Susy Susanti adalah legenda bulutangkis Indonesia, semua mungkin sudah tahu. Namun, apakah banyak sudah tahu bagaimana lika liku perjuangannya sebagai atlet bulutangkis dan juga polemik kehidupan yang harus dihadapinya karena darah keturunan Tionghoa yang mengalir di tubuhnya? Atau fakta bahwa meski sudah mengharumkan nama bangsa dengan menyumbangkan medali emas di ajang Olimpiade ternyata status kewarganegaraannya masih bermasalah? Itulah yang kemudian dapat dilihat dari film biopic arahan Sim F yang bertajuk Susi Susanti: Love All ini. Film ini diproduksi oleh Damn! I Love Indonesian Movies bekerjasama dengan Oreima Films dan East West Synergy dengan produser Daniel Mananta dan Reza Hidayat
Berawal dari tanah kelahirannya di Tasikmalaya, seorang gadis cilik bernama Susy Susanti yang sudah mencintai bulutangkis menjadi sensasi pada usia 14 tahun dan berkembang menjadi atlet paling dicintai di Indonesia. Melalui bimbingan pelatihnya, Liang Chiu Sia, dan didorong oleh janji suci pada ayahnya, Susy mendapat pengakuan dunia dengan meraih medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia.
Ketika negeri terjungkal dalam gejolak ekonomi, Susy membuktikan pada dunia bahwa kepahlawanan tidak diukur dari tingginya prestasi yang dicapai, tetapi dari besarnya pengorbanan untuk tanah airnya. Tekad dan cinta Susy kepada Tuhan, keluarga, dan pasangan hidupnya-lah yang mengukir sejarah olahraga Indonesia.
Film ini juga menampilkan bagaimana sesi latihan keras Susy di PB Jaya Raya dan kemudian masuk pelatnas PBSI. Tempat ia digembleng dan berinteraksi dengan sesama atlet bulutangkis nasional seperti Ardy B. Wiranata, Sarwendah, Hermawan Susanto, dan banyak nama lainnya di bawah asuhan pelatih legendaris Tong Sin Fu dan Liang Chu Sia.
Tidak ketinggalan juga pertemuan dengan Alan Budikusuma yang nantinya menjadi suaminya tak luput menghiasi kisah hidup Susy yang diangkat ke layar lebar ini. Dan, tentunya momen-momen kemenangan Susy juga disajikan di sini, baik itu kebangkitannya di ajang Piala Sudirman perdana dan momen bersejarah Olimpiade Barcelona 1992.
Pengambilan gambar yang menggunakan latar belakang tahun 1980 hingga 1990-an ini sedap dilihat. Mulai dari tone warna hingga berbagai kendaraan tua yang hilir mudik dalam film ini. Meskipun tidak maksimal, penggambaran dari Indonesia untuk tahun tersebut sudah cukup nyaman untuk ditonton. Selain menawarkan tone dan cerita menarik, salah satu daya tarik dari film ini adalah sensasi pertandingan. Ketegangan dan juga keseruan dalam pertandingan di film ini cukup terasa dan membawa penonton merasakan ketegangan tersebut.
Menyaksikan Susi Susanti: Love All bakal mengusik perasaan nostalgia tersendiri. Bukan hanya dikarenakan kerja keras tim kreator dalam berusaha merekonstruksi adegan, namun karena tidak sedikit audiens memiliki ikatan emosional langsung saat momen bersejarah itu terjadi, seperti saat bagaimana banyak yang sudah sempat merasa putus harapan ketika Sudirman Cup perdana digelar, dan kemudian menyesal (karena tidak terus menyaksikan-red) atau sulit percaya saat kemudian diawali oleh perjuangan heroik Susy, tim Indonesia berhasil menjungkirbalikkan keadaan. Atau bagaimana bangganya rakyat Indonesia saat Susy dan kekasihnya, Alan mampu menjadi pasangan emas.
Di tangan Sim F, kisah perjalanan hidup seorang Susy Susanti berjalan menarik dan akan mampu mengaduk-aduk emosi penontonnya. Pasalnya, meski plotnya terkesan agak lompat-lompat, film ini tidak hanya sekadar tentang perjalanan karier bulutangkis Susy Susanti semata, namun juga pahit manis atlet etnis Tionghoa di era Orde Baru.
Secara jeli, Sim F dan tim penulis naskahnya berani mengedepankan perihal fakta kelam kebijakan masa Orde Baru yang mengharuskan warga keturunan Tionghoa memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan RI) yang sangat sulit diperoleh, tidak terkecuali bagi atlet berprestasi level internasional sekelas Susy Susanti sekalipun. Dan, tidak hanya sekadar tempelan, polemik ini menjadi salah satu tema dominan yang dikedepankan di sini, di mana hal ini tidak hanya mempengaruhi satu orang saja (Susy-red) namun juga nyaris banyak tokoh penting yang ada di film ini.
Performa apik Laura Basuki sebagai Susy Susanti semakin menghidupkan film biopic ini. lewat permainan mimik dan bahasa tubuhnya hingga gaya bertuturnya yang membuat suaranya jadi mirip dengan sang legenda, Laura seakan melebur dan menjelma menjadi seorang Susy Susanti. Sedangkan, dari penampilan para pendukungnya, banyak yang juga menambah nyawa film ini, terutama untuk Iszur Muchtar, si pemeran ayah Susy dan Kelly Tandiono sebagai Sarwendah yang bisa dikatakan menjadi scene stealer film ini.
Secara keseluruhan film ini sangat layak untuk ditonton bersama keluarga, tidak hanya untuk Anda pecinta bulu tangkis, para saksi hidup kejayaan Susi Susanti, dan yang ingin melihat gambaran Indonesia di tahun 80-90an.. Film ini selain menghibur juga efektif menggugah rasa kebangsaan dalam membangkitkan rasa nasionalisme kaum muda tanah air. Hal ini karena banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil di dalamnya.