Berbicara mengenai sepak terjang film adaptasi game di Hollywood, sulit dipungkiri mereka berada di kasta paling rendah dan opsi terbawah pilihan para sineas untuk diangkat ke layar lebar. Franchise-franchise game dengan reputasi raksasa di berbagai platform terbukti rata-rata rontok kala diadaptasi ke format film, ataupun misal mampu bertahan, kebanyakan hasilnya tertatih-tatih di tangga box office seraya mengundang rasa kecewa bagi kalangan penyuka game-nya. Tidak percaya, simak saja deretan judul game sukses berikut ini: Street Fighter, Tomb Raider, Prince of Persia, Silent Hill, Max Payne, Dead or Alive, Hit Man, Warcraft, hingga Assassin’s Creed yang adaptasi filmnya lebih banyak menuai kritik dibanding pujian, baik dari kalangan penyuka film, pengamat, hingga ke para penggemar game-nya sekalipun.
Hal yang sama pun sebenarnya tidak luput terjadi pada franchise film Resident Evil. Sejak perilisan film satelitnya pada tahun 2002 hingga seri yang terakhir rilis pada tahun 2012, franchise yang hadir nyeleneh dengan mengedepankan tokoh orisinal bernama Alice ini sejatinya tidak pernah mendapatkan pujian dari kalangan kritikus. Meski demikian, seri ini memiliki anomali, di mana tidak seperti kebanyakan ‘sesamanya’, setiap installment film yang diujungtombaki mantan model Milla Jovovich ini tidak pernah menyentuh angka di bawah $100 juta dan selama 15 tahun masa sepak terjangnya, franchise ini ibarat punya perisai pelindung dari kutukan terus menerus yang menimpa film-film adaptasi game.
Kelima film RE juga berhasil menarik simpati kalangan die hard fans seri game rilisan Capcom ini, walaupun kontinuitas filmnya berkembang jauh menyimpang dari versi game-nya, dengan mengerucut pada sosok Alice yang seiring waktu menjelma menjadi seorang manusia super dan juga senjata biologis, sembari makin besarnya skala kehancuran global di Bumi karena wabah zombie karena ulah perusahaan farmasi Umbrella Corporation. Di saga filmnya, memang terdapat tokoh-tokoh penting game-nya, seperti Chris dan Claire Redfield, Albert Wesker, Leon S. Kennedy, Ada Wong, maupun Jill Valentine, namun mereka hanya sebatas sebagai tokoh pendukung saja.
Kini, setelah hiatus selama hampir lima tahun sejak kehadiran film kelimanya, installment keenam yang juga merupakan babak akhir franchise ini akhirnya dirilis. Sebagai pengingat, pada RE 5 yang mengusung judul tambahan Retribution, sang heroine yang berhasil berkumpul dengan tokoh-tokoh penting game-nya tersebut bersiap melakukan serangan terakhir dan menghentikan Umbrella Corp untuk selamanya. Kembali dibidani Paul W.S. Anderson yang menggenapkan dirinya duduk di bangku penyutradaraan dalam tiga film RE terakhir, mudah dibayangkan bahwa di film pengentas saganya ini akan menjadi sebuah paket petualangan sarat aksi lainnya, seperti yang sudah ia hadirkan di dua babak sebelumnya.
Baca Juga: Serangan Kejutan dalam Nominasi Oscar 2017
Dan memang nyatanya demikian, selepas adegan prolog yang berisikan sejarah Umbrella Corp untuk mencuatkan tabir petunjuk samar asal usul sang heroine, film keenam ini mengetengahkan hal-hal yang tidak jauh berbeda dari seri-seri terdahulu. Di luar dugaan, Anderson bisa dibilang kurang jeli dalam hal menjaga kontinuitas dengan film sebelumnya (atau sengaja dilakukan untuk membuat sosok Alice tidak harus berbagi porsi besar dengan tokoh-tokoh penting lainnnya). Karena entah mengapa, aksi solo Alice yang ia kedepankan lagi (Ke mana para tokoh lainnya? Dan bagaimana nasib mereka? Yang kebanyakan dari mereka tidak terceritakan lagi). Serangkaian aksi langsung digenjot. Sayangnya, hal ini sempat menjadi blunder tersendiri, di mana tidak hanya ada yang signifikansinya dengan penuturan cerita terhitung lemah, ada juga yang kentara dipaksakan. Belum lagi, seringnya Anderson memberikan close shot di banyak adegan aksi malah terkesan mengganggu kenikmatan menonton, karena bisa membuat pening penontonnya.
Untungnya, dibandingkan installment-installment RE lainnya, skrip babak terakhir ini sudah sedikit tertata. Meski pada paruh awal efek bombastis yang dihadirkan sempat membuat kisahnya agak melelahkan diikuti, tuturan kisah yang lebih berstruktur membuat The Final Chapter mulai bisa dinikmati di paruh keduanya.
Di sini, dengan mengusung formula film bertema game kematian (di mana jumlah karakter makin menciut karena tereliminasi sebelum mencapai babak akhir) seperti yang banyak dianut di film-film babak penuntas saga lainnya apapun sumber kisahnya, Anderson bisa leluasa menyuguhkan komposisi yang seimbang antara porsi adegan aksi dan konflik pokok yang harus diselesaikannya seraya memberi poin-poin jawaban sebab-akibat yang bertebaran di setiap installment RE hingga menuju konflik puncak dan konfrontasi terakhir yang ditujunya. Pada poin ini sang sineas boleh dinilai layak mendapat apresiasi positif atas keberhasilannya menyuguhkan konklusi yang rasanya bakal mendapat simpati fans film RE yang sudah mengikuti dari film pertamanya. Dan, membuat apa yang dibangun serta manuver yang dilakukannya kala mengadaptasi game survival horror fenomenal ini sejak garis start menjadi beralasan.
Sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan, begitulah kesan yang didapat usai menikmati saga penutup RE ini. Harus diakui The Final Chapter meski bisa dibilang mampu menyamai kualitas film pertamanya, tetap bukan tergolong film yang sangat apik (dibandingkan film-film babak penutup saga lainnya, film ini yang menurut kami paling melelahkan diikuti). Sungguhpun demikian Anderson layak mendapat kredit tersendiri, karena biar bagaimanapun ia sudah mampu menyajikan epik konklusi yang bisa diterima, walaupun masih ada plothole yang mengganjal. Sungguh pun demikian, meski seakan-akan mengisyaratkan kemungkinan adanya “another final chapter” (ver 2.0 mungkin….LOL) lewat sekelumit adegan epilognya, menurut hemat kami merupakan langkah bijaksana dan lebih baik jika pihak kreator mengakhiri saga RE dengan tokoh Alice ini cukup sampai di sini saja.
Verdict: 3.5
Story: 3. 5 / 5
Acting: 3/5
Action: 4 / 5
Directing: 3.5 /5