Hal pertama yang menggugah dari The Half of It adalah betapa berbedanya pendekatan yang dimilikinya dari film-film rom-com remaja pada umumnya. Di sini, tidak memerlihatkan sisi SMA yang terlalu berwarna, tidak pula menempatkan para karakternya dalam klise-klise picisan seperti pesta dansa sekolah, ataupun bahkan stereotipe kamar khas karakter utama remaja: yang temboknya berwarna cerah yang dipenuhi pelbagai referensi intisari kehidupan karakternya.
Film ini berjalan di garis yang cenderung berbeda dengan drama remaja lainnya. Menitikberatkan dialog pintar, ketimbang backsound tembang cinta, atau fokus pada wajah-wajah cantik remaja yang menjadi objek kasih sayang, atau beberapa kekhasan film-film semacam itu. Romansa dalam film dibangun lewat percakapan, yang kebanyakan dikutip dari buku-buku filsafat maupun film asing.
Terasa benar bahwa kekuatan utama film ini terdapat di skripnya yang disusun sangat matang oleh Alice Wu. Pasalnya hal ini membuat penentu keberhasilan film ini sangat bergantung pada keajaiban kata-kata, baik itu ditulis maupun dilukis, dan menggunakan individualitas orang-orang, yang kisahnya diceritakan, untuk menciptakan hubungan di antara mereka. Menariknya, kisahnya tidak sampai hingga ke tahap cheesy, justru berhasil menyisipkan beberapa humor pintar yang tidak terduga.
Salah satu detail plus lainnya, adalah kedekatan dengan realitas yang ada, dengan memfokuskan pada sisi keluarga para pemain utamanya, Tidak seperti karakteristik orangtua di film-film remaja lainnya, di sini mereka digambarkan tidak terlalu ramah namun juga tidak terlalu kasar. Peran orangtua di sini lebih dekat dengan gambaran kenyataan dan menjadi bagian pembangunan karakter dalam cerita, ketimbang sekadar menjadi aksesori penyelesai masalah.