The Mirror Never Lies adalah sebuah film yang berlatar belakang kehidupan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi. Film yang disponsori WWF ini bercerita tentang seorang keluarga di Suku Bajo yang kehilangan sosok kepala keluarga saat dirinya sedang berada di laut bekerja sebagai nelayan, hal ini menyebabkan seorang anak yang bernama Pakis (Gita Novalista) dan ibunya yang bernama Tayung (Atiqah Hasilohan) selalu berselisih karena perbedaan pendapat dalam menanggapi kejadian tersebut. Suatu saat setelah suaminya meninggal, terdapat seorang peneliti lumba-lumba bernama Tudo (Reza Rahardian) yang datang dan menginap di rumah mereka. Peneliti lumba yang sedang menginap di perkampungan Suku Bajo tersebut kesulitan untuk mencari lumba-lumba yang dicarinya karena ikan-ikan kecil yang menjadi makanan lumba-lumba ditangkap oleh nelayan.
Kita dapat melihat bahwa film ini bisa menggambarkan dengan sangat baik kehidupan Suku Bajo yang dekat dengan laut, hal ini dapat dilihat dari judul film ini yaitu “The Mirror Never Lies”, maksud mirror atau kaca dalam film ini adalah lautan, di mana lautan mencerminkan kehidupan masyarakat Suku Bajo. Hal ini dapat dilihat dari pekerjaan penduduk di sana, ada yang berdagang ikan, menjadi nelayan, dll. Hal ini juga dapat melihat dari sekolah mereka yang berada tepat di tepi laut, selain itu kita dapat melihat untuk mendapatkan air tawar mereka harus menuju ke pulau lain. Saya setuju dengan hal tersebut, kita juga dapat melihat rumah-rumah mereka yang berada tepat diatas laut sehingga mereka memerlukan kapal untuk menuju suatu tempat, selain itu kita juga melihat bahwa mereka menggunakan laut untuk berbagai hal, seperti mandi.
Film ini juga dapat menggambarkan cara masyarakat disana dalam merespon kehilangan, terutama tokoh Pakis dan Tayung. Dalam film ini kita dapat melihat Pakis yang terus berharap dan percaya bahwa bapaknya belum meninggal, tetapi hanya hilang, kita juga dapat melihat Tayung yang sudah pasrah dan merelakan kepergian suaminya. Kita juga dapat melihat bahwa Tayung menggunakan sebuah masker setelah suaminya meninggal, dalam kebiasaan adat Suku Bajo, masker tersebut tanda duka.
Walaupun film ini dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Suku Bajo dengan sangat baik, masih terdapat beberapa kekurangan dalam film ini. Kebanyakan kekurangan ini disebabkan karena film ini disponsori oleh WWF, sebuah organisasi pelestarian alam, hal ini menyebabkan penambahan-penambahan cerita dan adegan yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan ke dalam film. Karakter Tudo dalam film ini sebenarnya tidak diperlukan karena hal utama yang dilakukannya adalah mencari lumba-lumba dan menghimbau agar menjaga lingkungan dan lautan agar keindahan lautan seperti lumba-lumba masih dapat dilihat, sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita. Selain itu film ini terlalu sering menggambarkan keeksotisan lautan, sesuatu yang mungkin dianggap sebagai hal yang biasa bagi masyarakat Suku Bajo.
Film ini dianggap lemah dalam mengangkat suatu adegan secara bertahap menjadi dramatis, contoh hal ini dapat dilihat pada suatu adegan dimana Tudo merawat Tayung yang sedang sakit, di adegan ini kita data melihat keromantisan antara mereka, tetapi momen antara mereka kurang terasa. Film ini juga hanya memperlihatkan satu keluarga, sementara keluarga lain dalam film ini seolah-olah kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dalam suatu adegan dimana masyarakat sedang mengunjungi rumah Lumo (Eko), dalam adegan ini kita hanya melihat Lumo, sementara orangtua Lumo tida diperlihatkan.