2016 memang tahunnya pertarungan superhero. Kurang dari seminggu setelah Frank Castle dan Matt Murdock berseteru di musim kedua Daredevil, film pertarungan superhero besar pertama tahun ini, Batman v Superman: Dawn of Justice, dirilis di bioskop-bioskop kesayangan kita.
Walaupun banyak sekali komen-komen yang kurang menyenangkan (termasuk dari saya) mengenai trailer-trailer yang (sepertinya) memberikan terlalu banyak informasi, ternyata itu hanya sebagian kecil dari film. Ada banyak adegan-adegan keren yang memang seharusnya tidak masuk ke trailer, tapi trailer yang ada bukan apa-apa dibandingkan filmnya.
Plot dari BvS sebenarnya tidak terlalu rumit dan cenderung tipikal untuk plot pertarungan antara superhero, tetapi eksekusinya dilakukan dengan lumayan apik. Ada sedikit masalah di pacing filmnya yang terlalu lambat di awal, tapi itu bukan masalah yang terlalu besar.
Secara visual, film ini sangat Zack Snyder. Adegan-adegan aksi yang keren dan penggunaan slow-motion yang kelewat banyak pasti sudah menjadi hal yang wajib. Walaupun begitu, film ini sangat memanjakan mata. Pertarungan terakhir dengan Doomsday sangat asyik untuk disaksikan dari awal sampai akhir. Tetapi, adegan laga yang paling menonjol bagi saya adalah adegan pertarungan Batman mendekati akhir film, yang sepertinya mengambil banyak inspirasi dari game Arkham series. Koreografi pertarungan di sini sangat mengingatkan kita dengan film-film semacam The Raid dan Captain America: The Winter Soldier.
Dengan judul seperti Batman v Superman, pertarungan antara kedua superhero terhebat dunia ini pasti tak terelakkan. Buildup menuju pertarungan besar antara The Last Son of Krypton vs The World’s Greatest Detective terasa lumayan natural, dengan menonjolkan perbedaan ideologi dan metode antara mereka. Adegan pertarungannya sendiri juga terasa sangat brutal.
Ben Affleck berhasil menghilangkan jokes mengenai Daredevil dengan penampilan apiknya sebagai Batman, walaupun persona Bruce Wayne-nya terlalu mirip Batman tanpa gaya playboy khas Bruce. Henry Cavill sebagai Superman terasa lebih natural dibandingkan penampilannya di Man of Steel, tetapi kebanyakan adegannya dengan Lois Lane (Amy Adams) sangat cheesy dan terkesan dipaksakan. Lois Lane di sini juga berhasil menjadi sosok yang mengganggu dan malah mempersulit masalah bagi pahlawan-pahlawan kita, tidak sama sekali seperti penampilannya yang sangat bagus di Man of Steel. Gal Gadot sebagai Wonder Woman/Diana Prince, dapat memaksimalkan screentime-nya dengan penampilannya sebagai wanita perayu yang mengingatkan saya dengan Catwoman dan persona petarungnya sebagai Wonder Woman. Pujian khusus harus diberikan kepada Jeremy Irons sebagai Alfred yang selalu membantu Bruce dengan setia dan menjadi salah satu sumber humor terbaik film ini.
Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor adalah salah satu bagian terbaik film ini. Walaupun karakter Luthor dibuat sedikit seperti Mark Zuckerberg dari The Social Network, kegilaan yang sedikit demi sedikit muncul dari watak periang Lex-lah yang membuat saya tertarik dengan karakternya. Seperti karakter heel yang baik di dunia wrestling, Lex Luthor ini adalah orang yang kita senang untuk membencinya.
Banyak komentar yang sering ditujukan kepada film-film DC karena tone-nya yang cenderung gelap. Kali ini, tone film memang sedikit lebih terang dibanding MoS, walaupun film ini masih film yang sangat serius. Pesan mengenai harapan dan optimisme juga dimunculkan, tetapi di sinilah masalahnya. Karakter Superman di sini cenderung sinis. Saya percaya, Superman adalah manifestasi dari potensi umat manusia, dan dia selalu melihat kebaikan dari semua orang. Ketika melihat bahkan Superman sudah mulai menjadi sinis, jujur saya merasa sedikit dikecewakan film ini. Sejatinya, Batman yang sinis, sedangkan Superman adalah seorang optimis. Ini yang membuat dinamik mereka berdua sangat menarik. Walaupun film ini juga mengusung harapan dan optimisme, pesan ini terasa berkontradiksi dengan sikap protagonisnya yang cenderung sinis, sehingga ini terasa sedikit aneh bagi saya.
Film ini juga masih memiliki masalah dari segi penghancuran kota, walaupun kehancuran di sini tidak ada apa-apanya dibandingkan Metropolis yang hampir seluruhnya rata dengan tanah di Man of Steel. Sepertinya Snyder dan kru film ini juga lebih hati-hati dalam melakukan penghancuran kota agar tidak dicerca fans lagi. Sementara Superman mulai lebih hati-hati dalam mengendalikan kekuatannya, Batman justru sebaliknya. Walaupun Batman-Batman di film sebelumnya pernah membunuh orang, Batman versi Affleck jauh lebih brutal dibandingkan Batman manapun yang pernah muncul di layar lebar. Batman yang ini juga terlihat sangat jelas tidak segan menggunakan senjata api untuk membunuh lawannya. Walaupun ini sedikit mengurangi kenikmatan saya menonton film ini, masalah ini bukan masalah besar yang merusak total BvS.
Film ini adalah film yang solid. Walaupun ada beberapa masalah di pacing dan beberapa adegan-adegan yang terkesan dipaksakan serta sedikit ‘pembunuhan karakter’, BvS adalah kemajuan jauh dari Man of Steel, dan harapan saya besar untuk kelanjutan DCEU. Hati-hati, MCU, ada penantang baru. Semoga saja kompetisi ini bisa mendorong kedua studio untuk terus mengeluarkan film bagus, yang pada akhirnya akan menguntungkan fans juga, bukan?
Rating: 7.5/10