Review Film The Jungle Book
Disney semakin membuktikan bahwa kesederhanaan ide kreatif dan penghormatan kepada sebuah karya populer jauh lebih membuahkan hasil manis ketimbang menyuguhkan versi kontemporer, lewat film adaptasi kisah dongeng klasik populer The Jungle Book. Padahal, jika menilik tren ranah film-film adaptasi dongeng beberapa kurun waktu, jalur yang berseberangan justru merupakan pendekatan yang kerap diadopsi oleh banyak studio film besar dalam menceritakan kembali perihal yang notabene sudah dikenal orang banyak. Tidak percaya? Judul-judul semacam Beauty and the Beast, Red Riding Hood, Sleeping Beauty, Hansel and Gretel, dan tentunya Snow White adalah kisah dongeng yang hadir dalam versi alternatif kontemporernya saat dituangkan ke versi layar lebar live action.
Akan tetapi, dimulai dengan Cinderella yang dirilis tahun lalu, Disney melakukan strategi berbeda. Alih-alih memodifikasi dan melakukan banyak tambal-sulam, jalur hanya sekadar memanusiakan apa yang pernah mereka sajikan di salah satu film animasi paling sukses mereka, justru yang diambil. Dengan goal memancing perasaan nostalgia dan mungkin bercermin pada formula kesuksesan film-film adaptasi novel, yakni memberi gambaran visual yang tulus dari yang tertuang di kisah aslinya, meski sebenarnya langkah ini juga mengandung resiko karena rendahnya level perihal baru yang bisa ditawarkan, torehan yang jauh lebih mengembirakan terbukti mampu diraih, baik dari segi raupan komersialnya maupun apresiasi dari kritikus.
Maka, sudah tentu seperti halnya apa yang dihadapi oleh Cinderella, level rendahnya perihal baru yang bisa ditawarkan adalah tantangan yang juga harus ditanggulangi oleh sineas Jon Favreau beserta timnya. Pun juga faktor efek spektakuler yang potensi sukses maupun gagalnya punya porsi berimbang, karena efek yang dihadirkan tampil dalam wujud karakter-karakter hewan di dunia nyata yang tentunya kalah fantastis jika dibandingkan monster-monster mitologi fantasi, misalnya.
Walaupun demikian, meski di masa awal promosinya film ini kalah kelas reputasinya dengan film-film besar lain yang lebih memancing perhatian, sebut saja film-film bergenre superhero, misalnya, The Jungle Book di luar dugaan dapat dipresentasikan secara apik oleh Favreau. Memercayakan pada faktor kecanggihan teknologi animasi komputer untuk menghadirkan visualisasi alam dan para penghuni rimba yang stunning, dukungan penyulih suara yang terdiri dari bintang-bintang Hollywood papan atas, dan satu bintang pendatang baru sebagai satu-satunya karakter manusia di film berdurasi 105 menit ini, Favreau sukses membuai penonton menikmati karya penyutradaraan terbarunya ini.
Indah secara visual dan mampu menghadirkan apa yang disebut daya magis Disney, The Jungle Book bisa dibilang versi sukses dari penuangan animasi klasik tahun 1967-nya namun sekaligus mampu menjadi film yang sama sekali fresh. Meski tidak bertujuan untuk menjadi sebuah film komedi, namun film ini juga sarat humor yang ampuh menggelitik penontonnya. Apalagi, kerja keras para animator dan performa para pengisi suaranya terbukti terjalin apik sehingga karakter-karakter hewan yang hadir begitu pas dengan apa yang disuarakan para pemainnya.
Tidak salah rasanya jika film ini mengedepankan efek visual sebagai jualan utamanya di sini, karena film ini bisa disetarakan dengan Avatar untuk sektor ini. Yang menambah nilai lebihnya adalah tim Favreau bisa membuat kita lupa bahwa apa yang kita tonton bukan hewan sungguhan melainkan hasil animasi komputer. Tidak berlebihan jika The Jungle Book misalnya akan menjadi unggulan nominator Best Special Effects di ajang Oscar mendatang.
Dari segi plotnya, seperti tadi disinggung sebelumnya, pendekatan yang diambil menjadikan cerita yang dikedepankan sudah tentu sama dengan versi orisinalnya, akan tetapi itu diperkaya dengan berbagai elemen menarik yang ditambahkan ke dalamnya dan skrip yang apik, yang hasilnya makin menambah keimpresifan film ini. Memang, sebagai tontonan untuk lingkup keluarga apa disajikan di sini mungkin akan sedikit membuat kaget karena cenderung agak lebih kelam tonenya dibanding apa yang dituangkan di versi animasinya, namun ditinjau secara keseluruhan, meski sejatinya penulis bukan fans terhadap tipe film semacam ini, harus diakui bahwa The Jungle Book akan menghuni daftar sepuluh besar film terbaik rilisan tahun ini. Tidak hanya itu melalui film yang sama, Favreau sepertinya telah menghasilkan sebuah karya yang menunjukkan bagaimana sebuah film animasi klasik dari dongeng klasik dapat digarap untuk menghasilkan sebuah film live action yang apik seraya bakal menjadi film live action Disney klasik di masa depan.
Baca juga: Review Film 10 Cloverfield Lane – Turunan yang Berhasil dari Embrio bernama Cloverfield