini narasinya terlalu stereotip dengan formula film superhero era 80-90an, yang hasilnya sempat membuat pace film ini terasa lambat, banyak lubang plot, dan menjurus membosankan dibandingkan formula film superhero dalam dua dekade terakhir ini. Beruntung, di paruh kedua, aspek menarik yang menjadi salah satu daya tarik komiknya berhasil disuntikkan pada momen kritis, sehingga tidak sampai menjerumuskan film ini ke jurang kegagalan lebih dalam.
Secara overall, sebenarnya film ini tidak buruk-buruk amat. Dalam artian, film ini masih bisa dinikmati banyak kalangan, terutama yang tidak ambil pusing dengan penceritaan yang ada dan hanya ingin menikmati sajian aksi khas film superhero. Tidak menutup kemungkinan golongan yang menyukai komiknya pun bisa juga bakal menyukainya. Jika mau dikategorikan, Venom masuk dalam level OK untuk sebuah film superhero. Namun, titik masalahnya, adalah untuk karakter besar dan sudah dikenal luas seperti Venom, sekadar OK tidaklah cukup untuk memuaskan ekspektasi yang sudah ditujukan terhadapnya, bahkan besar kemungkinan film ini akan digadang-gadang menjadi salah satu unggulan di ajang Razzie tahun depan.